BAB I
PENDAHULUAN
Al-Qur'an
adalah obyek yang tidak pernah habis dikaji dan diteliti. Oleh karenanya wacana
baru dalam kajian al-Qur'an selalu muncul ke permukaan. Term ini berawal dari
kehebatan al-Qur'an. Misalnya dari al-Qur'an dapat diketahui beberapa
pendekatan metodologi. Darinya pula, dikenal berbagai macam variasi penafsiran.
Dari sinilah, harus diakui bahwa al-Qur'an adalah mu’jizat yang tidak ada
tandingannya. Disamping itu harus diakui pula bahwa al-Qur'an adalah kitab suci
yang selalu menarik untuk dikaji, baik oleh Islam maupun non Islam, dari dulu
sampai sekarang.
Studi
al-Qur'an adalah salah satu dari kajian keislaman yang membahas beberapa
persoalan yang terkait dengan masalah al-Qur'an, baik berupa kajian teks,
maupun kajian konteks. Studi al-Qur'an yang sering disebut dengan ulum
al-Qur'an merupakan salah satu cabang ilmu yang mempelajari berbagai aspek
dalam kaitannya dengan al-Qur'an. Dari sini dapat dikatakan bahwa al-Qur'an
mempunyai berbagai aspek yang dapat dikaji baik secara universal maupun
parsial.
Kisah-kisah
dalam al-Qur'an adalah salah satu dari sekian banyak hal yang terkait dengan
al-Qur'an. Terdapat beberapa permasalahan yang kemudian harus mengkaji sesuatu
yang lebih bersifat substansial dari kisah-kisah yang terdapat dalam al-Qur'an.
Misalnya: salah satu bentuk kisah adalah menceritakan masa lalu dan masa yang
akan datang, disamping itu juga banyak perumpamaan-perumpamaan serta
pelajaran-pelajaran yang dapat diambil hikmah dibalik cerita lain yang akan
dibahas dalam makalah ini.
BAB II
PEMBAHASAN
A. Tinjauan Umum Tentang Kisah
Terkait dengan masalah tujuan umum tentang
kisah ini, ada beberapa hal yang perlu dibicarakan yaitu apa sebenarnya kisah
itu dan apa yang kemudian disebut dengan kisah dalam al-Qur'an. Disamping itu juga
perlu diketahui beberapa tehnik al-Qur'an dalam memaparkan kisah-kisahnya.
1. Pengertian
Kisah berasal
dari kata “al-Qossu” yang berarti mencari atau mengikat jejak. Disamping itu
juga dapat berarti potongan berita, berita yang berurutan, serta berita yang
diikuti. Berbagai arti kata kisah tersebut terdapat dalam al-Qur'an yang
diantaranya secara universal adalah pada: surat Ali Imran (3:62), al-A’raf
(7:7,176), Yusuf (12:3, 111), al-Kahfi (18: 64), Thaha (20:99) al-Qashash
(28:11, 25), dan an-Naml (27: 76).
Kisah
al-Qur'an adalah pemberitaan al-Qur'an tentang hal ihwal umat terdahulu,
kenabian terdahulu dan peristiwa-peristiwa yang telah terjadi. Lebih dari itu,
dalam kisah al-Qur'an menjelaskan tentang sesuatu yang belum terjadi maupun
yang akan terjadi. Pemaparan kisah-kisah yang komplit ini, merupakan salah satu
mu’jizat al-Qur'an yang diarahkan untuk memberikan pemahaman-pemahaman kepada
umat manusia tentang sejarah Nabi atau umat terdahulu dan beberapa kejadian
dimasa yang akan datang. Isyarat al-Qur'an ini merupakan salah satu metode atau
media untuk menjelaskan ajaran Islam yang sebenarnya, sehingga dengan adanya
kisah ini ada sesuatu yang dapat diambil hikmahnya.
