Kajian
Sastra
Sebuah Catatan Akhir
PENGANTAR SASTRA ARAB
BAGI MAHASISWA BAHASA DAN SASTRA ARAB
UIN MALIKI MALANG
oleh :Dr.Helmi Syaifuddin,M.Fil.I
TAHUN 2010
DAFTAR ISI
A. BANGSA ARAB: AKAR BAHASA & SASTRA ARAB
1. Bahasa dan Budaya Arab
2. Sastra Bahasa (Adab Lughah)
3. Pengertian Adab dari Masa ke Masa
B. PEMBAGIAN KESUSASTRAAN ARAB
1. PROSA (NATSR)
a. Pengertian Prosa
b. Amtsal
c. Al-Hikam
d. Al-Wasiyyah
e. Khithobah
2. PUISI (SYI’IR)
a. Pengertian Syi’ir
b. Awal Mula Timbulnya Syi’ir Arab
c. Pembagian Jenis Syi’ir dan Tujuannya
C. SEJARAH SASTRA ARAB
1. Sejarah Sastra dan Fungsinya
2. Periodesasi Sejarah Sastra Arab
D. SASTRA ARAB JAHILIYAH
1. Kedudukan Penyair dalam Masyarakat Arab Jahiliyah
2. Perhatian Masyarakat Jahiliyah terhadap Sastra
3. Faktor yang Mendukung Perkembangan Sastra Arab Jahiliyah
4. Tingkatan Penyair Jahiliyah
5. Karakteristik Syi’ir Jahiliyah
6. Al-Mu’allaqat
E. SASTRA ARAB MODERN
Perkembangan Kesusastraan Arab Modern
F. SASTRAWAN ARAB
1.
BAB I
BANGSA ARAB: AKAR BAHASA DAN SASTRA ARAB
A. Bahasa dan Bangsa Arab
Bahasa Arab termasuk rumpun bahasa Semit, yaitu bahasa yang digunakan oleh
bangsa-bangsa yang tinggal di sekitar sungai Tigris dan Furat, dataran Syiria,
dan jazirah Arabia (Timur Tengah). Seperti bahasa Siryania, Finisia, Assyiria,
Babilonia, Ibrania, dan Arabia. Dari sekian bahasa di atas yang dapat bertahan
sampai sekarang hanya bahasa Arab dan Ibrani. Diperkirakan bahwa bahasa Arab
adalah cabang bahasa Semit yang paling mendekati bahasa aslinya, karena bangsa
Arab tidak banyak bergaul dengan bangsa-bangsa lain, dan tidak pernah lama di
bawah kekuasaan bangsa asing.
Sebenarnya, bahasa Arab itu timbul sejak beberapa Abad sebelum Islam. Hanya
saja pencatatan dari bahasa tersebut baru dimulai dua abad sebelum lahirnya
Islam. Karena bukti peninggalan kesusastraan Arab yang dapat dicatat hanya
dimulai sejak dua abad sebelum Islam. Sedangkan, hasil karya yang ada di masa
sebelumnya dapat dikatakan hilang dimakan masa. Dengan demikian, kita tidak
dapat mengetahui dengan pasti bagaimanakah bentuk bahasa Arab di masa lalu.
Demikian pula dengan berita-berita yang menerangkan keadaan bangsa Arab kuno,
tidak dapat kita ketahui dari pencatatan sejarah. Hanya saja berita mengenai
mereka dapat kita ketahui dari Al-Quran dan kitab suci lainnya, misalnya cerita
mengenai kaum Aad, kaum Tsamud, kaum Nuh, dan lain-lain. Berita mengenai mereka
hanya terdapat dalam kitab suci Al-Quran.
Menurut perkiraan yang kuat, keadaan bangsa Arab kuno, lebih maju daripada
bangsa Arab yang lahir di masa timbulnya Islam. Karena dalam penggalian
sejarah, ditemukan bekas peninggalan monumental dan kota besar yang dibangun
oleh bangsa Arab kuno. Pendapat ini dikuatkan oleh Allah Swt di dalam Al-Quran.
Sedangkan, bangsa Arab yang lahir di masa lahirnya Islam, mereka lebih dikenal
sebagai bangsa Arab Badui (Nomaden), yang suka hidup berpindah-pindah mengikuti
sumber kehidupan. Cara kehidupan seperti itu dapat membentuk karakter dan
tabiat bangsa Arab seperti bangsa Barbar yang hidup ditempat lain.
Perlu diketahui bahwa sebelum bangsa Arab mempunyai bahasa persatuan, di setiap
daerah telah mempunyai bahasa daerah sendiri yang berlainan satu dengan yang
lainnya. Seperti penduduk Yaman, mereka memiliki bahasa sendiri yang dikenal
dengan bahasa Himyar, orang Nejed memiliki bahasa yang dipakai di Nejed saja,
dan lainnya. Walaupun setiap suku Arab mempunyai bahasa yang saling berbeda,
namun berkat adanya Ka'bah di Mekkah, dimana mereka sering berkumpul di tempat
itu setiap tahunnya, akhirnya bangsa Arab mempunyai bahasa persatuan yang dapat
oleh setiap suku Arab.
Bahasa persatuan mereka adalah bahasa Mudlor yaitu bahasa yang dipakai oleh
penduduk Hijaz, khususnya bahasa orang-orang Mekkah. Bahasa Mudlor itu juga
berasal dari percampuran bahasa daerah yang ada di seluruh jazirah, ditambah
dengan beberapa kata asing yang berasala dari bahasa Yunani, Persia,
Sansekerta, dan Ibrani.
Sehingga, bahasa Mudlor inilah yang kelak dipilih menjadi bahasa Al-Quran dan
As-Sunnah. Di mana berkat Al-Quran, maka bahasa Mudlor ini akan kekal dan
dikenal di seluruh dunia Islam. Bangsa Arab terdiri dari tiga generasi, yaitu:
1. Bangsa Arab al-Baidah yaitu bangsa Arab yang telah punah. Berita mengenai
mereka yang sampai kepada kita tidak ada sedikit pun yang benar, kecuali yang
dikisahkan Allah Swt dalam al-Quran dan yang banyak disebutkan dalam Hadist
Nabi Saw. Di antara kabilah-kabilah mereka yang terkenal antara lain: Thasam,
Jadis, ‘Ad, Tsamud, ‘Imliq, dan ‘Abdu Dakhm.
2. Bangsa Arab al-‘Aribah, yaitu bangsa Arab murni, mereka adalah anak
keturunan Qahthan, yang meninggalkan tempat asal mereka di sekitar sungai
Euphrat, dan memilih Yaman sebagai tempat tinggal mereka. Bahasa mereka berbaur
dengan bahasa pendahulu mereka di Yaman. Kemudian mereka menyebar ke berbagai
pelosok Jazirah Arab. Di antara induk kabilah-kabilah mereka adalah Kahlan dan
Himyar.
3. Bangsa Arab al-Musta'ribah, yaitu bangsa Arab campuran. Mereka adalah anak
keturunan Ismail bin Ibrahim a.s. yang mengalahkan orang-orang Qahthan dan
berbaur dengan mereka, baik dalam bahasa maupun dalam silsilah keturunan/nasab,
yang kemudian dikenal dengan sebutan orang-orang Adnan. Di antara induk
kabilah-kabilah mereka adalah Rabi'ah, Mudlar, Iyyad, da Anmar.
Selain ketiga generasi bangsa Arab yang telah disebutkan di atas, ada juga yang
disebut bangsa Arab Baru, yaitu bangsa Arab yang merupakan anak keturunan dari
kabilah-kabilah tersebut di atas yang berbaur dengan anak-anak dari
kabilah-kabilah lain dari Samudera Atlantik sampai seberang Laut Persi dan
Sungai Tigris, dan juga dari sebelah hulu sungai Euphrat dan Sungai Tigris
sampai ke seberang laut Jawa dan Sumatera. Mereka berbicara dengan
dialek-dialek bangsa Arab ‘Amiyah (bahasa Arab pasaran) yang berbeda-beda yang
dapat dikembalikan kepada bahasa Arab baku/fushha yang mereka ketahui melalui
pembelajaran.
B. Sastra Bahasa (Adabul Lughah)
Bahasa adalah ألفاظٌ يُعبرُ بها كل قومٍ عن مقاصدهم (lafal yang diungkapkan oleh
setiap kaum atau masyarakat untuk mengungkapkan maksud mereka (baik isi hati
maupun pemikiran mereka).
Adapun sastra bahasa (Adabul-Lughah) itu sendiri adalah kata-kata indah yang
mengandung imajinasi yang cermat, pelukisan yang lembut, yang diwariskan atau
dihasilkan oleh para penyair dan penulis, bertujuan untuk mendidik jiwa,
menghaluskan rasa, dan membudayakan bahasa. Ada juga yang mendefinisikan bahwa
sastra bahasa adalah segala bentuk prosa dan puisi yang dihasilkan oleh pikiran
seseorang yang menggambarkan watak dan kebiasaan, daya khayal, serta batas
kemampuan mereka dalam menggunakan bahasa yang bertujuan mendidik jiwa,
memperbaiki pikiran dan meluruskan lisan.
Terkadang kata "Adab" digunakan juga untuk menyebutkan segala
pembahasan ilmiah dan cabang-cabang seni sastra yang dihasilkan oleh setiap
bahasa. Sehingga kata "Adab" dapat mencakup segala sesuatu yang
dihasilkan oleh akal pikiran para ilmuan, penulis, dan penyair atau sastrawan.
Kesusastraan Arab (al-Adab al-Arabiy) merupakan kesusastraan terkaya, karena
merupakan kesusastraan yang tercipta sejak masa kanak-kanak manusia sampai
runtuhnya kebudayaan Arab. Bahasa Mudlor, setelah masa Islam, bukan hanya
menjadi bahasa suatu bangsa saja, tetapi menjadi bahasa bagi semua bangsa yang
masuk ke dalam agama Allah (Islam), atau berada di bawah lindungannya. Mereka
menciptakan makna-makna dan konsep-konsep, serta memperluas makna-makna dengan
bantuan rahasia-rahasia bahasa mereka. Kemudian mereka menjelajah kepelosok
bumi dengan membawa agama, sastra, budaya, dan ilmu. Lalu mereka berakulturasi
dengan setiap bahasa yang didatangainya, serta menyebarluaskan ilmu pengetahuan
orang-orang masa lampau dan peradaban orang-orang-orang terdahulu, dari
bangsa-bangsa Yunani, Persia, Yahudi, Hindu, dan Habsyi. Dia berdiri kokoh
menghadapi halangan dan rintangan selama berabad-abad yang panjang. Dia
menyaksikan pertarungan bahasa-bahasa di sekelilingnya dengan kepala tengadah
dan langkah yang tegap, mewarisi hasil cipta rasa dan buah akal pikiran dari
setiap peradaban (sastra/literature) dan kepercayaan. Bahasa bangsa-bangsa
dengan beraneka ragam perbedaannya, bagaikan parit-parit dan sungai-sungai yang
mengalir, lalu bercabang-cabang, kemudian berhimpun dan bermuara pada satu
samudera, yaitu bahasa Arab.
C. Pengertian Adab dari Masa ke Masa
Sebagai sebuah istilah, kata "Adab" mengalami perkembangan yang cukup
panjang dalam sejarah kesusastraan Arab. Perkembangan kata "Adab"
sejalan dengan perkembangan kehidupan bangsa Arab. Pengambilan kata itu dari
masyarakat Arab Badui sampai masyarakat Arab perkotaan yang telah mempunyai
peradaban. Kata "Adab" terdapat banyak perbedaan mengenai maknanya,
dan perbedaan makna itu sangat dekat, maksudnya perkembangan dan perubahan
makna itu tidak terlalu kontras dengan makna aslinya. Perubahan itu diketahui
sampai sekarang melalui perkataan-perkataan dan tulisan-tulisan. Penafsirannya
jelas hanya kecenderungan pendengar pendengar pada pengucapan kata
"Adab" tersebut.
Pada zaman Jahiliyyah kata "Adab" berarti "الدعوة إلى
الطعام" (mengajak makan atau undangan ke perjamuan makan), dan arti ini
sudah jarang digunakan, kecuali pada kata "Ma'dubah" dari akar kata
yang sama yaitu "Adab". Kata "Ma'dubah" berarti jamuan atau
hidangan, dengan kata kerja "Adaba-ya'dibu" yang berarti menjamu atau
menghidangkan makanan. Sebagaimana yang terdapat dalam perkataan Tharafah bin
Abdul Bakri al-Wa'illi:
نحن فى المشتاة ندعو الجفلى ¤ لا ترى الآدب فينا ينتفر
"Pada musim paceklik (musim kesulitan pangan), kami mengundang orang-orang
ke perjamuan makan, dan engkau tidak akan melihat para penjamu dari kalangan
kami memilih-milih orang yang diundang"
Kata "Adab" juga digunakan dalam arti "prilaku yang terpuji atau
terhormat dan sifat-sifat yang mulia" seperti yang terdapat di dalam
dialoq antara ‘Atabah dengan Hindun, puterinya. ‘Atabah berkata kepada
puterinya tentang Abu Sufyan yang datang melamarnya:
"... .بدر أرومته وعزّ عشيرته يؤدب أهله ولا يؤدبونه..."
".... Asal-usulnya mulia, keluarganya terhormat, dia sopan dan hormat
kepada keluarganya, meski diantara keluarganya ada yang tidak
menghormatinya....".
Akhirnya Hindun pun setuju menikah dengan Abu Sufyan sambil berkata:
"إنى لأخلاق هذا لوامقة, وإنى له الموافقة, وسآخذه بأدب البعل مع لزوم قبتى
وقلة تلفتى..."
"Sungguh, aku benar-benar menyukai akhlak dan perilaku yang demikian, dan
aku setuju menikah dengannya dan akan kujadikan ia suami yang dihormati, dan
dengan kesetiaan aku akan selalu berada di rumah, dan tidak akan berselingkuh
dibelakangnya".
Seperti yang dikemukakan oleh Bakalla (1984:34-36) bahwa pada zaman Pemulaan
Islam, ketika agama Islam datang dengan membawa ajaran-ajaranya yang menyeru
kepada akhlak mulia, maka kata "Adab" berarti "الدعوة إلى
المحامد ومكارم الأخلاق" (ajakan untuk memuji dan berakhlak baik), dan juga
mempunyai arti at-Tahdzib (pendidikan atau pengajaran), dan al-Khulqu (budi
pekerti), seperti yang disabdakan oleh Nabi Muhammad Saw:
"أدبنى ربّى فأحسن تأديبى..."
"Tuhanku telah mendidikku, maka baiklah pendidikanku/akhlak"
Beliau Saw juga bersabda:
"إن هذا القرآن مأدبة الله فى الأرض فتعلموا من مأدبته"
"Sesungguhnya Al-Qur'an ini adalah sumber peradaban Allah di muka bumi,
oleh karena itu belajarlah kalian pada sumber peradaban-Nya"
Umar bin Khattab berkata kepada puteranya:
"يا بنى انسب نفسك تصل رحمك, واحفظ محاسن الشعر يحسن أدبك..."
"Wahai anakku, nisbatkanlah (hubungkanlah silsilah keturunan) dirimu,
niscaya akan bersambung hubungan dengan keluargamu, dan hafalkanlah puisi-puisi
indah, niscaya akan menjadi lembut budi pekertimu"
Pada zaman Umayyah, kata Adab mempunyai arti at-Ta'lim (pengajaran), sehingga
dari kata itu lahir kata turunan al-Mu'addibun yaitu sebutan bagi orang-orang
yang masa itu bertugas memberikan pelajaran tentang puisi, khutbah, sejarah
orang-orang Arab, mulai dari keturunan mereka sampai pada peristiwa-peristiwa
yang mereka alami di zaman Jahiliyyah dan zaman permulaan Islam kepada
putera-putera khalifah.
Sementara pada zaman Abbasiyyah yang terkenal dengan zaman kebangkitan ilmu
pengetahuan, kata Adab mempunyai arti at-Tahdzibu wa at-Ta'liimu ma'an
(pendidikan sekaligus pengajaran), atau berarti semua ilmu pengetahuan yang
dihasilkan umat manusia dan juga tata cara yang perlu diikuti dalam suatu
disiplin tertentu. Arti "Adab" pada masa ini lebih mengacu pada
kebudayaan. Seperti yang pernah ditulis oleh Ibn al-Muqaffa (wafat 142 H.)
dalam bukunya yang berhudul al-Adab al-Kabir yang berisikan kumpulan-kumpulan surat-surat
panjang Ibn al-Muqaffa' yang terbagi menjadi dua bagian yaitu khusus mengenai
sultan, politik, dan pemerintahannya, dan yang berhubungan dengan persahabatan
dan sejenisnya. Dan al-Adab al-Shaqir yang berisikan surat-surat pendek Ibn
al-Muqaffa' yang berisi kumpulan wasiat mengenai budi pekerti, kemasyarakatan,
dan mengenai apa yang harus dipersiapkan oleh manusia dalam kehidupannya
seperti bagaimana bergaul dengan atasan, bawahan, dan sesamanya. Selain itu,
kata "Adab" telah meluas artinya dan sering diterapkan pada puisi,
prosa, peribahasa, dan balaghah, juga diterapkan pada bidang ilmu nahwu, sharf,
ushul, dan sebagainya.
Pada Abad ke-4 H, kata "Adab" semakin memiliki arti yang luas,
sehingga terkadang dari kata itu difahami sebagai segala sesuatu yang
keberadaannya mengandung nilai pendidikan, peningkatan intelektual dan moral
manusia baik dari segi sosial maupun budaya, serta pembentukan seseorang
menjadi cemerlang, memiliki keistimewaan yang cocok bagi penampilan figur kelas
elit dalam kehidupan intelektul sekaligus kehidupan material. Kata
"Adiib" yang berarti satrawan, mengarah kepada makna yang kita
sekarang dari kata "mutsaqqif" yang berarti budayawan atau orang yang
memiliki intelektual tinggi.
Dengan berakhirnya abad ke-4 H, seiring dengan berkembangnya ilmu bahasa dan
sastra, kata "Adab" mengandung pengertian ungkapan-ungkapan yang
indah, baik dalam bentuk puisi maupun prosa, dan ungkapan-ungkapan yang
memerlukan penafsiran dan penjelasan yang bekenaan dengan segi-segi baik dan
buruk yang terdapat didalamnya. Makna "Adab" yang demikian itu, masih
dapat difahami dan digunakan pada masa sekarang (modern). Dari sini, kita dapat
mengatakan bahwa kata "Adab" memiliki dua makna yang berbeda.
