Rabu, 23 Mei 2012

Kisah-kisah dalam Al-qur'an dan cara pemaparannya


BAB I
PENDAHULUAN
Al-Qur'an adalah obyek yang tidak pernah habis dikaji dan diteliti. Oleh karenanya wacana baru dalam kajian al-Qur'an selalu muncul ke permukaan. Term ini berawal dari kehebatan al-Qur'an. Misalnya dari al-Qur'an dapat diketahui beberapa pendekatan metodologi. Darinya pula, dikenal berbagai macam variasi penafsiran. Dari sinilah, harus diakui bahwa al-Qur'an adalah mu’jizat yang tidak ada tandingannya. Disamping itu harus diakui pula bahwa al-Qur'an adalah kitab suci yang selalu menarik untuk dikaji, baik oleh Islam maupun non Islam, dari dulu sampai sekarang.
Studi al-Qur'an adalah salah satu dari kajian keislaman yang membahas beberapa persoalan yang terkait dengan masalah al-Qur'an, baik berupa kajian teks, maupun kajian konteks. Studi al-Qur'an yang sering disebut dengan ulum al-Qur'an merupakan salah satu cabang ilmu yang mempelajari berbagai aspek dalam kaitannya dengan al-Qur'an. Dari sini dapat dikatakan bahwa al-Qur'an mempunyai berbagai aspek yang dapat dikaji baik secara universal maupun parsial.
Kisah-kisah dalam al-Qur'an adalah salah satu dari sekian banyak hal yang terkait dengan al-Qur'an. Terdapat beberapa permasalahan yang kemudian harus mengkaji sesuatu yang lebih bersifat substansial dari kisah-kisah yang terdapat dalam al-Qur'an. Misalnya: salah satu bentuk kisah adalah menceritakan masa lalu dan masa yang akan datang, disamping itu juga banyak perumpamaan-perumpamaan serta pelajaran-pelajaran yang dapat diambil hikmah dibalik cerita lain yang akan dibahas dalam makalah ini.


BAB II
PEMBAHASAN
A. Tinjauan Umum Tentang Kisah
 Terkait dengan masalah tujuan umum tentang kisah ini, ada beberapa hal yang perlu dibicarakan yaitu apa sebenarnya kisah itu dan apa yang kemudian disebut dengan kisah dalam al-Qur'an. Disamping itu juga perlu diketahui beberapa tehnik al-Qur'an dalam memaparkan kisah-kisahnya.
1. Pengertian
Kisah berasal dari kata “al-Qossu” yang berarti mencari atau mengikat jejak. Disamping itu juga dapat berarti potongan berita, berita yang berurutan, serta berita yang diikuti. Berbagai arti kata kisah tersebut terdapat dalam al-Qur'an yang diantaranya secara universal adalah pada: surat Ali Imran (3:62), al-A’raf (7:7,176), Yusuf (12:3, 111), al-Kahfi (18: 64), Thaha (20:99) al-Qashash (28:11, 25), dan an-Naml (27: 76).
Kisah al-Qur'an adalah pemberitaan al-Qur'an tentang hal ihwal umat terdahulu, kenabian terdahulu dan peristiwa-peristiwa yang telah terjadi. Lebih dari itu, dalam kisah al-Qur'an menjelaskan tentang sesuatu yang belum terjadi maupun yang akan terjadi. Pemaparan kisah-kisah yang komplit ini, merupakan salah satu mu’jizat al-Qur'an yang diarahkan untuk memberikan pemahaman-pemahaman kepada umat manusia tentang sejarah Nabi atau umat terdahulu dan beberapa kejadian dimasa yang akan datang. Isyarat al-Qur'an ini merupakan salah satu metode atau media untuk menjelaskan ajaran Islam yang sebenarnya, sehingga dengan adanya kisah ini ada sesuatu yang dapat diambil hikmahnya.