2. Tehnik pemaparan
Dalam memaparkan kisah-kisahnya,
al-Qur'an memiliki metode yang spesifik, misalnya memperlihatkan aspek seni dan
mendominankan aspek keagamaan. Diantara tehnik pemaparannya adalah:
a) Berawal dari kesimpulan
Sebagian cerita dalam al-Qur'an,
ada yang mulai dari kesimpulan dan diikuti dengan rinciannya: yaitu dari fragmen
pertama hingga fragmen terakhir. Contoh: kisah Nabi Yusuf.
b) Berawal dari ringkasan
Tehnik ini memaparkan kisah dari
ringkasannya yang kemudian diikuti rinciannya dari awal hingga akhir. Contoh:
kisah Ashabul Kahfi.
c) Berawal dari ringkasan adegan klimaks
Pada tehnik pemaparan ini,
al-Qur'an mengawalinya terlebih dahulu dengan adegan klimaks, kemudian
dikisahkan rinciannya dari awal hingga akhir. Contoh: kisah Nabi Musa dengan
keganasan Fira’un.
d) Tanpa pendahuluan
Pada umumnya, sebelum al-Qur'an
memaparkan kisahnya, terdapat pendahuluan yang digunakan, misalnya ketika
menjelaskan tentang nabi Musa dalam surat al-Nazi’at yang didahului dengan
pertanyaan “Sudahlah sampai kepadamu kisah Musa?”. Kendatipun demikian,
terdapat kisah yang tidak memakai pendahuluan. Yaitu langsung pada poin yang
diinginkan. Contoh kisah Nabi Musa yang mencari ilmu dalam surat al-Kahfi.
e) Adanya keterlibatan imajinasi manusia
Dalam hal ini, kisah-kisah dalam
al-Qur'an banyak yang disusun secara garis besarnya saja, sedangkan
kelengkapannya diserahkan pada imajinasi manusia. Terikat dengan masalah ini,
Watt mengatakan bahwa al-Qur'an disusun dalam ragam bahasa lisan (oral) dan
untuk memahaminya hendaklah digunakan daya imajinasi yang dapat melengkapi
gerakan yang dilukiskan lafad-lafadnya. Contoh: kisah Nabi Ibrahim dan Isma’il
tatkala membangun Ka’bah dalam surat al-Baqarah (2:27)
f) Penyisipan nasehat keagamaan
Pemaparan kisah dalam al-Qur'an
sering disisipi oleh nasehat keagamaan. Contoh: ketika al-Qur'an menuturkan
kisah-kisah Nabi Musa dalam surat Thaha dari ayat 9 hingga 98, di
tengah-tengahnya disisipkan tentang kekuasaan Allah, ilmu Allah, kemurahan
Allah dan kebangkitan manusia dari kubur (ayat 50:55), kemudian diakhiri dengan
pengesaan Allah (ayat 98) Begitu juga kisah keluarnya Adam dari surga yang
dikisahkam al-Qur’an dalam surah al-A’raf (QS. 7: 11-27). Kisah ini melukiskan
permusuhan Adam dan Setan atau Iblis. Awalnua para setan dilaknat dam
dikeluarkan dari surga untuk selama-lamanya karena berlaku sombong dan enggan
bersujud kepada Adam sebagai mana yang diperintahkan oleh Allah swt.
Dalam kisah tersebut, Iblis
diceritakan meminta penangguhan dari Allah sebelum dikeluarkan dari surga untuk
dapat memainkan peranannya sebagai perusak kehidupan dan musuh sekaligus penghalang
manusia menuju jalan yang benar.
Selanjutnya dimulai dari kondisi
Adam dan Hawa di surga, mendapatkan anugerah besar dari Allah untuk mereguk
seluruh kenikmatan di surga kecuali buah Khuldi. Sampai pada titik ini,
muncullah tokoj utama yaitu setan yang berperan sebagi penggoda manusia
pertama. Adam menerima godan setan dan makan buah khuldi. Itu berarti dia
melanggar larangan Allah, dan akibatnya dia dan Hawa harus keluar dari surga
sebagaimana diharapkan Iblis.