Pertama, kata "Adab" dalam pengertian yang khusus berarti perkataan
indah yang menimbulkan kenikmaan seni dalam jiwa pembaca atau pendengarnya,
baik perkataan itu berbentuk puisi maupun prosa. Kedua, kata "Adab"
dalam pengertian umum, yaitu hasil cipta rasa akal yang dilukiskan dalam
kata-kata yang ditulis dalam buku-buku.
Puisi indah, essai yang memikat, orasi (khutbah) yang memukau, dan kisah yang
mengesankan, semua ini termasuk "Adab" dalam pengertian khusus,
karena ketika kita membaca atau mendengarkannya, anda mendapatkan kenikmatan
seni seperti yang kita dapatkan ketika mendengarkan nyanyian seorang penyanyi,
alunan musik, serta ketika kita melihat lukisan atau patung yang mempesona.
Dengan demikian, maka "Adab" atau satra adalah sesuatu yang
berhubungan dengan citrarasa, perasaan, dan kesadaran kita. Sementara, dalam
referensi Barat disebutkan bahwa yang dimaksud dengan "Adab" dalam
pengertian literature adalah kumpulan peninggalan baik prosa atau puisi yang
terdapat pada bahasa dan bangsa tertentu dan mempunyai keistimewaan dalam gaya
dan idenya; Peninggalan yang berbentuk naskah atau cetakan khusus yang terdapat
dalam sebuah bahasa atau bangsa tertentu; Semua tulisan yang membicarakan
topik-topik tertentu, seperti adabul falak (tulisan tentang ilmu
falak/penanggalan) atau adab az-Ziraa'at (tulisan tentang ilmu pertanian); atau
sesuatu yang dihasilkan manusia dalam bentuk naskah atau cetakan, seperti buku
tentang ilmu Nahwu, Sharf, filsafat, termasuk kata "Adab" dalam
pengertian umum, karena itu merupakan gambaran atau konsepsi berbagai pengetahuan
yang dihasilkan manusia, terlepas ketika membacanya akan menimbulkan kenikmatan
seni dalam diri kita atau tidak (Mahmud Jad ‘Akawi dalam al-Mujaz fi al-Adab
al-Arabi, 1972, jilid I hal: 5-9).
Kemudian pertanyaan yang timbul adalah apakah hubungan antara kata Adab yang
bermakna umum dengan kata Adab yang bermakna khusus? Dahulu, bangsa Arab
memiliki tata cara tentang prilaku dan sikap yang harus diikuti oleh kelas
masyarakat tertentu, seperti para bangsawan Arab. Tata cara tersebut ditulis
dalam bentuk karya sastra, seperti puisi, khutbah (pidato), amtsal (pribahasa),
dan sebagainya. Berdasarkan konsep inilah, kemudian kata Adab ini diberi arti
yang lebih spesifik yaitu sastra (Bakalla, 1984:113).
Teeuw (1988, 21-24) mengatakan bahwa kata sastra dalam bahasa Indonesia berasal
dari bahasa sanskerta. Akar kata sas- berarti mengarahkan, mengajarkan, memberi
petunjuk atau instruksi. Akhiran -tra biasanya menunjukkan alat atau sarana.
Sehingga kata sastra dapat diartikan alat untuk mengajar, buku petunjuk, atau
buku pengajaran. Dalam bahasa Arab tidak ada sebuah kata yang artinya
bertepatan dengan sastra. Kata yang paling mendekatai adalah kata Adab. Dalam
arti yang sempit, kata Adab berarti belles-lettres, atau susastra. Awalan su-
berarti indah atau baik. Kata susastra ini tidak terdapat dalam bahasa
Sanskerta dan Jawa Kuno, tetapi merupakan kata Jawa atau Melayu yang muncul
kemudian. Kata Adab juga berarti kebudayaan, sivilisasi atau yang dalam bahasa
Arab disebut Tamaddun. Sastra sebagai konsep yang khas tidak diberi istilah
yang umum dalam kebudayaan Arab. Hal itu pasti berkaitan dengan pendirian orang
Arab mengenai sastra.
BAB II
PEMBAGIAN KESUSASTRAAN ARAB
Secara garis besar, kesusastraan Arab di bagi menjadi dua bagian, yaitu prosa
(an-Natsr) dan puisi (syi'r). Prosa terdiri atas beberapa bagian, yaitu: kisah
(Qishshah), peribahasa (amtsal) atau kata-kata mutiara (al-hikam), sejarah
(tarikh) atau riwayat (sirah), dan karya ilmiah (abhats 'ilmiyyah).
Kisah (Qishshah) adalah cerita tentang berbagai hal, baik yang bersifat
realistis maupun fiktif, yang disusun menurut urutan penyajian yang logis dan
menarik. Kisah terdiri dari 4 macam yaitu:
1. Riwayat adalah yaitu cerita panjang yang didasarkan atas kenyataan yang
terjadi dalam masyarakat.
2. Hikayat, yaitu cerita yang mungkin didasarkan atas fakta maupun rekaan
(fiksi).
3. Qishah qasirah, yaitu cerita pendek.
4. Uqsusah, yaitu cerita yang lebih pendek daripada Qishah qasirah.
Kisah berkembang menurut zamannya. Pada masa jahiliyyah, yang berkembang adalah
kisah mengenai berbagai hal yang berkenaan dengan kehidupan suku Badui, adapt,
dan sifat-sifat mereka. Pada masa Islam, yang berkembang ialah kisah-kisah
keagamaan, seperti cerita para nabi dan rasul yang bersumber dari kitab Taurat,
Injil dan al-Qur'an. Kisah yang berkembang pada masa Abbasiyyah tidak hanya
terbatas pada cerita keagamaan, tetapi sudah berkaitan dengan hal-hal lain yang
lebih luas, seperti kisah filsafat.
Adapun pada masa modern, kisah berkembang lebih pesat lagi, karena perkembangan
hubungan antara Islam dan peradaban-peradaban lain yang ada di dunia Barat.
Kisah yang berkembang pada masa ini adalah cerita panjang yang bersambung.
Missalnya Muntakhabat ar-Riwayat (cerita-cerita plihan) oleh Iskandar Kurku,
Riwayah Zainab oleh Muhammad Husein Haikal (1888-1956), al-Khiyam fi Rubu'
asy-Syam oleh Salim Bustani (1848-1884), Kifah Tayyibah (perjuangan terpuji)
oleh Naguib Mahfudz (1912-?), dan al-Ajnihah al-Mutakassirah (sayap-sayap
patah) oleh Gibran Khalil Gibran (1883-1931).
Peribahasa (amtsal) dan Kata-Kata Mutiara (al-hikam) adalah ungkapan-ungkapan
singkat yang bertujuan memberikan pengarahan dan bimbingan untuk pembinaan
kepribadian dan akhlak. Amtsal dan al-Hikam pada Masa Jahiliyyah lebih
mengggambarkan bangsa Arab yang hidup dalam keadaan yang penuh dengan
kefanatikan terhadap kelompok dan suku. Pencipta amtsal dan al-Hikam yang
terkenal pada masa ini adalah Aksam bin Saifi at-Tamimi, Qus bin Sa'idah
al-Iyadi, dan Zuhair bin Abi Sulma.
Amtsal dan al-Hikam pada masa Islam lebih menekankan pada hal-hal yang bersifat
religius serta berdasarkan pada al-Qur'an dan hadits. Tokoh yang terkenal pada
masa ini ialah Ali bin Abi Talib dengan karyanya Nahj al-Balaghah. Adapun
Amtsal dan al-Hikam pada masa Abbasiyah dan setelahnya lebih menggambarkan
hal-hal yang berhubungan dengan filsafat sosial dan akhlak. Tokoh yang terkenal
pada masa ini adalah Ibnu al-Muqaffa (720-756).
Sejarah (tarikh) atau Riwayat (sirah), mencakup sejarah beberapa negeri dan
kisah perjalanan yang dilakukan oleh para tokoh terkenal. Karya sastra terkenal
dibidang ini, antara lain: Mu'jam al-Buldan (Ensiklopedi Kota dan Negara) oleh
Yaqut ar-Rumi (1179-1229), Tarikh al-Hindi (Sejarah India) oleh al-Biruni (w.
448 H/1048 M), Tuhfah an-Nazzar fi Gara'ib Amsar wa 'Aja'ib al-Asfar (Persembahan
Seorang Pengamat tentang Negeri-Negeri Asing dan Perjalanan Yang Menakjubkan)
oleh Ibnu Batutah, Zakha'ir al-'Ulum wa Ma Kana fi Salif ad-Duhur
(Perbendaharaan Ilmu dan Peristiwa Masa Lalu) oleh Abu Hasan Ali bin Husein bin
Ali al-Mas'udi (w. 956), dan Muluk al-'Arab (Raja-raja Arab) oleh Amin
ar-Raihan (1876-1940).
Karya Ilmiah (abhats 'ilmiyyah) adalah mencakup berbagai bidang ilmu.
Karya-karya terkenal yang berkenaan dengan kajian ini ialah KItab al-Hayawan
(Buku tentang Hewan) dan Kitab al-Bukhhala (Buku tentang Orang Bakhil) oleh
al-Jahiz (w. 225 H/869 M), 'Aja'ib al-Makhluqat wa Gara'ib al-Maujudat
(Makhluk-Makhluk Yang Menakjubkan dan Benda-benda Yang Aneh) dan Asar al-Bilad
wa Akhbar al-'Ibad (Peninggalan Negeri-Negeri dan Berita Tentang Manusia) oleh
Abu Yahya Zakaria bin Muhammad al-Qazwaini (1208-1283), dan Sirr an-Najah
(Rahasia Kesuksesan), dan Siyar al-Abtal wa al-Qudama al-'Uzama (Sejarah Para
Pahlawan dan Pembesar-Pembesar Terdahulu) oleh Ya'qub Sarruf (1852-1928).
Adapun puisi (Syi'r) terbagi atas dua bagian, yaitu asy-Syi'r al-Ginai dan
asy-Syi'r al-Hikami atau asy-Syi'r at-Ta'limi. Asy-Syi'r al-Ginai merupakan
puisi hiburan yang berisi ungkapan perasaan sang penyair. Puisi ini terdiri
atas tiga bagian, yaitu:
1. Asy-Syi'r al-Wijdani, adalah puisi yang mengungkapkan perasaan penyair,
seperti gembira, suka cita, dan berita. Para penyair yang dipandang sebagai
tokoh dalam puisi jenis ini adalah Abu Firas al-Hamdani (932-968) dengan
kumpulan puisinya yang terkenal Diwan Abi Firas yang diterbitkan pertama kali
tahun 1873, dan al-Mutanabbi yang terkenal dengan kumpulan puisinya Diwan
al-Mutanabbi.
2. Asy-Syi'r al-Ratsai, adalah puisi hiburan yang diungkapkan oleh penyair
ketika meratapi seseorang yang telah meninggal. Di antara sastrawan yang
dianggap tokoh dalam puisi jenis ini adalah al-Muahhil (w. 531) dengan kumpulan
puisinya yang terkenal Ratsa'uh li Akhihi Kulaib (Ratapannya kepada Saudaranya
Kulaib), dan Abu Jazrah Jarir bin Atiyah (653-7330 dengan kumpulan puisinya
yang terkenal Diwan Jarir fi al-Madh wa ar-Ratsa (Kumpulan Puisi Jarir tentang
Sanjungan dan Ratapan).
3. Asy-Syi'r al-Fakhr, adalah puisi yang menyanjung kebesaran dan keperkasaan
seseorang atau kelompok tertentu. Yang dianggap sebagai tokoh dalam jenis puisi
ini ialah Antarah bin Syaddad (w. 615) dengan kumpulan puisinya yang terkenal
Diwan 'Antarah fi al-Fakhr wa al-Hamasah wa al-Gazal (Kumpulan Puisi Antara
Tentang Kebanggaan, Semangat, dan Sajungan).
Adapun asy-Syi'r al-Hikami atau asy-Syi'r at-Ta'limi adalah puisi yang
berisikan pendidikan atau pengajaran. Yang dianggap tokoh dalam jenis puisi ini
ialah Zuhair bin Abi Sulma (530-627) dengan karyanya al-Hauliyyat, Labib bin
Rabi'ah (560-661) yang terkenal dengan karyanya Hikmah ar-Ratsa
(Mutiara-Mutiara Ratapan), Addi bin Zaid (w. 604) yang terkenal dengan puisi
Hikam (Kata-Kata Mutiara) dan Zuhdiyyat (Kezuhudan), Abu al-'Ala al-Ma'arri
(973-1058) yang terkenal dengan karyanya al-Luzumiyyat (Kebutuhan) dan Risalah
al-GufranLamiyah ibn al-Wardi (Ratapan Ibnu al-Wardi), dan Nasif al-Yaziji
(1800-1871) dengan puisinya yang terkenal Diwan Syi'r Nasif. (Risalah
Pengampunan), Ibnu al-Wardi (1290-1349) dengan karyanya yang terkenal
Pada masa modern, penyair yang terkenal dalam jenis puisi ini adalah Ahmad
Syauqi (1868-1932) dengan karyanya yang terkenal asy-Syauqiyyat (Puisi-Puisi
Syauqi), dan Muhammad Hafiz Ibrahim (1872-1932) dengan kumpulan puisinya Diwan
Hafiz Ibrahim (Kumpulan Puisi Hafiz Ibrahim).
A. PROSA
1. Pengertian Natsr (Prosa)
Terdapat banyak perbedaan definisi yang dikemukan oleh para ahli sastra Arab.
Akan tetapi, perbedaan ini hanyak terletak bahasa penyampaiannya saja. Namun,
mengenai hakikat sebuah prosa mereka memiliki pendapat yang sama, seperti yang
dikemukakan di bawah ini :
والنثر : فهو ما ليس بشعر من الكلام المصقول المنمق, فهو لايتقيد بوزن ولا قافية
"Prosa adalah ungkapan atau tulisan yang tidak sama dengan Syi'r, ia tidak
terkait dengan wazan atau qafiyah"
Sebagian para ahli sastra Arab berpendapat bahwa timbulnya natsr lebih dahulu
daripada timbulnya syi'r, sebab prosa tidak terikat oleh sajak dan irama. Prosa
itu bebas bagaikan derasnya air. Sedangkan timbulnya syi'r sangat erat
hubungannya dengan kemajuan manusia dalam cara berpikir. Sehingga mereka
berpendapat bahwa manusia baru dapat mengenal bentuk-bentuk syi'r setelah
mencapai kemajuan dalam bidang bahasa. Terdapat dua jenis natsr yaitu natsr
ghair fanni dan natsr fanni. natsr ghair fanni adalah ungkapan prosa yang
keluar dari lisan mereka baik ketika terjadinya percakapan maupun ketika melakukan
orasi (khutbah), yang mereka lakukan secara spontan. Sedangkan natsr fanni
adalah prosa yang diungkapkan dengan keindahan nilai-nilai sastra yang membekas
ke dalam jiwa dan perasan.
Secara umum natsr Jahiliyyah terbagi ke dalam beberapa jenis diantaranya :
al-Khutbah, al-Wasiyat, al-Hikmah, al-Matsal (Amtsal), dan ada juga ahli sastra
Arab memasukan Saj'u Khuhan (mantera dukun) ke dalam pembagian jenis prosa Arab
Jahiliyyyah.
Adapun karakteristik yang dimiliki Natsr Jahiliyyah antara lain kalimat yang digunakan
ringkas, lafaznya jelas, memiliki kedalaman makna, bersajak (mengakhiri setiap
kalimat dengan huruf yang sama), terkadang sering dipadukan dengan syi'r,
amtsal dan yang lainnya.
2. Al-Amtsal (Pribahasa)
Pengertian Amtsal,
والأمثال هي جمل رصينة موجزة تشير إلى قصة أو حادثة يشبه بها حال الذى حكيت فيه
بحال الذى قيلت لأجله
Amtsal adalah kalimat singkat yang diucapkan pada keadaan atau peristiwa
tertentu, digunakan untuk menyerupakan keadaan atau peristiwa tertentu dengan
keadaan atau peristiwa asal dimana matsal tersebut diucapkan.
Kata amtsal adalah bentuk jamak dari masalun dan mislun, yang mengandung arti
bidal atau bandingan. Terdapat banyak arti kata masalun dan mislun yang dapat
kita jumpai, misalnya persamaan, padanan, sederajat, sepangkat, sejalan
(dengan), menurut kias, sama (dengan). Atau dalam terjemahan bahasa asing
lainnya kita jumpai seperti simelar, equal dan analogous. Dalam sastra
Indonesia amtsal ini sama dengan pribahasa atau pepatah.
Dalam sejarah Mesir Kuno banyak dikenal buku-buku bidal yang berisi pengajaran
dan nasehat-nasehat dengan menggunakan kata-kata amtsal, misalnya: Al-Fallah
al-Fasyih, Sibawaih dan Aibur. Koleksi buku-buku ini disebut Sifru al-Amtsal
(Kitab Bidal/The Book of Proverbs). Di bawah ini terdapat beberapa contoh dari
amtsal, di antaranya :
قبل الرمى تملأ الكنائن
"Sebelum memanah penuhi dahulu busur-busur"
Pribahasa di atas memiliki kesamaan dengan pribahasa "Sedia payung sebelum
hujan" yang merupakan sebuah pesan agar sebelum bertindak kita haruslah
mempersiapkan sesuatu yang berkaitan dengan tindakan yang akan dilakukan.
ضعف الطالب والمطلوب
"Si peminta dan yang meminta lemah"
Pribahasa di atas merupakan sebuah ungkapan di waktu kita diminta seseorang
agar membantunya berupa uang atau bantuan yang lain, pada kita sendiri tidak
mempunyai uang atau bantuan yang dapat diberikan.
Diriwayatkan bahwa ada seorang Arab mengutus anaknya untuk mencari untanya yang
hilang, namun anaknya tak kunjung pulang, maka pergilah sang ayah untuk mencari
anaknya tersebut pada bulan haram, ditengah perjalanan ia bertemu dengan
seorang pemuda dan menemaninya, sang pemuda tersebut kemudian berkata: beberapa
waktu lalu aku bertemu dengan seorang pemuda dengan ciri-ciri begini dan begini
dan aku rampas pedang ini darinya, sang ayah pun berfikir dan melihat pedang
tersebut, barulah ia sadar bahwa pemuda inilah yang membunuh anaknya, sang ayah
pun menebas pemuda tadi hingga mati, ketika masyarakat mengetahui hal tersebut
mereka mengatakan " mengapa kau membunuh di bulan haram, sang ayah berkata
:
سبق السيف العذل
"pedangku telah mendahului celaan kalian."