2. Tehnik pemaparan
Dalam memaparkan kisah-kisahnya, al-Qur'an memiliki metode yang spesifik, misalnya memperlihatkan aspek seni dan mendominankan aspek keagamaan. Diantara tehnik pemaparannya adalah:
a) Berawal dari kesimpulan
Sebagian cerita dalam al-Qur'an, ada yang mulai dari kesimpulan dan diikuti dengan rinciannya: yaitu dari fragmen pertama hingga fragmen terakhir. Contoh: kisah Nabi Yusuf.
b) Berawal dari ringkasan
Tehnik ini memaparkan kisah dari ringkasannya yang kemudian diikuti rinciannya dari awal hingga akhir. Contoh: kisah Ashabul Kahfi.
c) Berawal dari ringkasan adegan klimaks
Pada tehnik pemaparan ini, al-Qur'an mengawalinya terlebih dahulu dengan adegan klimaks, kemudian dikisahkan rinciannya dari awal hingga akhir. Contoh: kisah Nabi Musa dengan keganasan Fira’un.
d) Tanpa pendahuluan
Pada umumnya, sebelum al-Qur'an memaparkan kisahnya, terdapat pendahuluan yang digunakan, misalnya ketika menjelaskan tentang nabi Musa dalam surat al-Nazi’at yang didahului dengan pertanyaan “Sudahlah sampai kepadamu kisah Musa?”. Kendatipun demikian, terdapat kisah yang tidak memakai pendahuluan. Yaitu langsung pada poin yang diinginkan. Contoh kisah Nabi Musa yang mencari ilmu dalam surat al-Kahfi.