Setelah itu, kisah ini ditutup
dengan penjelasan mengenai akibat yang ditimpakan kepada makhluk-Nya bila
melanggar larangan-Nya.Firman Allah: “Hai anak Adam, janganlah sekali-kali kamu
dapat ditipu oleh setan sebagaimana ia mengeluarkan ibu bapakmu dari surga, ia
menanggalkan dari keduanya pakaian untuk memperlihatkan kepada keduanya
auratnya. Sesungguhnya ia dan pengikut-pengikutnya melihat kamudari suatu
tempat yang kamu tidak bisa melihat mereka. Sesungguhnya kami telah menjadikan
setan-setan itu pemimpin bagi orang-orang yang tidak beriman” Inilah sisi
petunjuk agama atau bimbingan keagaman dalam kisah ini yang selama ini menjadi
misteri.[1]
Namun ada juga yang membaginya
menjadi dua gaya cerita dalam kisah Al-qur’an;
Ø
Gaya
cerita
Dalam penyajian kisah al-Qur’an, tema, teknik pemaparan, dan
setting peristiwa senantiasa tunduk pada tujuan keagamaan tanpa meninggalkan
karakteristik seni. Dengan demikian kisah dalam al-Qur’an merupakan paduan
antara aspek seni dan aspek keagamaan.
a.
Gaya Narasi
Gaya penuturan kisah dalam al-Qur’an pada umumnya
menggunakan gaya narasi. Gaya ini mendorong pembaca atau pendengar agar
memperhatikan cerita yang para pelakunya telah tiada, namun seolah para
pelaku itu dimunculkan kembali.
Berikut
adalah beberapa variasi pemaparan gaya narasi kisah Nabi Ibrahim:
ü
Gaya pemaparan berawal dari kesimpulan kemudian
diikuti uraian kisah sebagaimana versi QS. Maryam (19): 41-49.
ü
Gaya pemaparan berawal dari klimaks, sebagaimana
versi QS. Hud (11) : 69-75.
ü
Gaya pemaparan dramatik, yaitu kisah disusun
seperti adegan-adegan drama, sebagaimana versi QS. Al-Baqarah (2) : 258.
ü
Gaya pemaparan kisah tanpa diawali pendahuluan,
tetapi langsung pada rincian kisah,sebagaimana versi QS. Al-An’am (6) : 74-84
dan 161.
ü
Gaya pemaparan kisah yang diawali pendahuluan.
Kata-kata yang digunakan sebagai pendahuluan dalam pemaparan kisah al-Qur’an
sangat beragam, seperti :
-
wa idz yang diikuti fi’l madhi seperti QS.al-Baqarah 124
-
a lam tara, hal ataka, seperti dalam QS al-Baqarah (2) : 258 dan adz-Dzariyat
(51):
-
maa kaana seperti QS.ali Imron (3) : 67
-
dan masih ada beberapa kata pembuka lainnya
b. Gaya
Dialog
Kisah-kisah dalam al-Qur’an sering ditampilkan dalam konteks
dialog sehingga lafal-lafal qaala, qaaluu, qaalat, qulnaa, yaaquuluu,
yaquuluun, seringkali kita temukan.Dialog dalam kisah al-Qur’an dapat
menggambarkan kepribadian pelakunya, yakni dengan memperhatikan cara
pengungkapan bisikan jiwa, pendapat, dan sikapnya tatkala terjadi perselisihan
di anatara mereka. Dalam pengembangan metode bercerita, dialog merupakan unsur
penentu menariktidaknya dan hidup-matinya cerita, terlebih cerita untuk
anak-anak. Percakapan tokoh memicu imajinasi anak akan karakter tokoh dan
tingkah laku.[2]
B. Macam-Macam Kisah dalam Al-Qur'an
Ada dua hal
pokok yang secara garis besar menjelaskan tentang variasi isi kisah dalam
al-Qur'an yang kemudian diklasifikasi dengan dua tinjauan, yaitu dari segi
waktu dan materi.
1. Tinjauan dari segi waktu
a) Kisah ghaib pada masa lampau
Al-Qur'an
mengesahkan sekian banyak peristiwa masa lampau. Walaupun diantara kisah yang
terdapat dalam al-Qur'an tidak terbukti, akan tetapi sebagian lainnya dapat
dibuktikan kebenarannya hingga kini. Hal ini menurut Quraisy Shihab tidak dapat
dijadikan sebagai alasan untuk menolak kisah dalam al-Qur'an, karena kisah
tersebut walaupun tidak terbukti kebenarannya, juga belum terbukti
kekeliruannya.