Diriwayatkan pula bahwa pada suatu musim panas seorang lelaki tua menikahi
gadis muda yang cantik jelita, lelaki tadi memiliki begitu banyak unta dan
kambing yang senantiasa memproduksi susu. Akan tetapi wanita ini tidak
mencantai lelaki tua itu dan meminta untuk diceraikan, maka merekapun bercerai.
Wanita tadi akhirnya menikah dengan seorang pemuda yang tampan namun miskin,
tidak punya kambing apalagi unta, pada musim dingin wanita tadi melihat
sekawanan kambing milik lelaki tua mantan suaminya dan memohon agar diberikan
susu dari kambing-kambing tersebut, namun lelaki tua itu menolak dan berkata :
الصيف ضيعت اللبن
"Musim panas yang lalu kau telah menyia-nyiakan susu yang aku beri"
Matsal di atas diucapkan kepada seorang yang telah menyia-nyiakan kesempatan
dimasa lalu namun kini mengharapnya kembali.
3. Al-Hikam (Kata-Kata Mutiara)
Pengertian Hikam,
والحكم : قول موجز يشتمل على حكم صائب ورأى سديد.
"Hikam atau kata-kata mutiara adalah ucapan kalimat yang ringkas yang
menyentuh yang bersumber dari pengalaman hidup yang dalam, di dalamnya terdapat
ide yang lugas dan nasihat yang bermanfaat."
Terkadang kata-kata mutiara juga terdapat di dalam sebuah syi'r sebagaimana
banyak ditemukan di dalam Syi'r Zuhair bin Abi Sulma. Adapun di antara para
penghikmah yang terkenal, antara lain : Qus bin Sa'idah dan Dzul Isba'
Al-‘Adwani. Di bawah terdapat beberapa contoh dari hikam atau kata-kata mutiara
:
آفة الرأي الهوى
"Perusak akal sehat manusia adalah hawa nafsunya."
مصارع الرجال تحت برو ق الطمع
"Kehancuran seorang lelaki terletak dibawah kilaunya ketamakan"
4. Al-Wasiat
Pengertian al-wasiat,
وهي كالخطابة, الكلام الذى يصدر من المرأة, لإبنـتها ومن الرجل لولده ومن الأمير
لقواد جيشه ومن الحكيم لقومه, ويغلب ذلك عند الإحساس بالأجل أو العزم على الرحلة.
"Wasiat itu sama seperti khutbah yaitu ucapan atau pesan yang disampaikan
oleh seseorang, baik dari orang tua kepada anaknya, dari pemimpin kepada anak
buahnya, dari hakim kepada masyrakatnya. Biasanya wasiyat disampaikan oleh
seseorang yang merasa bahwa ajalnya sudah dekat atau seseorang yang hendak
melakukan perjalanan".
Wasiat memiliki banyak persamaan dengan khutbah hanya saja umumnya wasiat itu
lebih ringkas. Di bawah ini adalah contoh wasiat yang disampaikan oleh Dzul
Isba' Al-‘Adwani kepada anaknya yang bernama Usaid. Diriwayatkan bahwa disaat
Dzul Isba' Al-‘adwani merasakan ajalnya ia memanggil anaknya Usaid, ia
menasihati anaknya dengan beberapa nasihat demi mewujudkan kedudukan yang mulia
ditengah manusia dan menjadikannya seorang yang mulia, terhormat dan dicintai
oleh kaumnya. Ia berkata :
ألن جانبك لقومك يحبوك, وتواضع لهم يرفعوك, وابسط لهم وجهك يطيعوك, ولا تستأثر
عليهم بشيء يسودوك,أكرم صغارهم كما تكرم كبارهم و يكبر على مودتك صغارهم, واسمح
بمالك, و أعزز جارك وأعن من استعان بك, وأكرم ضيفك, وصن وجهك عن مسألة أحد شيئا,
فبذلك يتم سؤددك
"Berlemah lembutlah kepada manusia maka mereka akan mencintaimu, dan
bersikap rendah hatilah niscaya mereka akan mengangkat kedudukanmu, sambut
mereka dengan wajah yang selalu berseri maka mereka akan mentaatimu, dan
janganlah engkau bersikap kikir maka mereka akan menghormatimu. Muliakanlah
anak kecil mereka sebagaimana engkau mencintai orang-orang dewasa diantara
mereka, maka anak kecil tadi akan tumbuh dengan kecintaan kepadamu, mudahkanlah
hartamu untuk kau berikan, hormatilah tetanggamu dan tolonglah orang yang
meminta pertolongan, muliakanlah tamu dan selalulah berseri ketika menghadapi
orang yang meminta-minta, maka dengan itu semua sempurnalah kharismamu."
5. Khithobah (Orasi)
Pengertian khutbah atau orasi,
والخطابة هي كل كلام مؤثر يلقى على ملأ من الناس لإقناعهم بما فيه الخير لعامتهم
فى حاضرهم ومستقبلهم.
Khithobah atau orasi adalah serangkaian perkataan yang jelas dan lugas yang
disampaikan kepada khalayak ramai dalam rangka menjelaskan suatu perkara
penting.
Adapun penyebab munculnya khithobah pada periode Jahiliyah antara lain :
banyaknya perang yang terjadi antar kabilah, pola hubungan yang ada pada
masyarakat Jahiliyyah seperti saling mengucapkan selamat, belasungkawa dan
saling memohon bantuan perang, kekacauan politik yang ada kala itu, menyebarnya
buta huruf, sehingga komunikasi lisan lebih banyak digunakan daripada tulisan,
dan saling membanggakan nasab dan adat istiadat.
Ciri khas yang dimiliki oleh khithobah pada masa ini antara lain: penggunaan
kalimat yang ringkas, lafaz yang jelas dan ringkas, makna yang mendalam,
bersajak (berakhirnya setiap kalimat dengan huruf yang sama) dan terkadang
sering terjadi perpaduan antara syi'r, hikmah dan matsal.
Khithobah memiliki peranan yang besar dalam kehidupan masyarakat Jahiliyyah
pada waktu itu. Bagi mereka khutbah merupakan alat komunikasi untuk menunjukkan
kehebatan suatu kabilah atau menjadi semangat dalam sebuah peperangan antar
kabilah. Adapun tempat-tempat yang biasa dipakai untuk berorasi antara lain:
1. Sebelum peperangan antar kabilah terjadi, dimana sang orator berdiri diatas
kuda atau unta untuk memberikan semangat pada pasukannya agar dapat memenangkan
peperangan.
2. Ketika munafarah, yaitu dimana seseorang membanggakan diri di depan orang
lain, atau membanggakan satu kabilah dengan kabilah yang lain. Dalam keadaan
ini sang orator akan berorasi didepan khayalak ramai untuk membanggakan
kabilahnya.
3. Ketika berada di hadapan utusan raja atau amir, sang orator maju dihadapan
para utusan tersebut dan berorasi untuk menyampaikan keinginan-keinginan
mereka.
4. Ketika acara pernikahan, khutbah pada acara pernikahan ini sudah menjadi
kebiasaan masyarakat Arab sejak dahulu yang hingga saat ini masih dipertahankan,
sebagaimana yang dilakukan paman Nabi SAW, Abu Thalin ketika menikahkan Beliau
SAW dengan Siti Khadijah.
Di antara para orator yang terkenal pada masa Jahiliyyah, antara lain : Aktsam
bin Shaifi, Qus bin Sa'idah al-Iyady (sang orator Ukadz), Amr bin
Ma'dayakiribah Al-Zabidy.
Di bawah ini terdapat contoh khutbah yang disampaikan oleh Hani' Bin Qobishoh
ketika terjadi peperangan Dzi-Qorin. Diriwayatkan bahwa Kisra ( Raja Persia )
memaksa Hani bin Qobishoh Asa-Syaibani agar menyerahkan harta amanah yang
dititipkan kepadanya oleh Nu'man ibnul Mundzir-salah seorang penguasa Irak-.
Hani menolak permintaan tersebut demi menjaga amanah yang dititipkan kepadanya
sehingga terjadilah perang antara tentara Persia dengan kabilah Bakr yang
dipimpin oleh Hani, pertempuran tersebut berlangsung pada sebuah tempat dekat
Bashrah di Irak yang bernama Dzi-Qorin, pertempuran tersebut akhirnya
dimenangkan oleh Kabilah Bakr, sebelum pertempuran tersebut berlangsung Hani'
membakar semangat para pasukannya dengan perkataannya :
يا معشر بكر , هالك معذور خير من ناج فرور, إن الحذر لا ينخي من القدر, و إن الصبر
من أسباب الظفر, المنية ولا الدنية, استقبال الموت خير من استدباره, و الطعن في
ثغر النحور, أكرم منه في الأعجاز و الظهور, يا أبا بكر : قاتلوا فما للمنايا من بد
"Wahai sekalian kaum Bakr, orang yang kalah secara terhormat lebih baik
dari orang yang selamat kar'na lari dari medan juang, sesungguhnya ketakutan
tidak akan melepaskan kalian dari ketentuan Tuhan, dan sesungguhnya kesabaran
adalah jalan kemenangan. Raihlah kematian secara mulia, jangan kalian memilih
kehidupan yang hina ini. Menghadapi kematian lebih baik daripada lari darinya,
tusukan tombak di leher-leher depan lebih mulia dibanding tikaman dipunggung
kalian, wahai kaum Bakr..... Berperanglah!!!! Karena kematian adalah suatu
kepastian.. "
B. PUISI
1. Pengertian Syi'r
والشعر هو الكلام الموزن المقفى المعبر عن الأخيلة البديعة والصّور المؤثرة
البليغة.
Syi'r adalah ungkapan atau ungkapan yang berwazan dan berqafiah yang
mengungkapkan imajinasi yang indah dan bentuk-bentuk ungkapan yang mengesankan
lagi mendalam (Zayyat, 1996: 25).
Para penyair pada zaman jahiliyah dianggap sebagai kaum intelektual. Mereka
dianggap golongan orang yang paling tahu berbagai macam ilmu yang dibutuhkan
bangsa Arab pada masanya. Yaitu pengetahuan tentang nasab, kabilah-kabilah dan
ilmu lain yang mashur pada masa itu. Menurut Ahmad Amin (1933: 55) secara
etimologi kata sya'ara sendiri berarti 'alima (mengetahui). Seperti kalimat
sya'artu bihi artinya alimtu. Dari sini dapat dipahami juga pada ayat berikut:
وَمَا يُشْعِرُكُمْ أَنَّهَا إِذَا جَاءَتْ لا يُؤْمِنُونَ.
"Dan apakah yang memberitahukan kepadamu bahwa apabila mukjizat datang
mereka tidak akan beriman"(QS. 6: 109).
Dalam kamus lisan al-Arab, kata sya'ara (شعر) dimaknai ilmu dan makrifah.
Karena itu kata asy-sya'ir (الشاعر) artinya (العالم) wa asy-syua'ara' artinya
ulama. Kemudian kata syi'r berkembang menjadi sebuah istilah yang khusus, dalam
al-lisan disebutkan:
و الشعر منظوم القول، غلب عليه لشرفه بالوزن و القافية، .
"Puisi itu merupakan rangkaian kata-kata, yang biasanya tersusun dalam
bentuk wazan dan qafiyah"
Pada zaman jahiliyah para penyair adalah golongan masyarakat jahiliyah yang
paling berilmu. Di samping golongan lain yang disebut dengan hukkam. Golongan
ini memberi keputusan atas berbagai perselisihan antar anggota masyarakat dalam
hal derajat dan nasab. Setiap kabilah memiliki satu hakim atau lebih, di antara
hakim yang terkenal Aqsam ibn Saifi, Hajib ibn Zurarah, al-Aqra' ibn habis dan
Amir ibn Gharb. Secara intelektual mereka ini lebih tinggi dari para penyair
akan tetapi secara imajinasi para penyair lebih luas dan lebih membekas.
Sehingga bangsa Arab menyatakan bahwa :
إن الشعر ديوان العرب
"Sesungguh puisi itu merupakan diwan bangsa Arab"
Yang dimaksud dengan diwan di sini adalah catatan bahwa Syi'r mencatat berbagai
hal tentang tata krama, adat istiadat, agama dan peribadatan mereka serta
keilmuan mereka, atau dengan kata lain mereka mencatat tentang diri mereka
sendiri dalam Syi'r. Dahulu para sastrawan menggunakan syair Arab jahiliyah
untuk memahami berbagai perang dan memahami kepahlawanan, kedermawanan dan
kelicikan yang digunakan untuk menciptakan Syi'r madah dan hija' (Amin, 1933:
57).
Beberapa kumpulan diwan Arab jahiliyah adalah sebagai berikut: al-Mu'allaqat as-Sab'u
yang dikumpulkan oleh Hammat ar-Rawiyah, al-Mufadhdholiyyat yang disusun oleh
al-mufadhdhal adh-dhobiyyu terdiri dari 128 qasidah, diwan al-hammasah yang
disusun oleh Abi Tamam yang berisi potongan-potongan syi'ir jahiliyah yang
sangat banyak, al-Hammasah karangan al-Bukhturi, al-Aghani, asy-Syi'ru wa
asy-Syu'ara' karangan Ibnu Kutaibah, Mukhtarat Ibnu Sajary, Jamharotu Asy'aru
al-Arab karangan Abu Zaid al-Kurasyi, Syi'r jahiliyah yang sampai kepada kita
tidak lebih dari 150 tahun sebelum kenabian, hasil pengamatan kepada Syi'r Arab
menunjukkan tema-temanya tidak variatif, maknanya tidak melimpah, Syi'r-Syi'r
jahiliyah, qasidah dan musiqahnya serta iramanya satu, tasybih dan isti'arahnya
sering terulang, miskin kreasi dan miskin variasi (Amin, 1933: 58).
Syi'r menjadi panglima kehidupan pada zaman jahiliyah, menjadi idola dalam
seluruh bidang kehidupan. Berbagai momen kehidupan baik ritual keagamaan,
sosial politik, perang dan perdagangan menggunakan Syi'r sebagai alat motivasi
handal. Syukri Faishol menggambarkan dominasi Syi'r pada masa jahiliyah sebagai
berikut :
كَانَ الشِعْرُ مِن الْاَثرةِ واَلطُغْيَان بِحَيْثُ كَانَ يَسْتبد بِكُلَّ
مَجَالاَت الْقَوْل ، فَى الْحَرْب وَالْسِلْم وَفِيْ الفَخْر وَالْهِجَاء، وَفِي
التَأَمّل الدِّيْنِي وَالتّفْكِيْر الْفَلْسَفِي، فِي هذِهِ جَمْيعًا كَانَت
الْحَيَاة الْجَاهِلِيّة تَتَنَفَّس هذَا التَنَفُّس الْشِعْرِي...وَحَتَّى حِيْنَ
يَكُوْن الْنَثْر أَحْيَانًا عَلَى أَلْسِنَة الْكُهَّان، كَانَ نَثْرًا
مَسْجُوْعًا.
"Syi'r begitu dominan menguasai berbagai macam bentuk ungkapan di berbagai
bidang dalam peperangan, dalam perdamaian seperti fakhr dan hija' dalam
penghayatan keagamaan, dalam pemikiran filosofis. Semua bidang tersebut pada
masa jahiliyah tumbuh dalam suasana puitis, bahkan rotsa yang biasa digunakan
para dukun-dukun jahiliyah pun bersajak sehingga dikenal dengan saja'ul-kuhhan.
Hubungan antara keduanya begitu dekat dalam wazan dan qafiyahnya. Secara
historis prosa liris tidak memiliki akar yang kuat dalam kehidupan jahiliyah
tidak seperti jahiliyah, memiliki tradisi puitis dan memiliki sisi historis
yang panjang. Yang menopang kekokohan keberadaannya dari segi produksi,
sastrawan dan periwayatannya." (Syukri Faishol, 1973: 351).
2. Awal Mula timbulnya Syi'r Arab
Sejarah mengenai awal mula Syi'r Arab merupakan sejarah yang sulit untuk
menentukan batasannya. Akan tetapi para ahli sejarah sastra Arab berpendapat
bahwa timbulnya Syi'r Arab telah lebih dahulu daripada prosa. Syi'r Arab
Jahiliyyah yang sampai kepada kita saat ini hanya sebagian Syi'r yang pengumpulannya
pada perang Busus sekitar 150 tahun sebelum Islam. Itupun tidak merupakan
keseluruhan Syi'r yang dihasilkan bangsa Arab di masa tersebut. Sehingga Syi'r
Jahiliyyah yang sampai kepada kita sekarang ini hanyalah sebagian kecil saja
dari Syi'r Jahiliyyah yang dapat diselamatkan dari kepunahan.
Syi'r Jahiliyyah yang sempat dihapal oleh generasi yang datang di masa Islam
akhirnya dicatat dan dibukukan dalam catatan-catatan pribadi, kemudian
diajarkan kepada generasi berikutnya. Kemudian dari hapalan-hapalan tersebut
lalu dikumpulkan oleh para pengumpul Syi'r, seperti Hammad Arrowy, Al-Asmaiy,
Khallaf bin Amru dan Abu Bakar Hawarizmy. Merekalah yang mengumpulkan Syi'r
yang masih ada pada suku Badui Arab. Karena suku Badui sangat terkenal dalam
kekuatan hapalannya untuk menjaga adat istiadat dan hasil karya nenek moyang
mereka. Selanjutnya, hasil karya sastra Arab yang telah dibukukan, kelak akan
dijadikan sandaran bahasa Arab oleh para ahli linguistik Arab, ahli balaqhah,
dan juga para penyair Islam yang datang di masa sesudahnya.
Mengenai sejarah awal mula timbulnya Syi'r Arab Jahiliyyah, sosok Muhalhil bin
Rabiah Attaghliby dianggap sebagai orang pertama yang menciptakan Syi'r Arab.
Hal ini dikarenakan dari sekian banyak Syi'r Arab yang ditemukan hanyalah sampai
pada zaman Muhalhil, dan dari sekian banyak Syi'r Muhalhil yang dapat
diselamatkan hanya sekitar 30 bait saja.