e) Adanya keterlibatan imajinasi manusia
Dalam hal ini, kisah-kisah dalam al-Qur'an banyak yang disusun secara garis besarnya saja, sedangkan kelengkapannya diserahkan pada imajinasi manusia. Terikat dengan masalah ini, Watt mengatakan bahwa al-Qur'an disusun dalam ragam bahasa lisan (oral) dan untuk memahaminya hendaklah digunakan daya imajinasi yang dapat melengkapi gerakan yang dilukiskan lafad-lafadnya. Contoh: kisah Nabi Ibrahim dan Isma’il tatkala membangun Ka’bah dalam surat al-Baqarah (2:27)
f) Penyisipan nasehat keagamaan
Pemaparan kisah dalam al-Qur'an sering disisipi oleh nasehat keagamaan. Contoh: ketika al-Qur'an menuturkan kisah-kisah Nabi Musa dalam surat Thaha dari ayat 9 hingga 98, di tengah-tengahnya disisipkan tentang kekuasaan Allah, ilmu Allah, kemurahan Allah dan kebangkitan manusia dari kubur (ayat 50:55), kemudian diakhiri dengan pengesaan Allah (ayat 98) Begitu juga kisah keluarnya Adam dari surga yang dikisahkam al-Qur’an dalam surah al-A’raf (QS. 7: 11-27). Kisah ini melukiskan permusuhan Adam dan Setan atau Iblis. Awalnua para setan dilaknat dam dikeluarkan dari surga untuk selama-lamanya karena berlaku sombong dan enggan bersujud kepada Adam sebagai mana yang diperintahkan oleh Allah swt.
Dalam kisah tersebut, Iblis diceritakan meminta penangguhan dari Allah sebelum dikeluarkan dari surga untuk dapat memainkan peranannya sebagai perusak kehidupan dan musuh sekaligus penghalang manusia menuju jalan yang benar.
Selanjutnya dimulai dari kondisi Adam dan Hawa di surga, mendapatkan anugerah besar dari Allah untuk mereguk seluruh kenikmatan di surga kecuali buah Khuldi. Sampai pada titik ini, muncullah tokoj utama yaitu setan yang berperan sebagi penggoda manusia pertama. Adam menerima godan setan dan makan buah khuldi. Itu berarti dia melanggar larangan Allah, dan akibatnya dia dan Hawa harus keluar dari surga sebagaimana diharapkan Iblis.
Setelah itu, kisah ini ditutup dengan penjelasan mengenai akibat yang ditimpakan kepada makhluk-Nya bila melanggar larangan-Nya.Firman Allah: “Hai anak Adam, janganlah sekali-kali kamu dapat ditipu oleh setan sebagaimana ia mengeluarkan ibu bapakmu dari surga, ia menanggalkan dari keduanya pakaian untuk memperlihatkan kepada keduanya auratnya. Sesungguhnya ia dan pengikut-pengikutnya melihat kamudari suatu tempat yang kamu tidak bisa melihat mereka. Sesungguhnya kami telah menjadikan setan-setan itu pemimpin bagi orang-orang yang tidak beriman” Inilah sisi petunjuk agama atau bimbingan keagaman dalam kisah ini yang selama ini menjadi misteri.[1]
Namun ada juga yang membaginya menjadi dua gaya cerita dalam kisah Al-qur’an;
Ø  Gaya cerita
Dalam penyajian kisah al-Qur’an, tema, teknik pemaparan, dan setting peristiwa senantiasa tunduk pada tujuan keagamaan tanpa meninggalkan karakteristik seni. Dengan demikian kisah dalam al-Qur’an merupakan paduan antara aspek seni dan aspek keagamaan.
a.       Gaya Narasi
Gaya penuturan kisah dalam al-Qur’an pada umumnya menggunakan gaya narasi. Gaya ini mendorong pembaca atau pendengar agar memperhatikan cerita yang para pelakunya telah  tiada, namun seolah para pelaku itu dimunculkan kembali.
Berikut adalah beberapa variasi pemaparan gaya narasi kisah Nabi Ibrahim:
ü  Gaya pemaparan berawal dari kesimpulan kemudian diikuti uraian kisah sebagaimana versi QS. Maryam (19): 41-49.
ü  Gaya pemaparan berawal dari klimaks, sebagaimana versi QS. Hud (11) : 69-75.
ü  Gaya pemaparan dramatik, yaitu kisah disusun seperti adegan-adegan drama, sebagaimana versi QS. Al-Baqarah (2) : 258.
ü  Gaya pemaparan kisah tanpa diawali pendahuluan, tetapi langsung pada rincian kisah,sebagaimana versi QS. Al-An’am (6) : 74-84 dan 161.
ü  Gaya pemaparan kisah yang diawali pendahuluan. Kata-kata yang digunakan sebagai pendahuluan dalam pemaparan kisah al-Qur’an sangat beragam, seperti :
-  wa idz yang diikuti fi’l madhi seperti QS.al-Baqarah 124
-  a lam tara, hal ataka, seperti dalam QS al-Baqarah (2) : 258 dan adz-Dzariyat (51):
-  maa kaana seperti QS.ali Imron (3) : 67
-  dan masih ada beberapa kata pembuka lainnya
b.      Gaya Dialog
Kisah-kisah dalam al-Qur’an sering ditampilkan dalam konteks dialog sehingga lafal-lafal qaala, qaaluu, qaalat, qulnaa, yaaquuluu, yaquuluun, seringkali kita temukan.Dialog dalam kisah al-Qur’an dapat menggambarkan kepribadian pelakunya, yakni dengan memperhatikan cara pengungkapan bisikan jiwa, pendapat, dan sikapnya tatkala terjadi perselisihan di anatara mereka. Dalam pengembangan metode bercerita, dialog merupakan unsur penentu menariktidaknya dan hidup-matinya cerita, terlebih cerita untuk anak-anak. Percakapan tokoh memicu imajinasi anak akan karakter tokoh dan tingkah laku.[2]
B. Macam-Macam Kisah dalam Al-Qur'an
Ada dua hal pokok yang secara garis besar menjelaskan tentang variasi isi kisah dalam al-Qur'an yang kemudian diklasifikasi dengan dua tinjauan, yaitu dari segi waktu dan materi.
1. Tinjauan dari segi waktu
a) Kisah ghaib pada masa lampau
Al-Qur'an mengesahkan sekian banyak peristiwa masa lampau. Walaupun diantara kisah yang terdapat dalam al-Qur'an tidak terbukti, akan tetapi sebagian lainnya dapat dibuktikan kebenarannya hingga kini. Hal ini menurut Quraisy Shihab tidak dapat dijadikan sebagai alasan untuk menolak kisah dalam al-Qur'an, karena kisah tersebut walaupun tidak terbukti kebenarannya, juga belum terbukti kekeliruannya.
Diantara kisah tersebut adalah kaum ‘Ad dan Thamut serta kehancuran kota Iran, cerita Fir’aun, ashabul kahfi, Nabi Nuh, Maryam dan lain-lain. Dari beberapa contoh tersebut, dapat dikatakan bahwa indikasi ghaib disini adalah karena cerita tersebut tidak dapat ditangkap oleh panca indera kita mengingat peristiwanya terjadi pada masa lampau yang tidak dapat dijangkau dengan fasilitas yang dimiliki manusia secara natural. Akan tetapi peristiwa-peristiwa tersebut, sebagian ada yang dibuktikan walaupun salah satunya tidak sama persis dengan apa yang telah dikemukakan oleh al-Qur'an.