Diantara
kisah tersebut adalah kaum ‘Ad dan Thamut serta kehancuran kota Iran, cerita
Fir’aun, ashabul kahfi, Nabi Nuh, Maryam dan lain-lain. Dari beberapa contoh
tersebut, dapat dikatakan bahwa indikasi ghaib disini adalah karena cerita
tersebut tidak dapat ditangkap oleh panca indera kita mengingat peristiwanya
terjadi pada masa lampau yang tidak dapat dijangkau dengan fasilitas yang
dimiliki manusia secara natural. Akan tetapi peristiwa-peristiwa tersebut,
sebagian ada yang dibuktikan walaupun salah satunya tidak sama persis dengan
apa yang telah dikemukakan oleh al-Qur'an.
b) Kisah ghaib pada masa kini.
Kisah ini
menerangkan tentang hal-hal ghaib pada masa sekarang (meski sudah ada sejak
zaman dahulu dan akan tetap ada pada masa yang akan datang) dan yang menyingkap
rahasia orang-orang munafiq. Misalnya cerita tentang Allah dan sifat-sifat-Nya,
para Malaikat, Jin, Syetan, siksa neraka, kenikmatan surga dan lain sebagainya.
c) Kisah ghaib pada masa yang akan datang
Dalam kisah
ini al-Qur'an menerangkan tentang suatu peristiwa akan datang yang belum
terjadi pada waktu turunnya al-Qur'an, akan tetapi peristiwa tersebut
betul-betul terjadi. Misalnya cerita tentang kemenangan Romawi setelah kekalahannya,
kasus al-Walid bin Mughirah dan kasus Abu Jahal serta cerita-cerita lainnya.
Pada model kisah ini, dikatakan ghaib pada masa yang akan datang karena pada
mulanya cerita ini suatu informasi yang sebenarnya tidak terdapat argumentasi
atau alasan rasional yang mengirinya akan tetapi benar-benar terjadi setelah
al-Qur'an menyatakan cerita ini. Dalam bahasa manusia, kisah ini semacam
ramalan yang benar-benar dapat dibuktikan karena terjadi setelah ungkapan
sebelumnya.
2. Ditinjau dari segi materi
Selain dapat
dilihat dari segi pemaparan secara periodik, kisah al-Qur'an juga dapat dilihat
dari materi yang dipaparkan. Pertama, kisah para Nabi yang berisi tentang
dakwah, mu’jizat, sikap musuhnya, tahapan-tahapan dakwah, akibat yang diterima
bagi pendustanya, dan kisah-kisah lain. Kedua adalah kisah orang-orang tertentu
sebagai pelajaran bagi manusia, contoh: Lukman Hakim, Qorun, Ashabul Kahfi dan
sebagainya. Ketiga adalah peristiwa-peristiwa, misalnya terjadinya perang
Badar, perang Uhud, Isra’ Mi’raj, hijrah dan lain sebagainya.
Mengingat
variasi kisah yang terdapat dalam al-Qur'an, ada mengelompokkan menjadi 3
(tiga), yaitu: pertama adalah Qisshah Tarikhiyah, yaitu kisah tentang seputar
tokoh sejarah. Kisah ini dalam keterangan diatas dikatakan tokoh. Kedua, adalah
Qisshah Tansiliyah, yaitu kisah yang memaparkan peristiwa dengan tujuan untuk
menerangkan suatu pengertian, sehingga kisah ini tidak perlu benar-benar
terjadi, melainkan cukup berupa perkiraan dan khayal semata. Ketiga, adalah
qisshah al-Asatir, yaitu kisah yang berpautan dengan peristiwa yang terjadi
dimasa lampau.