Anggapan bahwa Muhalhil adalah perintis pertama dalam menciptakan Syi'r Arab,
bukan berarti bahwa permulaan timbulnya Syi'r Arab itu dimulai dari zaman
Muhalhil. Bahkan jauh sebelum zaman Muhalhil, Syi'r Arab telah ada, hanya saja
Syi'r Arab kuno yang ada sebelum zaman Muhalhil telah lenyap. Pendapat ini
dikuatkan oleh Umru' Al-Qais yang menyatakan bahwa sebelum zaman Muhalhil,
bangsa Arab telah mengenal Syi'r.
عوجا على الطّلل المحيل لأننا # نبكى الدّيار كما بكى ابن خذام
Mari kita kembali (mengenang) kepada puing-puing yang runtuh, karena kami akan
mengenang (menangisi) kembali kekasih yang telah pergi, seperti yang telah
dilakukan oleh Ibnu Al-Huzama.
Bait syi'r di atas memberikan penerangan kepada kita bahwa segala apa yang
dilakukan penyair yang ada pada masa Jahiliyyah hanyalah sebuah tiruan atau
pengulangan dari yang telah dilakukan oleh penyair masa sebelumnya. Pendapat
Umru' Al-Qais ini dikuatkan oleh pendapat Zuhair bin Abi Sulma dalam bait
syi'rnya di bawah ini
ما ارانا نقول إلاّ معارا # او معاذا من لفظنا مكرورا
Apa yang kami ucapkan waktu ini, tidak lain hanyalah jiplakan (tiruan) atau
ulangan dari ucapan syair di masa lampu.
Dari kutipan-kutipan syi'r di atas dapatlah kita ketahui bahwa sejak sebelum
Masehi, bangsa Arab telah mengenal syi'r, hanya saja karya mereka telah lenyap
dimakan waktu. Adapun Muhalhil hanyalah sebagai seorang penerus atau perintis
syi'r Arab Jahiliyyah.
3. Pembagian Jenis-jenis Syi'r dan Tujuannya
Bahasa Arab pada zaman Jahiliyah ada dua bentuk prosa dan syair. Prosa
berfungsi sebagai alat komunikasi tetapi kedudukannya tidak lebih tinggi dari
syair, sehingga prosa ini kurang mendapat tempat dihati orang-orang Arab,
anggapan mereka bahwa prosa tidak mengandung unsur keindahan dan seni dalam
mengungkapkan apa yang hendak mereka ungkapkan. Lain lagi halnya dengan syair,
bangsa Arab mempunyai ketajaman dalam menilai bahasa, keindahan dalan berucap
yang senantiasa disatukan dengan perasaan yang sangat halus yang merela miliki,
sehingga mereka mampu berimajinasi dengan sangat tinggi. Faktor inilah yang
menjadi modal dasar bangsa Arab untuk menggugah syair yang indah dengan
berbagai tujuannya sesuai dengan apa yang sedang bergejolak dalam jiwanya.
Karna menurut pandangan bangsa Arab syair merupakan puncak keindahan dalam
sastra mereka dibanding dengan hasil sastra lainnya.
Syair -syair yang mereka lantunkan dapat memukau dan mempengaruhi jiwa
sipendengarnya, sehingga sudah menjadi tradisi dan kebiasaan orang Arab untuk
selalu menghafalkan apa yang telah mereka dengar sampai benar-benar hafal.
Kemudian syair-syair itu diajarkan kepada anak cucunya atau kerabat dalam
kabilah itu sehingga sampai kepada beberapa generasi berikutnya. Peran dan
fungsi bahasa pada zaman Jahiliyah sangatlah sederhana seirama dengan
kesederhanaan letak geografisnya, ketandusan wilayahnya yang menyebabkan mereka
tidak dapat bertani, dan jalannya perdagangan sangat sulit dan rumit akibat daerah
yang satu dengan yang lainnya sangat berjauhan, dan juga peperangan antar suku
kerap terjadi. Hal seperti inilan membuat bahasa mereka sangat sederhana.
Adapun puisi (Syi'r) terbagi atas dua bagian, yaitu asy-Syi'r al-Ginai dan
asy-Syi'r al-Hikami atau asy-Syi'r at-Ta'limi. Asy-Syi'r al-Ginai merupakan
puisi hiburan yang berisi ungkapan perasaan sang penyair. Adapun asy-Syi'r
al-Hikami atau asy-Syi'r at-Ta'limi adalah puisi yang berisikan pendidikan atau
pengajaran.
Menurut Syauqi Dhaif (2001: 196) yang pertama kali melakukan tipologi tema
Syi'r Arab dan membukukannya adalah Abu Tamam (w. 232 H). Abu Tamam membagi
tema Syi'r Arab dalam 10 (sepuluh) tema yaitu Hammasah, Maratsi, Adab, Nasib,
Hija`, Adyaf, Madih, Sifat, Sair, Nu'as, Milh, Mazammatu Nisa`. Tema-tema
tersebut tidak teratur kadang Adyaf masuk dalam kategori madih, kadang masuk ke
hammasah dan kadang masuk ke fakhr. Sedang tema siar dan nu'as masuk kepada
tema sifat sebagaimana Madzammatun Nisa' masuk ke Hija' dan al-Milh sering
tidak jelas maksudnya. Qudamah dalam bukunya Naqdu asy-Syi'ri membagi tema
Syi'r Arab menjadi enam, yaitu madih, hija', nasif, maratsi wa al-wasfu wa
at-tasybih. Kemudian dia mencoba untuk meringkasnya saja menjadi dua bab saja
yaitu bab madah dan hija'. Ibnu Rasyiq membagi menjadi sepuluh dalam bukunya
al-'Umdah yaitu an-nasib, al-madih, al-iftikhar, ar-ritsa, al-iqtidho',
al-istinjas, al-'itab, al-wa'id, al-indzar, al-hija' dan al-i'tidzar. Sedangkan
Abu Hilal al-'Askary mengatakan sebetulnya Syi'r Arab jahiliyah itu dibagi
menjadi lima yaitu: al-madih, al-hija', al-wasf, at-tasybih dan al-miratsi.
Sampai kemudian an-Nabighah menambahkan satu tema yaitu al-i'tidzar.
Sesungguhnya ini adalah pembagian yang baik akan tetapi Abu Bakar al-Asy'ari
melupakan satu tema yaitu al-hammasah, padahal tema ini yang paling banyak
digunakan oleh orang Arab jahiliyah.
Dalam hal ini, jenis Syi'r Arab jahiliyah menurut tujuannya terbagi menjadi
beberapa macam, sesuai bentuk dan warnanya yang berlainan antara yang satu
dengan yang lain, yang semuanya mewarnai corak yang sesuai dengan tujuannya
masing-masing.
a. Tasybih/ghazal ialah suatu bentuk puisi yang di dalamnya menyebutkan wanita
dan kecantikannya, Syi'r ini juga menyebutkan tentang kekasih, tempat
tinggalnya dan segala apa saja yang berhubungan kisah percintaan. Seperti Syi'r
A`sa ketika tidak tega ditinggal kekasihnya Harirah:
غَرَّاءٌ فَرْعَاءْ، مَصْقُوْلٌ عَوَارِضُهَا # تَمْشِى اْلهُوَيْنىَ كَمَا
يَمْشِى اْلجى الوحل
كَأَنَّ مِشْيَتَهَا مِنْ بَيتِ # جَارَتِها مَرّ السَحَابَةِ لا رَيْثٌ و لا
عَجَل
Seolah-olah jalannya dari rumah tetangganya
Seperti jalannya awan tidak lambat dan tidak juga cepat
Atau Syi'r Imru al-Qais menggambar keindahan Unaizah (kekasihnya) dalam bait
Syi'rnya seperti di bawah ini:
فَلَمَّا أَجَزْنَا سَاحَةُ الحَيِّ وَ انْتَحَى بِنَا بَطْنُ خَبْْتٍ ذِى حِقَافٍ
عَقَنْقَلِ
هَصَرْتُ بِفَوْدَىْ رَأْسِهَا فَتَمَايَلَتْ عَلَىَّ هَضِيْمَ الكَشْحِ رَياَّّ
المُخَلْخَلِ
مُهَفْهَفَـةٌ بَيْضَـاءُ غَيْرُ مُفَاضَةٍ تَرَائِبـُهَا مَصْقُوْلَةٌ
كاَلسَّجَنْجَـلِ
وَجِيْدٍ كَجِيْدِ الرِّئْمِ لَيْسَ بِفَاحِشٍ إِذَا هِـيَ نَصَّتـْهُ وَلاَ
بِمُعـَطَّلٍ
وَ فَرْعٍ يَزِيْنُ الْمَتْنَ أَسْوَدَ فَاحِمٍ أَثِيـْثٍ كَقَنْـوِ النَّخْلَةِ
الْمُتَعَثْكِلِ
Ketika kami berdua telah lewat dari perkampungan, dan sampai di tempat yang
aman dari intaian orang kampung
Maka kutarik kepalanya sehingga Ia (Unaizah) dapat melekatkan dirinya kepadaku
seperti pohon yang lunak
Wanita itu langsing, perutnya ramping dan dadanya putih bagaikan kaca
Lehernya jenjang seperti lehernya kijang, jika dipanjangkan tidak bercacat
sedikit pun, karena lehernya dipenuhi kalung permata
Rambutnya yang panjang dan hitam bila terurai di bahunya bagaikan mayang kurma.
(Al-Zauziny, 16-17 dan Al Muhdar, 1983: 48).
b. Hammasah/Fakher, jenis Syi'r ini biasanya digunakan untuk berbangga dengan
segala macam kelebihan dan keunggulan yang dimiliki oleh suatu kaum. Pada
umumnya Syi'r ini digunakan untuk menyebutkan keberanian dan kemenangan yang
diperoleh. Seperti Syi'r Rasyid ibn Shihab al- Yaskary yang menantang Qais ibn
Mas`ud al-Syaibany di Pasar Ukaz;
وَلاَ تُوعِدنِّى إنـنى إن تـلاَقنى معى مَشْـرِفِىُّ في مضاربـه قَضَمْ
و ذمٌّ يُغَشِّى المرءَ خِزْياً و رهطه لدى السَّرْحة العَشَّاء في ظلها الأَدَمْ
Jangan mengancamku, sungguh bila kau menemui aku
Bersamaku pedang tajam dengan darah yang terus mengalir karena sayatannya
Dan celaan yang membuat pingsan korbannya karena malu dan hina
Disaksikan berbagai kabilah di bawah pohon (di pasar Ukaz) di Qubab Adam
(Dhaif, 2001: 200).
c. Madah, Bentuk Syi'r ini digunakan untuk memuji seseorang dengan segala macam
sifat dan kebesaran yang dimilikinya seperti kedermawanan dan keberanian maupun
ketinggian budi pekerti seseorang. Seperti Syi'r Nabighah ketika memuji raja
Nu`man:
فَإِنَّكَ شَمْسٌ وَ الْمَلُوكُ كَوَاكِبٌ إِذَا طَلَعَتْ لمَْ يَبْدُ مِنْهُنَّ
كَوْكَبُ
Kamu adalah matahari sedang raja yang lain adalah bintang
Apabila matahari terbit maka bintang-bintang yang lain tidak mampu menunjukkan
diri (Mursyidi, 97).
Atau seperti Syi'r A`sya ketika memuji kedermawanan Muhallik:
تَرَى الْجُوْدَ يَجْرِى ظَاهِرًا فَوْقَ وَجْهِهِ # كَمَا زَانَ مَتْنَ
الْهِنْدُوَانِى رَوْنَقُ
يَدَاهُ يَدَا صِدْقٍ: فَكَفٌّ مُبِيْدَةٌ # وَ كَفٌّ إِذَا مَا ضُنُّ بِالمَالِ
يُنْفَقُ
Kamu lihat kedermawanan di wajahnya seperti pedang yang berkilauan.
Kedua tangannya selalu benar, yang satu untuk membinasakan sedang yang lain
untuk berderma (Al-Iskandary, 1978: 82-83).
Syi'r ini ditulis oleh an-Nabighah untuk memuji kaum Ghassasinah, khususnya
kepada raja Amru ibn al-Harits al-Ghassany.
لَهُمْ شِيْمَةٌ لَمْ يُعْطِهَا اللهُ غَيْرَهُمْ مِنَ اْلجُوْدِ، وَاْلأَحْلاَمِ
غَيْرَ عَوَازِبِ
رِقَافَ النِّعَالِ، طَيِّبٌ حُجُزَاتُهُمْ يُحَيَّوْنَ بِالرَّيْحَانِ يَوْمَ
السَّبَاسِبِ
وَلاَ يَحْسَبُوْنَ اْلخَيْرَ لاَ شَرَّ بَعْدَهُ وَلاَ يَحْسَبُوْنَ الشَّرَّ
ضَرْبَةَ لاَزِبِ
Mereka (kabilah Ghassan) memiliki sifat kedermawanan, dan cara berfikir
cemerlang yang tidak diberikan oleh Allah kepada yang lain
Sandalnya halus, selalu mengendalikan diri, semua manusia menghormati mereka
dengan wangi-wangian pada hari raya sabasib
Mereka sangat berpengalaman, kebaikan tidak melupakan mereka dari
kesengsaraan-kesengsaraannya, demikian juga musibah dan penderitaan tidak
membuat mereka berputus asa. (Mursyidi, t.t.:90).
Ini adalah Syi'r Khansa` yang sangat bangga pada saudaranya Shakhr
يُـؤَرِّقُنِى التَّذَكُّـرُ حِيْنَ أُمْسِى فَأُصْبِحُ قَدْ بُلِيْتُ بِفَرْطِ
نَكْسٍ
عَلَى صَخْرٍ، وَ أَيُّ فَتًى كَصَخْرٍ لِيَوْمِ كَرِيْهَةٍ وَ طِعَانِ خَلَسِ ؟
فَلَـمْ أَرَ مِثْـلَهُ رُزْءًا لـِجِنٍ وَ لمَ أَرَ مِثـْلَهُ رُزْءًا لإِنْـسِ
أَشَدُّ عَلَى صُرُوْفِ الدَّهْرِ أَيْدًا وَ أَفْضَلُ فِي الخُطُوْبِ بِغَيْرِ
لِبْسِ
وَ ضَيْـفٍ طَارِقٍ، أَوْ مُسْتَجِيْرٍ يُـرَوِّعُ قَلْبُهُ مِنْ كُلِّ جَـرْسِ
فَأَكْرَمَـهُ، وَ أَمَّنـَهُ، فَأَمْسَى خَلِيًـا بَـالُهُ مِنْ كُلِّ بُـؤْسِ
Setiap malam aku tersiksa oleh ingatanku
Dan di pagi hari kudapati diriku yang kemarin sembuh sakit kembali
Karena ingatanku kepada Sakhr, adakah pemuda yang seperti Sakhr Pada saat
terjadi peperangan dan tebasan pedang bagai kilatan cahaya
Dan tak pernah kulihat musibah mengerikan itu yang menimpa jin
Juga tak pernah kulihat musibah sepertinya yang menimpa manusia
Lebih dahsyat dari bala' yang menimpa dunia sepanjang masa
Peristiwa yang luar biasa dan tidak orang yang bisa memungkirinya.
Setiap datang pengetuk pintu atau datang orang yang meminta perlindungan selalu
menggetarkan hatinya, maka dia akan memuliakannya dan akan melindunginya.
Dan ketika datang malam hari hatinya menjadi tenteram dari segala kesialan.
d. Rotsa', jenis Syi'r ini digunakan untuk mengingat jasa seorang yang sudah
meninggal dunia. Seperti Syi'r Khansa` yang sangat terkenal dengan rangkaian
Syi'r ratsa`nya;
يُذَكِّرُنِى طُلُوْعُ الشََّمْسِ صَخْرًا وَ أَذْكُرُهُ لِكُلِّ غُرُوْبِ شَمْسَ
فَلَوْلاَ كَثْـرَةُ البَـاكِيْنَ حَوْلِى عَلَى إِخْوَانِـهِمْ لَقَتَلْتُ
نَفْسِى
Aku selalu teringat Sakhr, aku teringat padanya setiap matahari terbit.
Dan aku teringat padanya ketika matahari terbenam.
Aku teringat padanya antara keduanya.
Ingatanku padanya tidak bisa hilang.
Kalau bukan karena aku melihat banyak orang yang menangisi mayat-mayat
saudaranya yang mati, mungkin aku sudah bunuh diri.
Juga Syi'rnya yang menggambar kesedihannya yang luar biasa sampai melupakan
suaminya;
ألم وزهد في الحياة
فَلاَ وَ اللهِ لاَ أَنْسَاكَ، حَتَى أُفَارِقَ مُهْجَتِى وَ يُشَقَّ رَمْسِي
فَقَدْ وَدَّعْتُ يَوْمَ فِرَاقِ صَخْرِ أَبِى حَسَّانَ، لَذَّاتِي وَ أُنْسِي
فَيَالَهْفِي عَلَيْهِ وَ لَهْفَ أَمِّي أَيُصْبِحُ فِي التُرَابِ وَفِيْهِ
يُمْسِى
Aku bersumpah demi Allah aku tidak akan melupakanmu sampai maut memisahkan
diriku
Aku tinggalkan sejak aku berpisah dengan Shakhr,
Abi Hasan untuk diriku dan aku melupakannya
Aku merindukannya dan juga ibuku merindukannya
Apa dia telah menjadi tanah dan didalamnya dia berada.(Al-Maliji, 1989: 38-39).
e. Hijaa', jenis puisi ini digunakan untuk mencaci dan mengejek seorang musuh
dengan menyebutkan keburukan orang itu. Seperti Syi'r Zuhair yang mengancam
al-Harits ibn Warqa` al-Asady yang merampas unta keluarganya. Warqa` terpaksa
mengembalikan untanya yang dirampasnya.
لَيَأْتِـيـَنَّكَ مِنِّى مَنْطِقٌ قَذِعٌ بَاقٍ كَمَا دَنَّسَ اْلقُبْطِـيَّةَ
الوَدَكُ
Kamu akan mendapatkan hujatan pedas yang mematikan dariku
Tidak akan bisa hilang seperti baju putih yang terkena lemak
(Dhaif, 2001: 197).
Atau seperti Syi'r Juhannam yang mengejek A`sya dengan menghina bapak dan
pamannya.
أَبُوْكَ قَتِيْلُ الْجُوْعِ قَيْسُ بْنُ جَنْدَلٍ وَخَالُكَ عَبْدٌ مِنْ
خُمَاعَةَ رَاضِعُ.