b) Kisah ghaib pada masa kini.
Kisah ini menerangkan tentang hal-hal ghaib pada masa sekarang (meski sudah ada sejak zaman dahulu dan akan tetap ada pada masa yang akan datang) dan yang menyingkap rahasia orang-orang munafiq. Misalnya cerita tentang Allah dan sifat-sifat-Nya, para Malaikat, Jin, Syetan, siksa neraka, kenikmatan surga dan lain sebagainya.
c) Kisah ghaib pada masa yang akan datang
Dalam kisah ini al-Qur'an menerangkan tentang suatu peristiwa akan datang yang belum terjadi pada waktu turunnya al-Qur'an, akan tetapi peristiwa tersebut betul-betul terjadi. Misalnya cerita tentang kemenangan Romawi setelah kekalahannya, kasus al-Walid bin Mughirah dan kasus Abu Jahal serta cerita-cerita lainnya. Pada model kisah ini, dikatakan ghaib pada masa yang akan datang karena pada mulanya cerita ini suatu informasi yang sebenarnya tidak terdapat argumentasi atau alasan rasional yang mengirinya akan tetapi benar-benar terjadi setelah al-Qur'an menyatakan cerita ini. Dalam bahasa manusia, kisah ini semacam ramalan yang benar-benar dapat dibuktikan karena terjadi setelah ungkapan sebelumnya.
2. Ditinjau dari segi materi
Selain dapat dilihat dari segi pemaparan secara periodik, kisah al-Qur'an juga dapat dilihat dari materi yang dipaparkan. Pertama, kisah para Nabi yang berisi tentang dakwah, mu’jizat, sikap musuhnya, tahapan-tahapan dakwah, akibat yang diterima bagi pendustanya, dan kisah-kisah lain. Kedua adalah kisah orang-orang tertentu sebagai pelajaran bagi manusia, contoh: Lukman Hakim, Qorun, Ashabul Kahfi dan sebagainya. Ketiga adalah peristiwa-peristiwa, misalnya terjadinya perang Badar, perang Uhud, Isra’ Mi’raj, hijrah dan lain sebagainya.
Mengingat variasi kisah yang terdapat dalam al-Qur'an, ada mengelompokkan menjadi 3 (tiga), yaitu: pertama adalah Qisshah Tarikhiyah, yaitu kisah tentang seputar tokoh sejarah. Kisah ini dalam keterangan diatas dikatakan tokoh. Kedua, adalah Qisshah Tansiliyah, yaitu kisah yang memaparkan peristiwa dengan tujuan untuk menerangkan suatu pengertian, sehingga kisah ini tidak perlu benar-benar terjadi, melainkan cukup berupa perkiraan dan khayal semata. Ketiga, adalah qisshah al-Asatir, yaitu kisah yang berpautan dengan peristiwa yang terjadi dimasa lampau.
Dari semua penjelasan tentang kisah yang ditinjau dari segi materinya, dapat disimpulkan bahwa pada dasarnya, bahan atau materi pokok yang disajikan suatu cerita dalam al-Qur'an melalui beberapa unsur, yaitu tokoh yang terdiri dari manusia, mahluk luas dan binatang. Kedua, adalah peristiwa. Dan ketiga adalah dialog. Berangkat dari sana semua, bahwa tidak ada perbedaan mendasar pada klasifikasi cerita dalam al-Qur'an sebagaimana disebut diatas, dan pada intinya antara yang satu dengan yang lain saling mengisi dan berorientasi pada satu maksud saja, yaitu berupaya mewakili semua kisah dengan satu konsep klasifikasi, walaupun antara yang satu dengan yang lain tetap saling melengkapi kekurangan masing-masing.[3]
C. Tujuan Kisah dalam al-Qur'an
Dalam pemaparan kisah-kisah al-Qur'an, pada dasarnya terdapat banyak sekali faedah yang dapat dipetik manfaatnya. Faedah-faedah tersebut tertuang jelas dalam al-Qur'an, walaupun sebenarnya terdapat faedah-faedah yang tidak tertulis yang belum manusia ketahui secara pasti. Diantara faedah yang tertuang jelas dalam al-Qur'an adalah :
1.      Menjelaskan asas-asas dakwah menuju Allah dan menjelaskan pokok-pokok syari’at yang dibawa oleh para Nabi.
2.      Meneguhkan hati Rasulullah dan umatnya atas agama Allah, memperkuat kepercayaan orang mukmin tentang menangnya kebenaran dan para pendukung serta hancurnya kebatilan dan para pembelanya.
3.      Membenarkan Nabi terdahulu, menghidupkan kenangan serta mengabaikan jejak dan peninggalannya.
4.      Menampakkan kebenaran Muhammad dalam berdakwah dengan apa yang diberitakan tentang hal ihwal orang-orang terdahulu disepanjang kurun dan generasi.
5.      Menyibak kebohongan ahli kitab dengan hujjah yang membeberkan keterangan dan petunjuk yang mereka sembunyikan dan menantang mereka dengan isi kitab mereka sendiri sebelum kitab itu dirubah dan diganti.
6.      Kisah termasuk salah satu bentuk sastra yang dapat menarik perhatian para pendengar dan memantapkan pesan-pesan yang terkandung di dalamnya ke dalam jiwa.
Dari beberapa faedah yang telah disebutkan diatas, dapat dikatakan bahwa sebenarnya muatan atau kandungan yang terdapat dalam kisah-kisah itu adalah mencakup beberapa hal. Diantaranya adalah unsur teologis yang dapat dilihat dengan keterangan yang bersifat ketuhanan dan kenabian. Kedua, adalah moralitas, hal ini dapat dilihat dengan adanya pesan-pesan yang terdapat di dalamnya menyangkut suatu pelajaran-pelajaran penting yang harus dijadikan pelajaran. Adakalanya untuk ditiru maupun untuk dijauhi. Ketiga, adalah unsur peradaban dan sastra yang terlihat ketika metode penyampaiannya menggunakan cerita. Hal ini mempunyai hal tersendiri, misalnya dapat menarik perhatian yang membaca atau yang mendengarnya, disamping itu juga bahwa suatu hal yang dijelaskan atau diungkapkan dengan metode sastra, dapat langsung menyentuh jiwa orang atau obyek yang menjadi tujuan diungkapkannya perihal tersebut.
Lebih dari semua yang dipaparkan di muka, bahwa ketika kisah al-Qur'an dilihat dari tujuannya, maka diketahui letak perbedaan antara cerita dalam al-Qur'an dengan cerita pada umumnya. Al-Qur'an memakai kisah sebagai salah satu cara mengungkapkan tujuan-tujuan yang bersifat transcendental, kendatipun demikian, aspek kesusastraan suatu kisah pada al-Qur'an tidak serta merta hilang, terutama pada saat menggambarkan umat masa lalu. Sedangkan cerita sastra pada umumnya hanyalah menonjolkan ungkapan seni atau kesusastraan saja pada aspek tujuannya. Itulah perbedaan mendasar antara cerita al-Qur'an dengan cerita sastra biasa.