Dari semua
penjelasan tentang kisah yang ditinjau dari segi materinya, dapat disimpulkan
bahwa pada dasarnya, bahan atau materi pokok yang disajikan suatu cerita dalam
al-Qur'an melalui beberapa unsur, yaitu tokoh yang terdiri dari manusia, mahluk
luas dan binatang. Kedua, adalah peristiwa. Dan ketiga adalah dialog. Berangkat
dari sana semua, bahwa tidak ada perbedaan mendasar pada klasifikasi cerita
dalam al-Qur'an sebagaimana disebut diatas, dan pada intinya antara yang satu
dengan yang lain saling mengisi dan berorientasi pada satu maksud saja, yaitu
berupaya mewakili semua kisah dengan satu konsep klasifikasi, walaupun antara
yang satu dengan yang lain tetap saling melengkapi kekurangan masing-masing.[3]
C. Tujuan Kisah dalam al-Qur'an
Dalam
pemaparan kisah-kisah al-Qur'an, pada dasarnya terdapat banyak sekali faedah
yang dapat dipetik manfaatnya. Faedah-faedah tersebut tertuang jelas dalam
al-Qur'an, walaupun sebenarnya terdapat faedah-faedah yang tidak tertulis yang
belum manusia ketahui secara pasti. Diantara faedah yang tertuang jelas dalam
al-Qur'an adalah :
1. Menjelaskan
asas-asas dakwah menuju Allah dan menjelaskan pokok-pokok syari’at yang dibawa
oleh para Nabi.
2. Meneguhkan
hati Rasulullah dan umatnya atas agama Allah, memperkuat kepercayaan orang
mukmin tentang menangnya kebenaran dan para pendukung serta hancurnya kebatilan
dan para pembelanya.
3. Membenarkan
Nabi terdahulu, menghidupkan kenangan serta mengabaikan jejak dan peninggalannya.
4. Menampakkan
kebenaran Muhammad dalam berdakwah dengan apa yang diberitakan tentang hal
ihwal orang-orang terdahulu disepanjang kurun dan generasi.
5. Menyibak
kebohongan ahli kitab dengan hujjah yang membeberkan keterangan dan petunjuk
yang mereka sembunyikan dan menantang mereka dengan isi kitab mereka sendiri
sebelum kitab itu dirubah dan diganti.
6. Kisah
termasuk salah satu bentuk sastra yang dapat menarik perhatian para pendengar
dan memantapkan pesan-pesan yang terkandung di dalamnya ke dalam jiwa.
Dari
beberapa faedah yang telah disebutkan diatas, dapat dikatakan bahwa sebenarnya
muatan atau kandungan yang terdapat dalam kisah-kisah itu adalah mencakup
beberapa hal. Diantaranya adalah unsur teologis yang dapat dilihat dengan
keterangan yang bersifat ketuhanan dan kenabian. Kedua, adalah moralitas, hal
ini dapat dilihat dengan adanya pesan-pesan yang terdapat di dalamnya
menyangkut suatu pelajaran-pelajaran penting yang harus dijadikan pelajaran.
Adakalanya untuk ditiru maupun untuk dijauhi. Ketiga, adalah unsur peradaban
dan sastra yang terlihat ketika metode penyampaiannya menggunakan cerita. Hal
ini mempunyai hal tersendiri, misalnya dapat menarik perhatian yang membaca
atau yang mendengarnya, disamping itu juga bahwa suatu hal yang dijelaskan atau
diungkapkan dengan metode sastra, dapat langsung menyentuh jiwa orang atau
obyek yang menjadi tujuan diungkapkannya perihal tersebut.
Lebih dari
semua yang dipaparkan di muka, bahwa ketika kisah al-Qur'an dilihat dari
tujuannya, maka diketahui letak perbedaan antara cerita dalam al-Qur'an dengan
cerita pada umumnya. Al-Qur'an memakai kisah sebagai salah satu cara
mengungkapkan tujuan-tujuan yang bersifat transcendental, kendatipun demikian,
aspek kesusastraan suatu kisah pada al-Qur'an tidak serta merta hilang,
terutama pada saat menggambarkan umat masa lalu. Sedangkan cerita sastra pada
umumnya hanyalah menonjolkan ungkapan seni atau kesusastraan saja pada aspek
tujuannya. Itulah perbedaan mendasar antara cerita al-Qur'an dengan cerita
sastra biasa.
D. Aspek Psikologi dan Pendidikan pada Kisah Nabi
1. Kisah Nabi Ibrahim tentang mimpi menyembelih putranya
Surat Ash-Shaaffat (37) : 102
Artinya ;“Maka
tatkala anak itu sampai (pada umur sanggup) berusaha bersama-sama Ibrahim,
Ibrahim berkata: "Hai anakku sesungguhnya aku melihat dalam mimpi bahwa
aku menyembelihmu. Maka fikirkanlah apa pendapatmu!" Ia menjawab:
"Hai bapakku, kerjakanlah apa yang diperintahkan kepadamu; insya Allah
kamu akan mendapatiku termasuk orang-orang yang sabar".