Bapakmu mati karena kelaparan (korban kelaparan) Qais ibn Jandal
Dan pamanmu hamba dari kabilah Khuma'ah yang rendahan (Dhaif, 2001:335).
f. I'tidzar, Jenis puisi ini digunakan untuk mengajukan udzur dan alasan dalam
suatu perkara dengan jalan mohon maaf dan mengakui kesalahan yang telah
diperbuatnya. Syi'r ini dibuat oleh A'sya untuk meminta maaf kepada Aus ibn Lam
(dari kabilah Thayyi') yang sebelumnya dia ejek dengan Syi'r hija'nya
وَإِنِّى عَلىَ مَا كَانَ مِنّىِ لَنَادِمٌ وَإِنّىِ إِلَى أَوْسْ بِنْ لاَمٍ
لَتَائِبُ
وَإِنِّى إِلَى أَوْسْ لَيَقِيْلُ عِذْرَتِى وَيُصَفِّحُ عَنىِّ- مَا حَيِيْتُ-
لَرَاغِبُ
فَهَبْ لِى حَيَاتِى فَاْلحَيَاةُ لَقَائِمٌ بِشُكْرِكَ فِيْهَا، خَيْرُ مَا
أَنْتَ وَاهِبُ
سَأَمْحُو بِمَدْحٍ فِيْكَ إِذْ أَناَ صَادِقٌ كِتَابُ هِجَاءٍ سَارَ إِذْ أَنَا
كَاذِبُ
Sesungguhnya aku menyesal atas apa yang telah aku lakukan dan aku mohon ampunan
kepada Aus ibn Lam, dan aku mohon ampunan dari Aus dan menghapus segala
kesalahanku adalah keinginanku, berilah aku kehidupan dan kehidupan akan
terjaga dengan kesyukuranku kepadamu dan pemberianmu adalah yang terbaik aku
akan menghapus kesalahanku dengan pujian kepadamu dan ini adalah pengakuan yang
jujur sedangkan ejekan kepadamu yang lalu sebenarnya adalah bohong
(Al-Iskandary, 1978: 55).
Atau seperti Syi'r Nabighah yang terkenal dengan Syi'r i`tidzariyatnya, memohon
maaf kepada raja Nu`man.
وَ لَكِنَّنِى كُنْتُ امْرَأً لِىَ جَانِبٌ مِنَ الأَرْضِ فِيْهِ مُسْتَرَادٌ وَ
مَذْهَبُ
مَلُوْكٌ وَ إِخْوَانٌ إِذَا مَا أَتَيْتَهُمْ أُحَكَّمُ فِي أَمْوَالِهِمْ ، وَ
أَقْرَبُ
كَفِعْلِكَ فِي قَوْمٍ أَرَاكَ اصْطَنَعْتَهُمْ فَلَمْ تَرَهُمْ فِي شُكْرِ ذَلِكَ
أَذْنَبُوْا
فَلاَ تَتْرُكَنِّى بِالوَعِيْدِ، كَأَنَّنِى إِلَى النَّاسِ مَطْلِىٌ بِهِ
القَارُ أَجْرَبُ
أَلمَْ تَرَ أَنَّ اللهَ أَعْطَاكَ سُوْرَةً تَرَى كُلَّ مَلْكٍ دُوْنَهَا
يَتَذَبْذَبُ
فَإِنَّكَ شَمْسٌ، وَ المَلُوْكُ كَوَاكِبٌ إِذَا طَلَعَتْ لمَ يَبْدُ مِنْهُنَّ
كَوْكَبُ
وَ لستَ بِمُسْتَبْقٍ أَخًا لاَ تَلمُّهُ عَلَى شَعَثٍ، أَى الرِّجَالِ
المُهَذِّبُ؟
Tetapi sesungguhnya aku adalah orang yang punya tempat alternatif lain
Di bumi di mana aku mengais rizki dan tempat melarikan diri
Yaitu para raja dan teman-teman, yang jika aku datang pada mereka
Aku bisa menggunakan harta mereka semauku, dan mendekatkan diri
persis seperti apa yang kamu lakukan pada kaum yang kamu beri berbagai limpahan
dan ternyata ketika mereka tidak bisa bersyukur, maka hal itu bagimu mereka
telah berdosa
Jangan kau biarkan aku dalam ancamanmu, sehingga karena ancamanmu
aku seolah-olah dilumuri ramuan kudis, semua orang menjauh dariku karena takut
ancamanmu
Tidakkah kau tahu bahwa Allah telah menganugerahkan kepadamu kedudukan yang
tinggi, yang raja-raja selain kamu tidak mampu menyandangnya.
Kamu adalah matahari sedang raja yang lain adalah bintang
Apabila matahari terbit maka bintang-bintang yang lain tidak mampu menunjukkan
diri.
Kamu tidak mungkin menemukan saudara yang tidak kamu cela karena kesalahan
kecil.
Apakah mungkin ada orang yang tanpa cela (Mursyidi, t.t.: 95-97).
g. Wasfun, Jenis Syi'r ini biasanya digunakan untuk menggambarkan sesuatu
kejadian ataupun segala hal yang menarik seperti menggambarkan jalannya
peperangan, keindahan alam dan sebagainya. Kebanyakan para penyair jahiliyah
adalah orang Badui yang begitu menyatu dengan kehidupan alamnya. Sehingga
begitu terpengaruh dengan lingkungannya. Mereka mengambarkan dalam Syi'rnya
tentang padang pasir, langit, bintang, angin, hujan, tenda-tenda perkemahan,
puing-puing perkampungan, tempat-tempat bermain anak-anak dan unta, tentang
kuda dan ciri-cirinya, perjalanan, peperangan, alat-alat perang, perburuan dan
peralatannya, hal ini terlihat jelas pada Syi'r-puisnya Imru'ul Qais. Imru
al-Qais menggambarkan kudanya dengan ungkapan yang begitu indah;
وَقَدْ أَغْتَدِى وَالطَّيْرِ فِى وُكُنَاتِهَا بِمُنْجَرِدٍ قَيْدِ, الأَوَابِدِ,
هَيْكَلِ
مُكِرٍّ مُفِرٍّ, مُقْبِلٍ, مُدْبِرٍ مَعًا كَجَلْمُوْدِ صَخْرٍ حَطَّهُ الِسيْلِ
مِنْ عَلِ
يَزِلُّ الغُلاَمُ الجِفُّ عَنْ صَهَوَاتِهِ وبلْوى بِأَنْوَابِ العَنِيْفِ المُثَقَّلِ
لَهْ أيْطَلاَ ظَبْى, وَسَاقَا نَعَامَةٍ وَإِرْخَاءِ سِرْحَانٍ, وَتَقْرِيْبُ
تَنْفَلِ
Pagi-pagi aku sudah pergi berburu saat itu burung-burung masih tidur
disangkarnya
Mengendarai kuda yang bulunya pendek besar larinya cepat mampu mengejar binatang
buas yang sedang berlari kencang
Maju dan mundur bersamaan secepat kilat seperti hanya satu gerakan
Seperti batu besar yang runtuh terbawa banjir dari tempat tinggi
Pemuda yang kurus akan kesulitan duduk di pelananya
Sebagaimana orang yang kasar dan besar juga akan kerepotan merapikan bajunya
Pinggangnya seperti pinggang beruang, kakinya panjang dan keras seperti kaki
burung Unta
Kalau berlari ringan seperti larinya kijang, apabila berlari kencang mengangkat
kedua kaki depannya bagai larinya serigala liar (Mursyidy, t.t.: 75-77).
h. Hikmah: puisi ini berisi pelajaran kehidupan yang terkenal pada zaman
jahiliyah Seperti Syi'rnya Labid,
اَلاَ كُلُّ شَيْئٍ مَا خَلاَ اللهِ بَاطِلُ وَ كُلُّ نَعِيْمٍ لاَ مَحَالَةَ
زَائِلُ
وَ كُلُّ أُناَسٍ سَوْفَ تَدْخُلُ بَيْنَهُمْ دويهية تَصْفَرُّ مِنْهَا
الأَنَامِلُ
وَ كُلُّ امْرِئٍ يَوْمًا سَيَعْلَمُ غَيْبَهُ إِذَا كُشِفَتْ عِنْدَ الالَهِ
الْحَصَائِلُ
Sesungguhnya segala sesuatu selain Allah pasti akan lenyap
dan setiap kenikmatan pasti akan sirna.
Setiap orang pada suatu saat pasti akan didatangi oleh
maut yang memutihkan jari-jari.
Setiap orang kelak pada suatu hari pasti akan tahu amalannya
jika telah dibuka catatannya di sisi Tuhan (Al-Iskandary, 1978: 88-89).
Juga Syi'rnya Zuhair yang luar biasa:
رَأَيْتُ الْمَنَايَا خَبْطَ عَشْوَاء مَنْ تُصِبْ تُمِتهُ وَ مَنْ تُخْطِئْ
يُعَمَّرْ فَيَهْرَمِ
وَ مَنْ يَجْعَلِ المَعْرُوْفَ مِنْ دُوْنِ عِرْضِهِ يَفْرْهُ وَ مَنْ لاَ يَتَّقِ
الشَّتْمَ يُشْتَمِ
وَ مَنْ يُوْفِ لاَ يُذْمَمْ وَ مَنْ يُهْد قَلْبُهُ إِلَى مُطْمَئِنِّ البِرِّ لاَ
يَتَجَمْجَمِ
وَ مَنْ هَابَ اَسْبَـابَ المَنَايَا يَنَلْنَـهُ وَ إِنْ يَرْقَ اَسْبَابَ
السَّمَاءِ بِسُلَّمِ
Aku lihat maut itu datang tanpa permisi dulu, siapa yang didatangi pasti mati
dan siapa yang luput dia akan lanjut usia.
Siapa yang selalu menjaga kehormatannya maka dia akan terhormat dan siapa yang
tidak menghindari cercaan orang, maka dia akan tercela.
Siapa yang menepati janji tidak akan tercela, siapa yang terpimpin hatinya maka
dia akan selalu berbuat baik.
Siapa yang takut mati pasti dia akan bertemu juga dengan maut walaupun dia naik
ke langit dengan tangga (melarikan diri) (Az-Zauzini, tt.: 73-76 dan Al Muhdar,
1983: 55-56).
BAB III
SEJARAH SASTRA ARAB
A. Sejarah Sastra (Tarikhul Adab) dan Fungsinya
Tarikhul Adab atau Sejarah sastra adalah suatu ilmu yang membahas mengenai
keadaan bahasa serta sastra seperti puisi dan prosa yang diciptakan oleh
anak-anak pengguna bahasa itu dalam berbagai masa, sebab-sebab kemajuan dan
kemudurannya, serta kehancuran yang mengancam kedua produk sastra tersebut,
serta mengalihkan perhatiannya terhadap para tokoh terkemuka dari kalangan
penulis dan ahli bahasa, serta melakukan kritik terhadap karya-karya mereka,
dan menjelaskan pengaruh mereka dalam ide, penciptaan, dan gaya bahasa (uslub).
Tarikhul Adab atau sejarah sastra dalam pengertian seperti di atas merupakan
ilmu yang baru tumbuh, dan dicetuskan oleh penulis Itali pada abad ke-18 M. Di
kawasan timur, sejarah sastra baru dikenal ketika pergaulan antara Kawasan
Timur dan Kawasan Barat semakin menguat. Orang yang pertama kali mentransfer
ilmu mengenai sejarah sastra ke dalam dunia sastra Arab ialah al-Ustadz Hasan
Taufiq al-‘Adl, setelah kepulangannya dari Jerman, dan selanjutnya beliau
mengajar di Universitas Daarul ‘Ulum (Bunyamin, 2003:6).
Pengertian sejarah sastra di atas adalah pengertian Tarikhul Adab/sejarah
sastra secara dalam arti khusus. Sedangkan pengertian Tarikhul Adab/sejarah
sastra dalam pengertian umum adalah ilmu yang mempelajari deskripsi kronologis
sesuai perjalanan zaman yang terhimpun dalam buku-buku, tercatat dalam
lembaran-lembaran, dan yang terpahat dalam batu-batu prasasti, yang
mengungkapkan perasaan (emosi), ide, pengajaran tentang suatu ilmu atau seni,
pengabdian suatu cerita, suatu realitas, termasuk di dalamnya penyebutan
orang-orang yang muncul dan terkenal (terkemuka) dari kalangan para ilmuan,
para filosuf, dan para pengarang, serta menjelaskan referensi yang mereka
gunakan, aliran-aliran yang mereka anut, dan posisi mereka dalam bidang seni
yang digeluti, yang semua itu akan menunjukkan kemajuan atau kemunduran dari
semua ilmu pengetahuan.
Pada umumnya, bangsa-bangsa yang maju dan berkebudayaan mempunyai hasil karya
kesusastraan dari bahasa nasionalnya. Dan hasil karya sastra yang ditinggalkan
itu akan dikenal oleh generasi yang mendatang melalui pembelajaran sejarah
kesusastraan. Demikian pula dengan hasil karya kesusastraan Arab dapat dikenal
dari sejarah kesusastraan Arab. Sehingga dapatlah didefinisikan bahwa sejarah
kesusastraan Arab ialah ilmu pengetahuan yang mempelajari bahasa Arab yang
ditinjau dari segi hasil karya sastranya, baik dari segi puisi maupun prosanya,
dari sejak timbulnya dengan segala perkembangan menurut periodesasinya.
Ahmad al-Iskandari dan Musthafa ‘Anani dalam al-Wasith fi al-Adab al-‘Arabi wa
Tarikhihi (1934:5) mengemukakan bahwa manfaat mempelajari sejarah sastra
khususnya sejarah kesusastraan Arab, antara lain:
a. Mengetahui sebab-sebab kemajuan dan kemunduran sastra, yang ditinjau ari
segi agama, sosial, maupun politik.
b. Mengetahui gaya-gaya (uslub) bahasa, cabang-cabang seninya,
pemikiran-pemikiran penggunanya, dan istilah-istilah yang mereka ciptakan,
perbedaan cipta rasa mereka dalam prosa dan puisi mereka, sehingga dapat
memberikan wawasan baru kepada kita setelah mengkaji ilmu ini untuk membedakan
antara bentuk-bentuk bahasa pada suatu masa dengan bentuk-bentuk bahasa pada
masa yang lain.
c. Mengenal dan mempejari tokoh-tokoh yang berpengaruh dari kalangan ahli
bahasa dan sastra pada setiap masa, serta mengetahui sesuatu yang baik dan
buruk yang terdapat dalam puisi dan prosa dalam karya-karya mereka, sehingga
kita dapat meneladani contoh-contoh yang baik dan menjauhkan diri dari
contoh-contoh yang tidak baik.
B. Periodesasi Sejarah Sastra Arab
Berbicara mengenai periodesasi kesusastraan Arab, seringkali kita dibuat
bingung dengan adanya perbedaan penulisan periodesasi yang ditulis
masing-masing penulis sejarah kesusastraan Arab, baik dari segi peristilahannya
maupun dari segi waktunya.
Pada umumnya, periodesasi kesusastraan dibagi sesuai dengan perubahan politik.
Sastra dianggap sangat tergantung pada revolusi sosial atau politik suatu
negara dan permasalahan menentukan periode diberikan pada sejarawan politik dan
sosial, dan pembagian sejarah yang ditentukan oleh mereka itu biasanya diterima
begitu saja tanpa dipertanyakan lagi (Wellek, 1989:354). Penentuan mulainya
atau berakhirnya masa setiap periodesasi hanyalah perkiraan, tidak dapat
ditentukan dengan pasti, dan biasanya untuk mengetahui perubahan dalam sastra
itu biasanya akibat perubahan sosial dan politik (Jami'at, 1993:18). Di bawah
ini akan dipaparkan bentuk penulisan periodesasi yang dilakukan oleh para ahli
kesusastraan Arab, antara lain:
Hana al-Fakhuriyyah membaginya ke dalam lima periodesasi, yaitu:
1. Periode Jahiliyyah, perkembangan kesusastraan Arab pada masa ini dibagi atas
dua bagian, yaitu masa sebelum abad ke-5, dan masa sesudah abad ke-5 sampai
dengan Hijrahnya Nabi Muhammad SAW ke Madinah (1 H/622 M).
2. Periode Islam, perkembangan kesusastraan Arab pada masa ini berlangsung
sejak tahun 1 H/622 M hinggga 132 H/750 M, yang meliputi: masa Nabi Muhammad
SAW dan Khalifah ar-Rasyidin (1-40 H/662-661 M), dan masa Bani Umayyah (41-132
H/661-750 M).
3. Periode Abbasiyah, perkembangan kesusastraan Arab pada masa ini berlangsung
sejak 132 H/750 M sampai 656 H/1258 M.
4. Periode kemunduran kesusastraan Arab (656-1213 H/1258-1798 M), periode ini
di mulai sejak Baghdad jatuh ke tangan Hulagu Khan, pemimpin bangsa Mongol,
pada tahun 1258 M, sampai Mesir dikuasai oleh Muhammad Ali Pasya (1220 H/1805
M).
5. Periode kebangkitan kembali kesusastraan Arab; periode kebangkitan ini
dimulai dari masa pemerintahan Ali Pasya (1220 H/1805 M) hingga masa sekarang.
Adapun Muhammad Sa'id dan Ahmad Kahil (1953: 5-6) membagi periodesasi
kesusastraan Arab ke dalam enama periode sebagai berikut:
1. Periode Jahiliyyah, dimulai sekitar satu tengah abad sebelum kedatangan
Islam sekitar dan berakhir sampai kedatangan Islam.
2. Periode permulaan Islam (shadrul Islam); dimulai sejak kedatangan Islam dan
berakhir sampai kejatuhan Daulah Umayyah tahun 132 H.
3. Periode Abbasiyah I, dimulai sejak berdirinya Daulah Abbasiyah tahun 132 H
dan berakhir sampai banyak berdirinya daulah-daulah atau negara-negara bagian
pada tahun 334 H.
4. Periode Abbasiyah II, dimulai sejak berdirinya daulah-daulah dalam
pemerintahan Abbasiyah dan berakhir dengan jatuhnya Baghdad di tangan bangsa
Tartar atau Mongol pada tahun 656 H.
5. Periode Turki, dimulai sejak jatuhnya Baghdad di tangan bangsa Mongol dan
berakhir dengan datangnya kebangkitan modern sekitar tahun 1230 H.
6. Periode Modern, dimulai sejak datangnya kebangkitan modern sampai sekarang.
Sedangkan Ahmad Al-Iskandi dan Mustafa Anani dalam Al-Wasit Al-Adab Al-Arobiyah
Wa Tarikhihi (1916:10) membagi periodesasi kesusastraan Arab ke dalam lima
periode, yaitu:
1. Periode Jahiliyah, periode ini berakhir dengan datangnya agama Islam, dan
rentang waktunya sekitar 150 tahun.