D. Aspek Psikologi dan Pendidikan pada Kisah Nabi
1. Kisah Nabi Ibrahim tentang mimpi menyembelih putranya
Surat Ash-Shaaffat (37) : 102
Artinya ;“Maka tatkala anak itu sampai (pada umur sanggup) berusaha bersama-sama Ibrahim, Ibrahim berkata: "Hai anakku sesungguhnya aku melihat dalam mimpi bahwa aku menyembelihmu. Maka fikirkanlah apa pendapatmu!" Ia menjawab: "Hai bapakku, kerjakanlah apa yang diperintahkan kepadamu; insya Allah kamu akan mendapatiku termasuk orang-orang yang sabar".
Nabi Ibrahim menyampaikan mimpi itu kepada anaknya. Beliau memahami nahwa perintah itu tidak diyatakan sebagai harus melaksanakannya kepada sang anak.Ini berarti bahwa Nabi Ibrahim tidak langsung memaksa untuk menyembelih abaknya dengan meminta pendapat putranya. Sikap jiwa seperti itu hendaknya dijadikan contoh bagi setiap orang untuk berbuat yang positif kepada orang lain. Ucapah sang anak (Nabi Ismail) : laksanakan apa yang diperintahkan kepadamu, bukan sembelihlah aku. Sikap ini menunjukkan atau mengisyaratkan kepatuhannya, karena perintah itu adalah perintah Allah.