Nabi Ibrahim
menyampaikan mimpi itu kepada anaknya. Beliau memahami nahwa perintah itu tidak
diyatakan sebagai harus melaksanakannya kepada sang anak.Ini berarti bahwa Nabi
Ibrahim tidak langsung memaksa untuk menyembelih abaknya dengan meminta
pendapat putranya. Sikap jiwa seperti itu hendaknya dijadikan contoh bagi
setiap orang untuk berbuat yang positif kepada orang lain. Ucapah sang anak
(Nabi Ismail) : laksanakan apa yang diperintahkan kepadamu, bukan sembelihlah
aku. Sikap ini menunjukkan atau mengisyaratkan kepatuhannya, karena perintah
itu adalah perintah Allah.
Tidak dapat
diragukan lagi, bahwa jauh sebelum peristiwa ini pastilah saang ayah telah
menanamkan dalam hati dan benak anaknya tentang keesaan Allah dan
sifat-sifat-Nya yang indah. Sikap dan ucapan sang anak yang direkap oleh ayat
ini adalah buat pendidikan yang baik.[4]
2. Kisah Nabi Yusuf yang dipenjara
Surat Yusuf (12) : 33-34
Artinya
;”Yusuf berkata: "Wahai Tuhanku, penjara lebih aku sukai daripada memenuhi
ajakan mereka kepadaku. Dan jika tidak Engkau hindarkan dari padaku tipu daya
mereka, tentu aku akan cenderung untuk (memenuhi keinginan mereka) dan tentulah
aku termasuk orang-orang yang bodoh."
Maka Tuhannya
memperkenankan doa Yusuf, dan Dia menghindarkan Yusuf dari tipu daya mereka.
Sesungguhnya Dia-lah Yang Maha Mendengar lagi Maha Mengetahui
Pada ayat
diatas jelas bahwa apa yang disampaikan Nabi Yusuf kepada Allah sebagai bukti
bahwa Allah itu dekat. Ia sadar bahwa ajakan mereka untuk menjauhkan dirinya
kepada Allah. Sehingga ia menyatakan bahwa penjara itu lebih baik baginya
daripada memenuhi ajakan berbuat maksiat.
3. Kisah Nabi Musa tentang kemarahannya akibat kaumnya yang durhaka
Surat al A’raf (7) : 150
Artinya ; “Dan tatkala Musa telah kembali kepada kaumnya
dengan marah dan sedih hati berkatalah dia: "Alangkah buruknya perbuatan
yang kamu kerjakan sesudah kepergianku! Apakah kamu hendak mendahului janji
Tuhanmu?" Dan Musa pun melemparkan luh-luh (Taurat) itu dan memegang
(rambut) kepala saudaranya (Harun) sambil menariknya ke arahnya. Harun berkata:
"Hai anak ibuku, sesungguhnya kaum ini telah menganggapku lemah dan
hampir-hampir mereka membunuhku, sebab itu janganlah kamu menjadikan
musuh-musuh gembira melihatku, dan janganlah kamu masukkan aku ke dalam
golongan orang-orang yang lalim".
Ayat tersebut
menggambarkan kemarahan Nabi Musa atas tindakan kaumnya yang melampaui batas.
Kemarahan tersebut juga diarahkan kepada Nabi Harun, saudaranya. Ini berarti
bahwa Nabi Musa mempunyai batas-batas kemanusiaanya yang bisa marah. Tapi
kemarahanya itu tidak berlangsung lama, setelah ia sadar dan menyesali
perbuatannya, ia lanagsung bertaubat kepada Allah SWT.
4. Kisah Nabi Muhammad
SAW tentang teguran Allah kepada Rasulullah SAW
Surat ‘Abasa (80) : 1-10
1. Dia (Muhammad) bermuka masam
dan berpaling,
2. Karena telah datang seorang
buta kepadanya.[1[5]]
3. Tahukah kamu barangkali ia
ingin membersihkan dirinya (dari dosa),
4. Atau Dia (ingin) mendapatkan
pengajaran, lalu pengajaran itu memberi manfaat kepadanya?