2. Periode permulaan Islam atau shadrul Islam, di dalamnya termasuk juga
periode Bani Umayyah, yakni dimulai dengan datangnya Islam dan berakhir dengan
berdirinya Daulah Bani Abbas pada tahun 132 H.
3. Periode Bani Abbas, dimulai dengan berdirinya dinasti mereka dan berakhir
dengan jatuhnya Bagdad di tangan bangsa Tartar pada tahun 656 H.
4. Periode dinasti-dinasti yang berada di bawah kekuasaan orang-orang Turki, di
mulai dengan jatuhnya Baghdad dan berakhir pada permulaan masa Arab modern.
5. Periode Modern, dimulai pada awal abad ke-19 Masehi dan berlangsung sampai
sekarang ini.
Adanya Perbedaan istilah dalam penulisan periodesasi kesusastraan Arab seperti
dua contoh di atas, merupakan suatu hal yang wajar, seperti yang dikemukakan
Teeuw (1988: 311-317) bahwa perbedaan itu disebabkan empat pendekatan utama,
yaitu:
1. Mengacu pada perkembangan sejarah umum, politik atau budaya.
2. Mengacu pada karya atau tokoh agung atau gabungan dari kedua hal tersebut.
3. Mengacu pada motif atau tema yang terdapat dalam karya sepanjang zaman.
4. Mengacu pada asal-usul karya sastra.
BAB IV
SASTRA ARAB JAHILIYYAH
A. Kedudukan Penyair Dalam Masyarakat Arab Jahiliyah
Bangsa Arab sangat gemar menggubah syair, mereka memandang bahwa setiap penyair
mempunyai kedudukan yang sangat penting dan terhormat di dalam masyarakat,
manakala ia telah mampu mengangkat derajat kaumnya atau kabilahnya melalui
gubahan syair-syairnya. Mengingat perannya yang begitu penting dalam suatu
tatanan dalam masyarakat jahili, maka para penyair mempunyai banyak fungsi,
diantaranya :
1. Sebagai pemberi semangat, dorongan dan motifasi kepada pasukan yang akan
berperang, sehingga diharapkan dorongan dan motifasi yang dikobarkan penyair
lewat syairnya mampu mempengaruhi jiwa dan semangat pasukan yang berperang
diharapkan nantinya akan mendapatkan kemenangan yang gemilang.
2. Sebagai Pemberi dukungan terhadap kontestan yang akan dipilih atau diangkat
sebagai ketua adat, atau kepala kabilah. Bila seorang penyair telah mempunyai
status social yang tinggi, syair-syairnya popular dan terkenal, maka penyair
ini akan lebih mudah mempengaruhi jiwa sipemilih sehingga diharapkan akan
mendapat perolehan suara yang terbanyak bagi kontestan yang diunggulkan penyair
itu.
3. Seringkali terjadi antar kabilah itu berperang, dan selalu memakan waktu
yang cukup lama, korban yang tidak sedikit, kerugian-kerugian lainnya yang
telah mereka terima, kemudian, acapkali sering mengalami kebuntuan dalam
mencari jalan penyelesaiannya. Maka dengan kefasihan bahasa syairnya, seorang
penyair dalam melantunkan syairnya,, ia mampu mempengaruhi kubu-kubu yang
sedang bertikai. Berbagai pergolakan dalam konflik dapat dilumpuhkan dengan
cara memberikan gambaran -gambaran kenyamanan jiwa yang damai, nasihat-nasihat,
memberikan penjelasan-penjelasan dari suatu kerugian yang diakibatkan
peperangan dan lain sebagainya.
Bangsa Arab adalah bangsa yang amat senang terhadap puisi, karena itu mereka
memandang para penyair sebagai orang yang memiliki kedudukan penting dalam
masyarakat. Hal ini dapat dimaklumi karena seorang penyair dapat membela
kehormatan kaum, keluarga, atau bangsanya. Bila di dalam sebuah kaum atau
bangsa mereka menemukan seorang pemuda yang pandai dalam mencipta dan menggubah
puisi, maka pemuda tersebut akan dimuliakan oleh seluruh anggota kabilah dari
suku itu. Karena mereka beranggapan bahwa pemuda itu pasti akan menjadi tunas
yang akan membela kaum atau bangsa dari segala serangan dan ejekan dari penyair
kaum atau bangsa lain.
Bagi bangsa Arab, para penyair memiliki kedudukan yang tinggi, keputusan yang
dikeluarkan oleh seorang penyair akan selalu dilaksanakan. Bagi mereka seorang
penyair merupakan penyambung lidah yang dapat mengungkapkan kebanggaan dan
kemuliaan mereka. Ibnu Rasyik meriwayatkan dalam kitabnya yang berjudul ‘Umdah,
ia mengatakan:
"Biasanya setiap kabilah bangsa Arab yang mendapatkan seorang pemuda yang
dapat merangkum sebuah gubahan puisi, maka anggota kabilah itu berdatangan
untuk memberi ucapan selamat, dan mereka menyediakan berbagai aneka macam
makanan. Sementara kaum wanita pun ikut berdatangan sambil memainkan rebana
seperti yang biasa mereka mainkan dalam sebuah acara perkawinan. Kaum
laki-laki, baik yang tua maupun yang muda, sama-sama bergembira. Karena mereka
beranggapan bahwa penyair adalah seorang pembela kabilah dari serangan dan
ejekan penyair dari kabilah lain, dan penyair itu pasti akan menjaga nama baik
kabilahnya sendiri, yang akan mengabadikan kebanggaan-kebanggaan mereka dan
yang akan menyebarluakan kebaikan-kebaikan mereka. Kebiasaan tidak memberikan
sambutan hangat, kecuali kepada anak bayi yang baru dilahirkan ibunya, kepada
seorang penyair, dan kepada kuda kesayangan"
Bangsa Arab telah menganggap betapa pentingnya peranan seorang penyair.
Sehingga seringkali mereka mengiming-imingi seorang penyair yang dapat
memberikan semangat dalam perjuangan dengan memberikan sokongan suara bagi seseorang
agar dapat diangkat sebagai kepala kabilah. Adapula yang menggunakan mereka
sebagai perantara untuk mendamaikan pertikaian yang terjadi antara kabilah,
bahkan ada juga yang menggunakan penyair untuk memintakan maaf dari seseorang
penguasa.
Dalam suatu riwayat diceritakan bahwa di kota Mekkah ada seorang miskin yang
bernama Muhallik, orang itu mempunyai tiga orang puteri yang belum mempunyai
jodoh dikarenakan kemiskinan mereka. Pada suatu waktu, keluarga ini mendengar
kedatangan al-A'sya seorang penyair Arab Jahiliyyah yang terkenal ke kota
Mekkah, maka isterinya meminta kepada suaminya untuk mengundang al-A'sya ke
rumahnya. Setelah al-A'sya datang ke rumah miskin itu, maka isterinya memotong
seekor unta untuk menjamu al-A'sya. Penyair ini sangat heran dengan
kedermawanan orang miskin ini. Ketika ia keluar dari rumah itu, ia langsung
pergi ke tempat orang-orang yang sedang berkumpul untuk mengabadikan
kedermawanan Muhallik dalam suatu bait puisinya yang sangat indah. Setelah ia
membacakan puisi itu, sehingga dalam waktu yang tidak beberapa lama banyak
orang yang datang meminang ketiga puteri Muhallik. Adapun bait puisi yang
diucapkan al-A'sya seperti dibawah ini:
ارقت وما هذا السّهاد المؤرّق # وما بى من سقم وما بى تعشّق
لعمرى قد لاحت عيون كثيرة # إلى ضوء نار فى اليفاع تحرق
تشبّ لمقرورين يصطليانها # وبات على الناّر النّدى والمحلّق
رضيعى لبان ثدى أمّ تقاسما # باسحم داج عوض لا تتفرّق
ترى الجود يجرى ظاهرا فوق وجهه # كما زان متن الهند وانى رونق
يداه يدا صدق فكفّ مبيدة # وكفّ إذا ما ضنّ بالمال تنفق
"Aku tidak dapat tidur di malam hari, bukan karena sakit ataupun
cinta"
"Sungguh banyak mata yang melihat api yang menyala di atas bukit itu"
"Api itu dinyalakan untuk menghangatkan tubuh kedua orang yang sedang
kedinginan di malam itu, dan di tempat itulah Muhallik dan kedermawanannya
sedang bermalam"
"Di malam yang gelap itu keduanya saling berjanji untuk tetap
bersatu"
"Kamu lihat kedermawanan di wajahnya seperti pedang yang berkilauan"
"Kedua tangannya selalu benar, yang satu untuk membinasakan sedang yang
lain untuk berderma"
Dalam riwayat lain diceritakan. ketika al-A'sya mendengar diutusnya Nabi
Muhammad Saw dan berita mengenai kedermawanannya, maka penyair ini sengaja
datang ke kota Mekkah dengan membawa suatu kasidah yang telah dipersiapkan
untuk memuji Nabi Muhammad Saw. Namun, sayang sekali maksud baik ini dapat
digagalkan oleh pemuka bangsa Quraisy. Ketika Abu Sufyan mendengar kedatangan
al-A'sya, Abu Sufyan langsung berkata kepada para pemuka Quraisy:
والله لئن أتى محمدا أو اتبعه ليضرّ منّ عليكم نيران العرب بشعره, فاجمـعوا له
مائة من الإبل, ففعلوا وأخذها الأعشى ورجع...
"Demi Tuhan, bila al-A'sya bertemu dengan Muhammad dan memujinya, maka
pasti dia akan mempengaruhi bangsa Arab untuk mengikuti Muhammad. Karena itu,
sebelum itu terjadi, kumpulkanlah seratus ekor unta dan berikan kepadanya agar
tidak pergi menemui Muhammad".
Kemudian, saran Abu Sufyan ini, dituruti oleh bangsa Quraisy, yang akhirnya
al-A'sya mengurungkan niatnya untuk bertemu dengan beliau. Adapun puisi yang
telah dipersiapkan olehnya untuk memuji Nabi Muhammad Saw. seperti dibawah ini:
فآليت لا أرنى لها من كلالة # ولا من وجيّ حتى تلاقى محمدا
متى ما تناخى عند باب هاشم # تراحى وتلقى من فواضله ندا
نبىّ يرى مالا ترون وذكره # أغار لعمرى فى البلاد وأنجدا
له صدقات ما تغب ونائل # وليس عطاء اليوم يمنعه غدا
"Demi Allah, onta ini tidak akan aku kasihani dari keletihannya, dan dari
sakit kakinya sebelum dapat bertemu dengan Muhammad"
"Nanti jika kau telah sampai ke pintu Ibnu Hasyim, kau akan dapat
beristirahat dan akan mendapatkan pemberiannya yang berlimpah-limpah"
"Seorang Nabi yang dapat mengetahui sesuatu yang tak dapat dilihat oleh
mereka, dan namanya telah tersiar di seluruh negeri dan di daerah Nejed"
"Pemberiannya tidak akan terputus selamanya, dan pemberiaannya sekarang
tidak akan mencegah pemberiannya di hari esok"
Kisah-kisah seperti yang disebutkan di atas, merupakan sedikit dari banyaknya
kisah yang dapat memberikan keterangan kepada kita mengenai betapa besar
peranan seorang penyair dalam kehidupan masyarakat Arab. Peranan penyair ini tidak
saja berhenti pada masa Jahiliyyah. Bahkan dalam penyiaran modern ini, penyair
memiliki peranan yang cukup besar. Karena orang-orang Quraisy dalam melancarkan
serangan mereka terhadap Islam tidak terbatas hanya dengan senjata
(peperangan). Bahkan mereka juga menggunakan lidah penyair untuk menyerang dan
menjelek-jelekan Islam. Untuk menghadapi hal ini, Nabi Muhammad Saw juga
mempersiapkan penyair Islam untuk menghadapi ejekan orang kafir. Nabi Saw
sangat menyukai puisi para penyair Islam, seperti Abdullah bin Ruwaihah, Ka'ab
bin Malik, dan Hassan bin Tsabit. Sebagaimana diriwayatkan oleh Imam al-Khattib
dan Ibnu Asakir, bahwa Nabi SAW pernah memerintahkan Hassan bin Tsabit untuk
membalas ejekan kaum musyrikin Quraisy;
روي الخطيب وابن عساكر عن حسّان إنّ النبى صلّى عليه وسلّم قال له : اهج المشركين
وجبريل معك إذا حارب اصحابي بالسّلاح فحارب أنت باللسان
"Balaslah ejekan kaum musyrikin itu, semoga Jibril selalu menyertaimu.
Jika para sahabatku yang lain berjuang dengan senjata, maka berjuanglah kamu
dengan lisanmu (kepandaian syairmu)".
Dari gambaran di atas dapat kita simpulkan bahwa peranan penyair dalam
kehidupan bangsa Arab sangat tinggi, sebab bangsa Arab merupakan bangsa yang
sangat gemar terhadap puisi.
Kedudukan puisi dan penyairnya sangat tinggi di mata orang Arab Jahiliyyah.
Sebuah karya puisi dapat mempengaruhi, bahkan mengubah sikap atau posisi
seseorang atau sekelompok orang terhadap sikap atau posisi orang dan kelompok
lainnya. Para penyair, dengan demikian juga berfungsi sebagai agen perubahan sosial
dan perubahan kebudayaan. Kedudukan atau pengaruh sedemikian ini hanya dapat
ditandingi oleh para politisi tingkat tinggi di zaman modern ini. Kekuatan
penyair bersumber dari kekuatan isi karyanya. Kedudukan puisi Arab Jahiliyyah
juga diakui, atau setidak-tidaknya diberi kesaksian, oleh Islam. Salah satu
surat dalam al-Quran bahkan bernama asy-Syu'ara (para penyair).
Puisi tidak jarang menjadi rujukan umum dalam berbagai kesempatan dan
penyairnya sering dijadikan sebagai ensiklopedi berjalan. Untuk menafsirkan
kata-kata konotatif (kalimat musytarak) dalam al-Quran atau hadits Nabi Saw,
para ulama sering menggunakan kata-kata yang terdapat dalam puisi sebagai
penguat atau perbandingan dalam mengartikan kata-kata konotatif itu.
B. Perhatian Masyarakat Jahiliyyah terhadap Sastra Bahasa
Kehidupan masyarakat Arab pra-Islam atau masyarakat zaman Jahiliyyah dapat
dilihat dalam karya sastra yang merupakan produk zaman itu, karena sastra Arab
Jahiliyyah adalah cerminan langsung bagi keseluruhan kehidupan bangsa Arab
zaman Jahiliyyah tersebut, dari hal-hal yang bersifat pribadi sampai persoalan
masyarakat umum. Dalam wacana kesusastraan Arab ini tergambar jelas kehidupan
"kemah", alam sekitar, masyarakat, budaya, dan peradaban, baik yang
masih murni maupun yang telah dipengaruhi oleh bangsa asing, seperti Persia,
Yunani, India, dan Romawi.
Sebenarnya sastra Arab Jahiliyyah berakar jauh sekali, bahkan pada masa-masa
ribuan tahun sebelum Islam muncul. Akan tetapi, dalam catatan sejarah
kesusastraan Arab, sastra Jahiliyyah dikenal sejak kira-kira satu abad
menjelang Islam lahir sampai tahun pertama Hijriah. Hanna al-Fakhuri, seorang
kritikus dan sastrawati dari Libanon, mengatakan bahwa sastra Jahiliyyah baru
mulai (dianggap) ada pada akhir abad ke-5 dan mencapai puncaknya pada paruh
pertama abad ke-6.
Pada umumnya kesusastraan Arab Jahiliyyah mendeskripsikan keberadaan kemah[1] ,
hewan sebagai kendaraan tunggangan, kehidupan mewah para bangsawan agar dengan
begitu para pujangga mendapatkan imbalan materi dan pujian tertentu, alam
sekitar, keberanian seseorang atau sekelompok kabilah, atau kecantikan seorang
wanita pujaan. Hal lain yang menjadi tujuan atau kecenderungan sastra Arab
Jahiliyyah adalah ritsa' (ratapan), ode (pujian), satire (serangan terhadap
kabilah tertentu), fakhr (kebanggaan kelompok tertentu), anggur sebagai lambang
eksentrik para sastrawan atau untuk kebanggaan memiliki suasana trance (keadaan
tak sadarkan diri). Akan tetapi, deskripsi dalam sastra tersebut senantiasa
diselipi dengan nasihat atau filsafat hidup tertentu.
Genre sastra Arab Jahiliyyah yang paling populer adalah jenis Syi'r/syair di
samping sedikit amtsal (semacam pepatah atau kata-kata mutiara), dan pidato
pendek yang disampaikan oleh para pujangga yang disebut sebagai prosa liris.
Dan semua itu dihapal di luar kepala secara turun-temurun.
Dalam sastra Jahiliyyah, terdapat perbedaan antara Syi'r dan prosa.
Dibandingkan dengan jenis sastra Syi'r, sastra prosa Jahiliyyah tercatat dalam
sejarah sastra lebih terbelakang. Hal itu disebabkan karena sastra prosa lebih
membutuhkan kepandaian menulis atau pentadwinan (pengumpulan), sementara
keterampilan menulis baru dikuasai oleh orang Arab pada masa-masa belakangan
setelah Islam lahir. Dan hal ini tidak terjadi pada Syi'r/puisi yang telah "dicatat"
dalam ingatan para ruwat, pencerita, atau "pencatat benak", tanpa
harus mencatatnya dalam pengertian yang sebenarnya. Di samping itu, Syi'r
merupakan bahasa wujdan, emosi, dan imajinasi yang sifatnya lebih personal,
sedangkan prosa lebih merupakan bahasa intelek, dan juga prosa lebih cenderung
ke hal-hal yang bersifat kolektif. Dengan kata lain, sastra Syi'r lebih
berdimensi psikologis, sementara sastra prosa lebih bersifat sosiologis.
Para ruwat, pencerita, merupakan para penghapal Syi'r dan silsilah para tokoh
dari setiap kabilah Arab. Dengan begitu kelangsungan transmisi sastra Syi'r itu
bisa terjaga dari generasi ke generasi. Diantara para pencerita yang dipandang
memiliki hapalan paling kuat dari suku Quraisy pada masa Jahiliyyah adalah
Mukhrimah bin Naufal dan Khuwaitib bin Abdul Uzza.