Tidak dapat diragukan lagi, bahwa jauh sebelum peristiwa ini pastilah saang ayah telah menanamkan dalam hati dan benak anaknya tentang keesaan Allah dan sifat-sifat-Nya yang indah. Sikap dan ucapan sang anak yang direkap oleh ayat ini adalah buat pendidikan yang baik.[4]

2. Kisah Nabi Yusuf yang dipenjara
Surat Yusuf (12) : 33-34
 Artinya ;”Yusuf berkata: "Wahai Tuhanku, penjara lebih aku sukai daripada memenuhi ajakan mereka kepadaku. Dan jika tidak Engkau hindarkan dari padaku tipu daya mereka, tentu aku akan cenderung untuk (memenuhi keinginan mereka) dan tentulah aku termasuk orang-orang yang bodoh."
Maka Tuhannya memperkenankan doa Yusuf, dan Dia menghindarkan Yusuf dari tipu daya mereka. Sesungguhnya Dia-lah Yang Maha Mendengar lagi Maha Mengetahui
Pada ayat diatas jelas bahwa apa yang disampaikan Nabi Yusuf kepada Allah sebagai bukti bahwa Allah itu dekat. Ia sadar bahwa ajakan mereka untuk menjauhkan dirinya kepada Allah. Sehingga ia menyatakan bahwa penjara itu lebih baik baginya daripada memenuhi ajakan berbuat maksiat.

3. Kisah Nabi Musa tentang kemarahannya akibat kaumnya yang durhaka
Surat al A’raf (7) : 150
            Artinya ; “Dan tatkala Musa telah kembali kepada kaumnya dengan marah dan sedih hati berkatalah dia: "Alangkah buruknya perbuatan yang kamu kerjakan sesudah kepergianku! Apakah kamu hendak mendahului janji Tuhanmu?" Dan Musa pun melemparkan luh-luh (Taurat) itu dan memegang (rambut) kepala saudaranya (Harun) sambil menariknya ke arahnya. Harun berkata: "Hai anak ibuku, sesungguhnya kaum ini telah menganggapku lemah dan hampir-hampir mereka membunuhku, sebab itu janganlah kamu menjadikan musuh-musuh gembira melihatku, dan janganlah kamu masukkan aku ke dalam golongan orang-orang yang lalim".
Ayat tersebut menggambarkan kemarahan Nabi Musa atas tindakan kaumnya yang melampaui batas. Kemarahan tersebut juga diarahkan kepada Nabi Harun, saudaranya. Ini berarti bahwa Nabi Musa mempunyai batas-batas kemanusiaanya yang bisa marah. Tapi kemarahanya itu tidak berlangsung lama, setelah ia sadar  dan menyesali perbuatannya, ia lanagsung bertaubat kepada Allah SWT.
4. Kisah Nabi Muhammad SAW tentang teguran Allah kepada Rasulullah SAW
Surat ‘Abasa (80) : 1-10
1. Dia (Muhammad) bermuka masam dan berpaling,
2. Karena telah datang seorang buta kepadanya.[1[5]]
3. Tahukah kamu barangkali ia ingin membersihkan dirinya (dari dosa),
4. Atau Dia (ingin) mendapatkan pengajaran, lalu pengajaran itu memberi manfaat                                 kepadanya?
5. Adapun orang yang merasa dirinya serba cukup.[1[6]]
6. Maka kamu melayaninya.
7. Padahal tidak ada (celaan) atasmu kalau Dia tidak membersihkan diri (beriman).
8. Dan Adapun orang yang datang kepadamu dengan bersegera (untuk mendapatkan pengajaran),
9. Sedang ia takut kepada (Allah),
10. Maka kamu mengabaikannya.[7]