5. Adapun orang yang merasa
dirinya serba cukup.[1[6]]
6. Maka kamu melayaninya.
7. Padahal tidak ada (celaan)
atasmu kalau Dia tidak membersihkan diri (beriman).
8. Dan Adapun orang yang datang
kepadamu dengan bersegera (untuk mendapatkan pengajaran),
9. Sedang ia takut kepada
(Allah),
10. Maka kamu mengabaikannya.[7]
BAB III
PENUTUP
Kesimpulan
Dari semua paparan diatas,
terdapat beberapa titik tekan pada kisah-kisah dalam al-Qur'an, yaitu:
1. Pada dasarnya, kisah dalam
al-Qur'an bertujuan untuk mengantarkan manusia pada suatu kebenaran melalui
berbagai metode penyampaian dan ungkapan unsur-unsurnya.
2. Walaupun intinya sama, akan
tetapi dalam al-Qur'an terdapat dua hal yang pokok, yaitu bahwa variasi kisah
dalam paparan diatas dapat dikelompokkan pada 2 (dua) hal saja, yaitu: cerita
yang berupa “kenyataan” (cerita yang benar-benar terjadi), dan “simbolik”
(cerita yang hanya berupa simbol belaka dan terjadinya bukan merupakan
keharusan).
DAFTAR PUSTAKA
A. Khalafullah, Muhammad.
al-Fann al-Qashash fy al-Qur'an al-Karim, Terjemah. Al-Qur’an Bukan Kitab
Sejarah. Jakarta: Paramadima, 2002.
Al-Hazimi, Ibrahim bin Abdullah
Qishash Waqi’iyah an al-Anbiya’ wa al-Rasul wa Al-Sahabah wa al-Tabi’in wa
al-Mutaqaddimin wa al-Muta’akhirin, Beirut: Dar al-Haqq, 2000.
Charisma, Moh Chadziq Tiga Aspek
Kemukjizatan Al-Quran, Surabaya, Bina Ilmu, 1991.
Jalal, Abdul H. A, Ulumul
Qur’an, Surabaya: Dunia Ilmu, 2000.
Qalyubi, Shihabuddin Stilistika
al-Qur'an: Pengantar Orientasi Studi al-Qur'an, Yogyakarta: Titian Ilahi Press,
1997.
Qutub, Sayyid, al-Taswir al-Fann
fy al Qur’an, Beirut: Dar al-Ma’arif, 1980.
Pustaka. 2004
-----------------------, Tafsir
Al Mishbah : Pesan, Kesan, dan Keserasihan Al Qur’an, Jakarta: Lentera Hati,
2002
Penulis : Ust Sulaiman MA
http://makrufi-muahammad.blogspot.com/2012/03/kisah-didalam-al-quran.html
[1] A.
Khalafullah, Muhammad. al-Fann al-Qashash fy al-Qur'an al-Karim, Terjemah.
Al-Qur’an Bukan Kitab Sejarah. Jakarta: Paramadima, 56-65
[2]
http://makrufi-muahammad.blogspot.com/2012/03/kisah-didalam-al-quran.html
[3] Qalyubi,
Shihabuddin Stilistika al-Qur'an: Pengantar Orientasi Studi al-Qur'an,
Yogyakarta: Titian Ilahi Press, 89-92
[4] Qalyubi,
Shihabuddin Stilistika al-Qur'an: Pengantar Orientasi Studi al-Qur'an,
Yogyakarta: Titian Ilahi Press, 53.
[1[5]] Orang
buta itu bernama Abdullah bin Ummi Maktum. Dia datang kepada Rasulullah s.a.w.
meminta ajaran-ajaran tentang Islam; lalu Rasulullah s.a.w. bermuka masam dan
berpaling daripadaNya, karena beliau sedang menghadapi pembesar Quraisy dengan
pengharapan agar pembesar-pembesar tersebut mau masuk Islam. Maka turunlah
surat ini sebagi teguran kepada Rasulullah s.a.w.
1[6] Yaitu
pembesar-pembesar Quraisy yang sedang dihadapi Rasulullah s.a.w. yang
diharapkannya dapat masuk Islam.
[7]
Tafsir Al
Mishbah : Pesan, Kesan, dan Keserasihan Al Qur’an, Jakarta: Lentera Hati,122.