Menurut dugaan para sejarawan sastra Arab lama, hanya sedikit Syi'rArab
Jahiliyyah itu yang dapat direkam sejarah. Karya yang tidak tertulis dan
kemudian hilang jauh lebih banyak. Hal itu disebabkan bahwa sebagian tersebut
tidak sempat dikenal kemudian dihafal, sementara yang telah dihafal oleh
sastrawan lain juga hilang bersamaan dengan meninggalnya mereka.
Bentuk semenanjung Arab memanjang tidak sama ukurannya. Sebelah utara
berbatasan dengan Palestina dan dataran Syam, sebelah timur berbatasan dengan
dataran Irak dan teluk Persia, sebelah selatan berbatasan dengan lautan Hindia,
dan sebelah barat berbatasan dengan Laut Merah. Jika ditinjau dari segi letak
geografisnya Jazirah Arab memang sangat strategis, karena dibatasi oleh tiga
laut dari tiga jurusan, ditambah dengan ketandusan Jazirah Arab itu sendiri
sehingga kedua faktor inilah yang dapat melindungi jazirah itu dari serangan
pihak luar.
Apabila kita mengikuti keadaan gambaran Jazirah Arab, akan kita dapatkan bahwa
dataran ini sangat mengerikan sekali. Karena dataran yang luas itu tidak ada
sumber mata air yang cukup. Curah hujan yang turun boleh dikatakan hanya
sedikit sekali, hampir seluruh tanahnya diliputi gunung batu dan pasir yang
membentang luas. Di tambah lagi dengan suhu udara yang amat panas, sehingga
tanah yang luas itu sukar untuk ditumbuhi oleh tanaman, kecuali daerah-daerah
seprti Yaman, Thaif, dan Madinah. Oleh karena itu, tidak heran apabila tanah
Arab boleh dikatakan tidak pernah di datangi oleh penjajah asing, karena mereka
segan untuk tinggal di daerah yang amat mengerikan itu.
Keadaan Jazirah Arab yang demikian itu, menjadikan bangsa Arab mempunyai watak
dan rabiat yang keras dan tidak pernah takut kepada siapa pun , kecuali kepada
kepala suku mereka sendiri. Dari sini, kita ketahui bahwa mereka tidak pernah
bersatu dengan suku lain kecuali bila terjadi tali persahabatan. Kesenangan
mereka hanya terbatas untuk kepentingan suku mereka saja. Seorang kepala suku
akan bertindak seperti raja yang akan bertanggung jawab hanya kepada anak
buahnya saja.
Sumber kehidupan bangsa Arab adalah berdagang, karena tanah mereka sukar untuk
ditanami. Walaupun demikian, ada juga beberapa daerah yang sumber kehidupannya
dari bercocok tanam, seperti daerah Yaman, karena daerah ini terletak dekat
katulistiwa. Selain itu, ada juga daerah yang sangat subur seperti Irak, karena
dialiri oleh dua sungai besar yaitu sungai Furat dan Tigris. Selain kedua
daerah tersebut, masih ada daerah lain seperti Thaif dan Madinah yang kehidupannya
bercocok tanam, namun hasil yang diperoleh dapat dikatakan masih sangat
terbatas.
Pada umumnya, telah menjadi kebiasaan bangsa Arab untuk mengadakan perjalanan
perdagangan antar kota-kota besar. Bangsa Arab mengadakan perjalanan
perdagangan dua kali setiap tahun, yaitu ke Yaman pada musim dingin dan ke Syam
pada musim panas. Dalam perjalanan itu, mereka akan singgah dahulu di kota
Mekkah baik untuk melakukan ibadah Haji maupun untuk melengkapi perbekalan
dalam perjalanan.
Dan telah menjadi kebiasaan mereka untuk mengadakan pasaran bersama di kota
Mekkah setiap musim haji. Oleh karena itu, di tiga tempat seperti Yaman, Syam,
dan Mekkah timbul pusat peradaban bangsa Arab saat itu.
Sebagaimana telah disebutkan di atas, bahwa bangsa Arab memiliki watak dan
tabiat yang keras. Akan tetapi, perlu kita ketahui bahwa bangsa Arab juga
memiliki watak dan tabiat yang terpuji, seperti berani dalam membela yang hak
dan benar, teguh pada janji dan bersikap amanah, selalu memuliakan tamu yang
berkunjung ke rumah, mereka sangat menghormati kaum wanita, karena itu mereka
sering memilih nama yang baik untuk panggilan kaum wanita seperti Lu'lu'
(permata), Wardah (mawar), Suroyah (nama bintang), dan lain-lain. Melalui hal
yang demikian, kita akan mendapatkan berbagai macam sebutan dan sanjungan
terhadapa wanita dalam syair mereka. Dan yang paling menonjol sekali, mereka
sangat gemar menunggang kuda dalam medan peperangan. Oleh karena itu, bangsa
Arab menyenangi kuda yang berasal dari keturunan yang baik, sehingga tidak heran
bila kita menemukan pada beberapa bait syair Arab yang memuji kuda
kesayangannya.
Pada saat itu bangsa Arab masih belum mengenal ilmu pengetahuan dengan
sempurna, karena kebanyakan dari mereka tidak mengenal baca dan tulis. Oleh
karena itu, nanti akan kita dapatkan bahwa mereka lebih menyukai Syi'r daripada
prosa, karena Syi'r lebih mudah dihafal.
Di samping itu, bangsa Arab juga mengerti ilmu perbintangan. Karena mereka
hidup di alam terbuka, dan sering menggunakan bintang sebagai pedoman dalam
perjalanan untuk menentukan arah. Dan ditambah lagi bangsa Arab banyak mengenal
jejak telapak kaki, karena pengetahuan semacam itu sangat dibutuhkan untuk
mengejar musuh mereka. Pada dasarnya berbagai macam ilmu pengetahuan yang
mereka miliki itu tidak bersumber dari kitab atau buku pegangan, melainkan dari
pengalaman sehari-hari.
Telah menjadi ketetapan kodrat, bahwa setiap bangsa mempunyai kelebihan
tersendiri. Bahwa jadi bahwa kelebihan yang dimiliki oleh suatu bangsa tidak
akan dimiliki oleh bangsa lain. Dalam perkembangan sejarah umat manusia telah
disebutkan bahwa bangsa Yunani kuno mempunyai kelebihan dalam berpikir dan
berfilsafat, sehingga bangsa tersebut dapat melahirkan beberapa filosof yang
amat terkenal seperti Plato, Aristoteles, Socrates, dan lain-lain. Jasa baik
yang mereka berikan dalam bidang filsafat tidak akan dilupakan oleh umat
manusia hingga akhir zaman.
Selain bangsa Yunani masih ada bangsa lain yang juga mempunyai kontribusi besar
dalam peradaban dunia. Sejarah peradaban telah mencatat bahwa bangsa India,
tiongkok, Mesir kuno, dan bangsa Arab, keseluruhan bangsa tersebut telah
mengenal peradaban tinggi sebelum bangsa barat maju.
Keistimewaan bangsa Arab, mereka mempunyai perhatian yang besar terhadap bahasa
dan keindahan sastranya, karena mereka mempunyai perasaan yang halus dan
ketajaman penilaian terhadap sesuatu. Dua sifat itulah yang menjadi faktor
utama bagi mereka untuk mempunyai kelebihan dan kemajuan dalam bahasa. Karena
keindahan bahasa bersandarkan pada perasaan halus dan daya khayal yang tinggi
(imajinasi), maka dengan kedua faktor inilah bangsa Arab dapat mengeluarkan
segala sesuatu yang bergejolak dalam jiwa mereka dalam bentuk syair-syair yang
indah.
Di sini, perlu disebutkan mengenai faktor-faktor yang mendorong bangsa Arab
Jahiliyyah lebih cenderung pada bahasa dan keindahannya, antara lain:
1. Bahasa digunakan sebagai alat komunikasi diantara sesama mereka untuk
menggambarkan dan menceritakan perjalanan mereka dalam mengarungi padang pasir,
dan juga digunakan untuk menceritakan mengenai keindahan binatang, maupun
menggambarkan ketangkasan kuda, dan banyaknya hasil rampasan perang yang mereka
menangkan.
2. Bahasa digunakan untuk mengobarkan semangat perjuangan, menghasut api
pertikaian sesama mereka, seperti mengobarkan rasa balas dendam dan
menggambarkan kepahlawanan serta kemenangan yang diperolehnya. Dan untuk itu
semua mereka menggunakan syair sebagai sarananya.
3. Bahasa digunakan untuk menerangkan segala kejadian penting dan nasihat yang
dibutuhkan oleh anak buahnya, seperti memberikan cerita mengenai keagungan
nenek moyang mereka.
Selain faktor-faktor di atas, ada juga hal yang meningkatkan perhatian bangsa
Arab Jahiliyyah terhadap bahasanya sendiri. Misalnya mengadakan perlombaan
deklamasi yang diadakan setiap tahun di kota Mekkah, dan diikuti oleh semua
bangsa Arab yang datang di Mekkah untuk menunaikan ibadah Haji, yang sebelumnya
mereka akan mengadakan pasaran bersama. Di dalam suatu kesempatan,mereka juga
mengadakan perlombaan bersyair, dan juka dalam perlombaan itu ada seorang
penyair yang menang, maka bait syairnya akan ditulis dengan tinta emas dan
digantungkan di dinding Ka'bah agar bait syair itu dapat dikenal oleh setiap
orang yang berthawaf.
Syair yang telah dihafal oleh seseorang akan diajarkan kepada anak dan kaumnya,
kemudian diteruskan sampai turun-temurun sehingga syair itu akan dihafal oleh
beberapa generasi mendatang.
Demikianlah seterusnya perkembangan syair dari sejak zaman jahiliyah sampai
masa sekarang. Gambaran di atas menunjukkan kepada kita akan besarnya perhatian
bangsa Arab terhadap bahasanya, dan tidak terdapat pada bangsa lain, sehinggal
itulah keistimewaan bangsa dan bahasa Arab.
Bahasa dan kandungan Syi'r Arab Jahiliyyah sangat sederhana, padat, jujur, dan
lugas. Namun demikian, emosi dan rasa bahasa serta nilai sastranya tetap
tinggi, dikarenakan imajinasi dan simbol yang dipakai sangat baik dan mengenai
sasaran. Meskipun demikian, ada beberapa Syi'r Arab Jahiliyyah yang sangat
remang-remang atau sangat imajiner dan simbolis. Syi'r seperti ini digubah
dengan sangat padat dan sering menggunakan simbol yang samar sehingga sulit
dicerna oleh kalangan umum, sehingga yang mampu mengapresiasikan Syi'r imajiner
adalah kalangan tertentu yang memiliki pengetahuan sejarah dan latar belakang
sang penyair. Dari sudut gaya, Syi'r Arab Jahiliyyah sangat mementingkan irama,
ritme, rima, musik atau lagu, serta sajak (dikenal dengan nama qafiyah). Tetapi
semua ini dilakukan secara wajar, bukan dengan memaksa mencari kata-kata hanya
untuk kepentingan ritme dan sajak.
C. Faktor-Faktor Yang Mendorong Perkembangan Sastra Jahiliyah
Kondisi geografis dan etnis masyarakat Arab, menjadi faktor yang cukup dominan
bagi perkembangan sastra pada masa awal sejarah sastra ِِِArab yaitu pada masa
jahiliyah. Menurut Juzif al-Hasyim (1968: 23) dalam bukunya al-Mufid, Ada
banyak faktor yang mempengaruhi perkembangan sastra, yaitu: Pertama adalah
iklim dan tabiat alam. Syi'r jahily terpengaruh begitu kuat dengan alam padang
pasir dan kehidupan kaum badui, kata-katanya keras menggambarkan kehidupan yang
keras, kesunyian, kerinduan. Uslubnya mirip-mirip antara penyair satu dengan
yang lain yang merupakan refleksi dari pemandangan gurun hampir sama, imajinasi
penuh dengan kesederhanaan. Kedua adalah ciri khas etnik, bangsa Arab menjadi bangsa
yang lahir untuk memuja dan memuji sastra. Tidak semua bangsa mencintai sastra,
seperti di Indonesia suku-suku yang memiliki sense sastra yang kuat seperti
suku Minang dan mayoritas orang Melayu yang lain. Ketiga peperangan, dan
keempat adalah faktor kemakmuran dan kemajuan, kelima agama, keenam ilmu
pengetahuan, ketujuh adalah politik, kedelapan adalah interaksi dengan berbagai
bangsa dan budaya.
Selain faktor-faktor yang telah penulis sebutkan di atas, untuk perkembangan
sastra zaman jahily, ada dua faktor lain yang cukup dominan yang mempengaruhi
perkembangan sastranya, yaitu pasar sastra dan ayyam al-Arab.
1. Pasar (al-Aswaq)
Menurut Khalil Abdul Karim (2002: 290) ada dua macam pasar jazirah Arab, yaitu
pasar umum dan pasar khusus atau lokal (Mahalliah), atau pasar luar dan pasar
dalam.
Ukaz adalah contoh dari pasar dalam pasar yang paling terkenal. Pasar ini
dimulai sejak tanggal 1 sampai tanggal 20 Dzul Qa'dah. Kemudian pasar majannah,
yang dimulai sejak tanggal 20 sampai dengan tanggal 30 Dzul Qa'dah, sedangkan
pasar Dzul Majaz dimulai pada awal bulan Dzul Qa'dah sampai dengan tanggal 8,
saat hari tarwiyah, dimana sejak itu ibadah haji besar dimulai. Kemudian pasar
Khaibar yang dilaksanakan setelah musim haji sampai pada akhir bulan Muharram.
Pasar Ukaz terletak di sebelah tenggara kota Mekah, 30 mil dari kota Mekah dan
10 mil dari Thaif. Pasar ini paling terkenal dan menjadi tempat berkumpul bagi
orang-orang Quraisy, Hawazin, Ghatfan, Khuza'ah, dan 'Adhal". Al-Idrisi
menyebut pasar Ukaz sebagai pasar umum.
Pasar Dzul Majaz dilaksanakan oleh para saudagar sejak awal bulan Dzul Hijjah
sampai pada hari tarwiyah; pasar Majannah dilakukan oleh para saudagar sejak
tanggal 20 sampai pada penghujung bulan Dzul Hijjah, yaitu setelah pasar Ukaz
berakhir. Ia terletak di dekat kota Mekah. Sebagaimana telah penulis paparkan
bahwa orang-orang Quraisy menghubungkan pasar-pasar tersebut dengan musim haji
besar, hal ini karena sebagian besar pasar itu (Ukaz dan Majannah) berlangsung
dekat dengan musim haji. Pasar tersebut merupakan suatu keistimewaan yang hanya
dapat dinikmati oleh suku Quraisy dan hanya dilakukan di Mekah. Karena itu,
musim haji menjadi musim besar bagi para saudagar, terutama di Hijaz. Oleh
sebab itu, layak bagi penulis untuk memahami bahwa keistimewaan ini merupakan
hasil perenungan para saudagar Quraisy, bukan datang begitu saja. Karena dalam
sehari-hari, mereka mengedarkan barang dagangannya.
Kemudian mereka melakukan aktivitas jual beli dan kembali dengan membawa
keuntungan yang banyak. Untuk menyelamatkan musim ini, orang Quraisy dengan
sekuat kemampuannya menjadikan hari-hari itu untuk melindungi para pendatang
dan memberikan bantuan yang pantas bagi mereka. Jadi orang Quraisy itulah yang
memperluasnya menjadi pasar-pasar di musim haji besar dan memberikan
perlindungan serta bantuan kepada para pendatang. Oleh karena itu, pasar-pasar
tersebut dapat mendatangkan keuntungan yang besar dan penghasilan yang mapan
bagi para tokoh Mekah dan Thaif, sebab jual beli merupakan penopang kekayaan
bagi orang Quraisy khususnya. Berbeda dengan suku-suku lain yang menggantungkan
kekayaannya pada hasil penyerbuan dan peperangan serta beberapa harta rampasan
yang lain. Ats-Tsa'alabi menjelaskan bahwa sebab-sebab penerimaan orang Quraisy
terhadap mata pencaharian berdagang adalah karena mereka memegang teguh agama,
sehingga mereka menjauhi dan membenci peperangan serta membenci tindakan
menghalalkan segala kekayaan. Ketika meninggalkan cara-cara perampokan maka
mata pencaharian yang ada hanyalah berdagang (Karim, 2002: 290).
Haji adalah musim terbesar yang dapat mendatangkan keuntungan bagi orang
Quraisy. Menurut Hamdan Abdul Majid al-Kubaisi, sebagian pasar-pasar tersebut
ada yang mungkin dapat dikategorikan sebagai pasar luar. Pasar itu dilakukan di
atas laut, seperti: Aden, Shan'a', dan Amman. Pasar-pasar itu tidak sulit
dijangkau oleh orang Quraisy, sebagaimana penulis jelaskan sebelumnya.
Fungsi pasar tidak sekedar memberikan keuntungan yang besar bagi para
konglomerat kota Mekah, Thaif, Yamamah, dan Yatsrib yang merupakan pusat
perkotaan di tengah-tengah Jazirah Arab. Tetapi pasar itu juga mendatangkan
keuntungan yang lain, yaitu memboyong segala kesejahteraan ke Arab. Hal itu
karena barang dagangan yang dibawa oleh rombongan haji dan saudagar, yang
dijual di pasar-pasar luar, khususnya di atas air dan pelabuhan, mungkin
sebagiannya dapat dikategorikan sebagai barang-barang mewah; seperti pakaian
sutera, parfum, minyak wangi, sandal mewah, surban warna-warni, lampu
warna-warni, dan pedang Hindia, yang harganya hanya dapat dijangkau oleh
orang-orang kaya yang menempati pusat-pusat peradaban, dan juga kalangan
terdidik serta para tokoh Quraisy; sesuatu yang makin menjauhkan jarak antara
orang-orang fakir dengan orang-orang yang kaya.
Pasar-pasar itu juga tidak hanya terbatas di Jazirah Arab saja. Bahkan di
beberapa pasar, bukan di Jazirah Arab melainkan di negara-negara sekitarnya,
terdapat diskusi-diskusi politik, dimana para tokoh saudagar membahas
hukum-hukum politik, karena sebenarnya hubungan antara politik dan perdagangan
merupakan persoalan yang ada sejak dahulu. "Kota Mekah juga mengenal
adanya diskusi politik yang tercermin dalam pasar. Ini juga mencerminkan satu
bentuk politik, dimana di sana terdapat sekelompok manusia yang mempunyai
kepentingan, ada juga muktamar-muktamar yang memutuskan banyak hal yang
memiliki hubungan dengan politik masing-masing suku dan juga hubungan antar
suku". Pasar-pasar tersebut juga mempunyai peran yang jelas dalam bidang
sosial budaya, sebagai tempat festival sastra (Karim, 2002: 294).