BAB III
PENUTUP
Kesimpulan
Dari semua paparan diatas, terdapat beberapa titik tekan pada kisah-kisah dalam al-Qur'an, yaitu:
1. Pada dasarnya, kisah dalam al-Qur'an bertujuan untuk mengantarkan manusia pada suatu kebenaran melalui berbagai metode penyampaian dan ungkapan unsur-unsurnya.
2. Walaupun intinya sama, akan tetapi dalam al-Qur'an terdapat dua hal yang pokok, yaitu bahwa variasi kisah dalam paparan diatas dapat dikelompokkan pada 2 (dua) hal saja, yaitu: cerita yang berupa “kenyataan” (cerita yang benar-benar terjadi), dan “simbolik” (cerita yang hanya berupa simbol belaka dan terjadinya bukan merupakan keharusan).








DAFTAR PUSTAKA
A. Khalafullah, Muhammad. al-Fann al-Qashash fy al-Qur'an al-Karim, Terjemah. Al-Qur’an Bukan Kitab Sejarah. Jakarta: Paramadima, 2002.
Al-Hazimi, Ibrahim bin Abdullah Qishash Waqi’iyah an al-Anbiya’ wa al-Rasul wa Al-Sahabah wa al-Tabi’in wa al-Mutaqaddimin wa al-Muta’akhirin, Beirut: Dar al-Haqq, 2000.
Charisma, Moh Chadziq Tiga Aspek Kemukjizatan Al-Quran, Surabaya, Bina Ilmu, 1991.
Jalal, Abdul H. A, Ulumul Qur’an, Surabaya: Dunia Ilmu, 2000.
Qalyubi, Shihabuddin Stilistika al-Qur'an: Pengantar Orientasi Studi al-Qur'an, Yogyakarta: Titian Ilahi Press, 1997.
Qutub, Sayyid, al-Taswir al-Fann fy al Qur’an, Beirut: Dar al-Ma’arif, 1980.
Pustaka. 2004
-----------------------, Tafsir Al Mishbah : Pesan, Kesan, dan Keserasihan Al Qur’an, Jakarta: Lentera Hati, 2002
Penulis : Ust Sulaiman MA
http://makrufi-muahammad.blogspot.com/2012/03/kisah-didalam-al-quran.html



[1] A. Khalafullah, Muhammad. al-Fann al-Qashash fy al-Qur'an al-Karim, Terjemah. Al-Qur’an Bukan Kitab Sejarah. Jakarta: Paramadima, 56-65

[2] http://makrufi-muahammad.blogspot.com/2012/03/kisah-didalam-al-quran.html
[3] Qalyubi, Shihabuddin Stilistika al-Qur'an: Pengantar Orientasi Studi al-Qur'an, Yogyakarta: Titian Ilahi Press, 89-92

[4] Qalyubi, Shihabuddin Stilistika al-Qur'an: Pengantar Orientasi Studi al-Qur'an, Yogyakarta: Titian Ilahi Press, 53.

[1[5]] Orang buta itu bernama Abdullah bin Ummi Maktum. Dia datang kepada Rasulullah s.a.w. meminta ajaran-ajaran tentang Islam; lalu Rasulullah s.a.w. bermuka masam dan berpaling daripadaNya, karena beliau sedang menghadapi pembesar Quraisy dengan pengharapan agar pembesar-pembesar tersebut mau masuk Islam. Maka turunlah surat ini sebagi teguran kepada Rasulullah s.a.w.
1[6] Yaitu pembesar-pembesar Quraisy yang sedang dihadapi Rasulullah s.a.w. yang diharapkannya dapat masuk Islam.

[7] Tafsir Al Mishbah : Pesan, Kesan, dan Keserasihan Al Qur’an, Jakarta: Lentera Hati,122.