Secara praksis pasar-pasar itu juga menjadi peran sastra dan budaya yang
dihadiri oleh para penyair, kelas menengah dan kelas bawah. Pada waktu itu
kecintaan terhadap Syi'r dan penyair bagi seluruh masyarakat Arab hampir
menjadi sebuah naluri alamiah. Para penyair besar melantunkan qashidah-qashidah
dan Syi'r mu'allaqatnya untuk menentukan siapa penyair yang menempati kelas
dua, dan mendengarkan Syi'r para penyair terkenal yang lain. Para khutaba' juga
mendatangi pasar tersebut, seperti Qus ibn Sa'adah al-Iyadi yang telah penulis
sebutkan, dimana Nabi Muhammad SAW. pernah mendengarkan khotbahnya di pasar
Ukaz sebagaimana telah penulis singgung di muka. Pada saat beliau mendatangi
suku Iyad, beliau meminta kepada mereka untuk mengulangi khotbah Qus ibn
Sa'adah, maka kemudian beliau memujinya. Mungkin lebih tepat jika pasar Ukaz
dikatakan sebagai pesan sastra dan budaya yang resmi.
Hal itu dikuatkan oleh pendapat Burhanuddin Dallau, yang mengatakan, pasar Ukaz
tidak saja merupakan tempat dan pesan perdagangan sosial, tapi juga merupakan
pesan diskusi sastra Arab secara umum, dimana para penyair dan khutoba'
berkumpul dan berlomba-lomba dalam berSyi'r dan berkhotbah. Para sejarawan
menceritakan bahwa Nabighah adz-Dzubyani dibuatkan sebuah kubah dari kulit di
pasar Ukaz. Di tempat tersebut para penyair berkumpul dan mendendangkan
Syi'rnya, diantaranya; Khansa' binti Amr ibn Syarid dan Hassan ibn Tsabit. Ini
tidak terbatas di pasar Ukaz saja, tetapi termasuk juga pasar-pasar yang lain.
Pasar-pasar tersebut telah berperan dalam memunculkan pesan sastra dalam
mempercepat proses ilmiah (obyektif) untuk menatap keadaan sosial, ekonomi, dan
budaya demi mencapai persatuan (Karim, 2002: 312).
2. Ayyam al-‘Arab
Salah satu fenomena sosial yang menggejala di Arab menjelang kelahiran Islam
adalah apa yang dikenal dengan sebutan "hari-hari orang Arab" (ayyam
al-Arab). Ayyam al-‘Arab merujuk pada permusuhan antar suku yang secara umum
muncul akibat persengketaan seputar hewan ternak, padang rumput, atau mata air.
Persengketaan itu menyebabkan seringnya terjadi perampokan dan penyerangan,
memunculkan sejumlah pahlawan lokal, para pemenang dari suku-suku yang
bersengketa, serta menghasilkan perang syair yang penuh kecaman di antara
penyair yang berperan sebagai juru bicara setiap pihak yang bersengketa.
Meskipun selalu siap berperang, orang-orang Badui tidak serta-merta berani
mati. Jadi, mereka bukanlah manusia haus darah seperti yang mungkin dikesankan
dari kisah-kisah yang kita baca. Meskipun demikian, Ayyam al-‘Arab merupakan
cara alami untuk mengendalikan jumlah populasi orang - orang Badui, yang
biasanya hidup dalam kondisi semi kelaparan, dan yang telah menjadikan
peperangan sebagai jati diri dan watak sosial. Berkat Ayyam al-‘Arab itulah
pertarungan antar suku menjadi salah satu institusi sosial keagamaan dalam
kehidupan mereka.
Rangkaian peristiwa dari masing-masing hari ini, seperti yang diriwayatkan
kepada kita, kurang lebih mengikuti pola yang sama. Pada mulanya, sengketa
hanya melibatkan segelintir orang yang menyebabkan munculnya sengketa
perbatasan dan penghinaan terhadap seseorang. Pertikaian itu kemudian menjadi
persoalan seluruh suku. Perdamaian biasanya berakhir setelah ada campur tangan
dari pihak yang netral. Suku yang menderita korban lebih sedikit akan membayar
sejumlah uang tebusan kepada suku lawannya sesuai dengan selisih korban.
Kenangan akan para pahlawan akan tetap hidup selama berabad-abad kemudian
(Hitti, 2005: 110).
Ayyam al- ‘Arab menjadi media yang cukup efektif bagi pengembangan tema-tema
Syi'r Arab. Peran penyair dalam peperangan sangat besar; sebagai motivator atau
untuk menjatuhkan lawan secara psikologis dengan Syi'r-Syi'r hija'nya yang
pedas. Syi'r-Syi'r legendaris juga banyak lahir dari medan perang seperti
Syi'r-Syi'rnya Antarah, Syanfara dan lain-lainnya.
D. Tingkatan Penyair Jahiliyah
Para ahli sejarah kesusastraan Arab (al-Zayat, 1982:45) menyatakan bahwa ada
empat tingkat para penyair pada masa jahiliyah bila dilihat dari masa hidup
para penyair tersebut, yaitu:
1. Jahiliyun; Mereka yang hidup pada masa sebelum Islam, seperti: Imru'ul Qais,
Zuhair ibn Abi Sulma.
2. Mukhadhramun; Mereka yang dikenal dengan puisinya di masa jahiliyah dan
Islam, seperti: Khansa', Hassan ibn Tsabit.
3. Islamiyyun; Mereka yang hidup di masa Islam tetapi masih memegang tradisi
Arab, dan mereka ini para penyair bani Umayyah.
4. Muwalladun; mereka yang telah rusak tradisi berbahasanya dan berusaha
memperbaikinya, mereka ini para penyair bani Abbas.
Bila ditinjau dari segi kualitas puisinya, para penyair jahiliyah terbagi ke
dalam tiga tingkatan:
1. Tingkat pertama: Imru'ul Qais, Zuhair, Nabighah
2. Tingkat kedua: al-A'sya, Labid, Tharfah.
3. Tingkat ketiga: 'Antaroh, Duraid ibn ash-Shammah, Umayyah ibn Abi
ash-Shallat.
Beberapa ahli bahasa dan sastra sepakat dengan Broklemen (Lajnah ,1962: 64)
membagi penyair jahiliyah menjadi enam kelompok:
1. Penyair al-Badiyah: yang terbagi menjadi dua kelompok;
• Penyair Sha'alik : Syanfara, Taabbata Syarran, Urwah ibn Ward
• Ghair Sha'alik : Muhalhil, Harits ibn Hilzah, Amru ibn Kaltsum, Antarah.
2. Penyair al-Amir (Penyair Raja): Imru'ul Qais
3. Penyair Bilath wa at-Takassub: Tharfah ibn 'Abd, Abid ibn al-Abrash,
An-Nabighah adz-Dzibyani, al-A'sya al-Akbar, al-Huthai'ah.
4. Penyair Hikmah: Zuhair ibn Abi Sulma, Labid ibn Rabi'ah.
5. Penyair al-Madzahib: As-Samau'ell, 'Adi ibn Zaid, Umayyah ibn Abi
ash-Shullt.
6. Penyair-penyair perempuan: al-Khansa'.
E. Karakteristik Syi'r Jahiliyyah
Pada umumnya karakteristik syi'r Jahiliyyah adalah terletak pada corak
pemikirannya yang terbatas, sesuai dengan corak kehidupan mereka yang sangat
sederhana. Hanya saja kebanyakan penyair masa ini lebih banyak menyandarkan
pada daya khayal yang ada ditambah dengan pengalaman kehidupan mereka
sehari-hari. Oleh karena itu, jika kita hendak menilai keadaan suatu syi'r
Jahiliyyah, maka kita tidak dapat terlepas dari keadaan penyair itu sendiri.
Corak pemikiran yang sederhana ini dikarenakan mereka belum banyak mengenal
kebudayaan yang tinggi atau mendapat pengaruh dari bangsa lain. Kehidupan
mereka hanya terbatas dalam kehidupan Baduwi yang penuh dengan dunia
pengembaraan, peperangan, dan hidup bebas dari segala hukum dan ikatan
undang-undang.
Karakteristik yang paling menonjol pada syi'r Arab Jahiliyyah adalah karakter
yang mengedepankan sifat kejantanan dan kepahlawanan, menceritakan segala macam
pengalaman yang baik maupun yang buruk, menggunakan bahasa yang indah,
pemilihan kata-kata yang ringkas tetapi mengandung makna yang dalam.
F. Al-Mu'allaqat
Masyarakat Jahiliyyah sering mengadakan fastival sastra secara periodik. Ada
festival sastra mingguan, bulanan, dan tahunan. Mereka juga membuat apa yang
yang sekarang disebut dengan pasar seni. Di pasar seni ini para pujangga saling
unjuk kemampuan dalam bersastra. Di antara pasar seni yang paling bergengsi
pada zaman Jahiliyyah adalah pasar Dzu al-Majaz, yang terletak di daerah
Yanbu', dekat Sagar (kini termasuk wilayah Madinah); pasar seni Dzu al-Majinnah
di sebelah barat Mekkah, dan pasar seni ‘Ukadz yang terletak di timur Mekkah,
antara Nakhlah dan Tha'if. Di tiga tempat ini, masyarakat Jahiliyyah
melangsungkan festival seni selasa selama 20 hari, sejak bulan Dzulqaidah.
Di pasar ‘Ukadz para penyair berlomba mendendangkan karya-karya mereka di depan
dewan juri yang terdiri dari sejumlah pujangga yang telah memiliki reputasi.
Karya-karya puisi yang dinyatakan sebagai yang terbaik akan ditulis dengan
tinta emas di atas kain yang mewah, kemudian akan digantungkan di dinding
Ka'bah, yang kemudian dikenal dengan istilah al-Mu'allaqat (puisi-puisi yang
digantungkan pada dinding Ka'bah).
Sastra puisi Arab yang paling terkenal pada zaman Jahiliyyah adalah puisi-puisi
al-Mu'allaqat. Dinamakan al-Mu'allaqat, karena puisi-puisi tersebut
digantungkan pada dinding Ka'bah. Pada zaman Jahiliyyah, menggantungkan sesuatu
pada dinding Ka'bah bukanlah hal yang aneh, karena setiapkali ada urusan yang
penting, pasti akan digantungkan pada dinding Ka'bah. Pada masa Rasulullah SAW,
pernah terjadi konflik antara Beliau SAW dan Suku Quraisy. Suku Quraisy sepakat
untuk tidak lagi berhubungan dengan Bani Hasyim. Mereka tidak akan kawin dan
melakukan jual-beli dengan keturunan Bani Hasyim. Kesepakatan tersebut ditulis
di atas perkamen dan digantungkan pada dinding Ka'bah.
Puisi al-Mu'allaqat berbentuk qasidah (ode) panjang, dan memiliki tema
bermacam-macam, yang menggambarkan keadaan, cara, dan gaya hidup orang-orang
Arab Jahiliyyah. Selain memiliki sebutan al-Mu'allaqat, puisi-puisi yang
digantungkan tersebut juga memiliki sebutan lain, antara lain:
1. As-Sumut (Kalung), karena menurut orang-orang Arab Jahiliyyah, rangkaian
puisi-puisi yang tergantung pada dinding Ka'bah berbentuk seperti kalung yang
tergantung pada dada wanita.
2. Al-Mudzahhabaat (yang ditulis dengan tinta emas), karena puisi-puisi yang
tergantung pada dinding Ka'bah ditulis dengan menggunakan tinta yang terbuat
dari emas.
3. Al-Qasha'id al-Masyhuraat (Qasidah-qasidah yang terkenal), karena
puisi-puisi yang tergantung pada dinding Ka'bah tersebut adalah puisi-puisi
terkenal yang ada saat itu dibandingkan dengan puisi-puisi yang lainnya.
4. As-Sab'u at-Tiwal (Tujuh buah puisi yang panjang-panjang), karena
puisi-puisi yang tergantung pada dinding Ka'bah tersebut terdiri dari tujuh
buah puisi dan panjang-panjang. Nama ini diberikan oleh orang yang berpendapat
bahwa puisi yang tergantung pada dinding Ka'bah tersebut ada tujuh buah.
5. Al-Qasha'id al-Tis'u (Sembilan buah Qasidah), karena puisi-puisi yang
tergantung pada dinding Ka'bah itu terdiri dari sembilan buah puisi. Nama ini
diberikan oleh orang-orang yang berpendapat bahwa puisi-puisi yang tergantung
tersebut terdiri dari sembilan buah puisi.
6. Al-Qasha'id al-‘Asru (Sepuluh buah qasidah), karena puisi-puisi yang
tergantung pada dinding Ka'bah itu terdiri dari sepuluh buah puisi. Nama ini
diberikan oleh orang-orang yang berpendapat bahwa puisi-puisi yang tergantung
tersebut terdiri dari sepuluh buah puisi.
Sejarah sastra Arab mencatat sepuluh penyair al-Mu'allaqat, yaitu Umru al-Qais
bin Hujrin bin al-Harits al-Kindi, Zuhair bin Abi Sulma al-Muzani, an-Nabigah
adz-Dzibyani, al-A'sya al-Qaisi, Lubaid bin Rabi'ah al-Amiri, Amr bin Kultsum
at-Taghlibi, Tharafah bin Abdul Bakri, Antarah bin Syaddad al-Absi, al-Harits
bin Hilliziah al-Bakri, dan Ummayah bin ash-Shalt.
Penyair Jahiliyyah lain yang sangat terkenal, tetapi tidak termasuk penyair
al-Muallaqat, adalah al-Khansa (w. 664, penyair wanita dari kabilah Mudhar yang
akhirnya memeluk Islam), al-Khutaiyah (w.679, juga berasal dari kabilah Mudhar
dan masuk Islam), Adi bin Rabi'ah (w. 531, dikenal dengan nama al-Muhalhil), Sabit
bin Aus al-Azdi (w.510, dikenal dengan nama asy-syanfari).
BAB V
SASTRA ARAB MODERN
A. Perkembangan Kesusastraan Arab Modern
Penulisan prosa berupa cerita-cerita pendek modern dalam bahasa Arab, demikian
juga novel dan drama, baru dimulai pada akhir abad lalu. Belakangan ini bentuk
puisi juga mengalami perubahan yang cukup besar.
Puisi-puisi Arab modern sudah banyak yang tidak terikat lagi pada gaya lama
yang dikenal dengan 'Ilm al-'Arūd. Meskipun sebagian penyair dewasa ini senang
juga menciptakan puisi bebas, tetapi masih banyak juga yang bertahan dengan
gaya lama kendati tidak lagi terikat pada persyaratan tertentu, seperti penyair
MAHMUD ALI TAHA (w.1949). puisi-puisinya sangat halus, romantis, tetapi sangat
religius. Beberapa pengamat menganggapnya banyak terpengaruh oleh romantisme
Perancis abad ke-19, terutama Lamartine. Mungkin sudah terdapat jarak antara
penyair ini dan penyair-penyair modern semi-klasik sebelumnya, seperti Ahmad
Syauqi atau Hafidz Ibrahim (1872-1932) yang dipandang sebagai penyair-penyair
besar.
Dalam sastra Arab modern, Mesir dapat dikatakan merupakan pembuka jalan
meskipun dari para sastrawan itu banyak yang berasal dari Libanon dan Suriah.
Mereka pindah ke Mesir untuk menyalurkan bakatnya di negeri ini.
Sastrawan dan pemikir besar menjelang pertengahan abad ke-20 adalah MUHAMMAD
IQBAL (1877-1938) yang lahir di Sialkot dan wafat di Lahore, Pakistan. Ia
mengungkapkan filsafatnya dengan puisi dalam bahasa Urdu dan Persia. Beberapa
prosanya ditulis dalam bahasa Inggris dan bahasa Arab. Dari kumpulan puisinya,
yang terkenal adalah Asrari Khudi di samping karya filsafatnya, The
Reconstruction of Religious Thought in Islam.
Dalam abad ke-19 kegiatan penerjemahan buku-buku ke dalam bahasa Arab sudah
mulai dirintis secara besar-besaran, yang sudah tentu sebagian besar berupa
karya-karya sastra Barat. Nama-nama mulai dari Villon sampai pada angkatan
Sartre dalam sastra Perancis, atau Marlowe sampai angkatan Auden dalam sastra
Inggris, sudah tidak asing lagi, di samping dari Eropa lainnya. Yang menjadi
pelopor dalam hal ini tentu mereka yang telah mendapatkan pendidikan Barat
sebagai akibat pembaharuan yang dilakukan oleh Muhammad Ali (1769-1849) dan
sampai puncaknya sebagai gelombang kedua pada masa Khediwi (Khedive) Ismail
(1830-1895). Pada waktu itulah banyak karya sastra Barat, terutama karya sastra
Perancis, yang diterjemahkan ke dalam bahasa Arab, seperti Paul et Virginie,
dongeng-dongeng La Fontain dan Victor Hugo. Sungguhpun begitu, sastra Arab baru
ini masih tetap dapat bertahan pada tradisinya sendiri.
MUSTAFA LUTFI AL-MANFALUTI (1876-1924), sastrawan dan ulama dari al-Azhar yang
sudah amat dikenal di Indonesia, dapat digolongkan sebagai pengarang
cerita-cerita pendek bergaya semi-klasik semi-modern. Ia, yang juga banyak
menerjemahkan, sedikit banyak terpengaruh karya-karya pengarang Perancis abad
yang lalu. Dalam perkembangan selanjutnya penerjemahan tidak hanya terbatas
pada karya sastra Perancis, tetapi sudah meluas ke kawasan Eropa lainnya, terutama
Inggris, Rusia, dan Jerman dengan prinsip mengutamakan terjemahan langsung dari
bahasa asal.
Sesudah Perang Dunia I pemikiran-pemikiran intelektual di Mesir, Suriah, dan
Irak semakin terasa. Dalam kesusastraan mereka terbagi ke dalam dua kelompok
besar. Pada satu pihak pengarang-pengarang yang mempunyai latar belakang
pendidikan Barat cenderung pada sastra Perancis dan pada pihak lain lebih
cenderung pada sastra Inggris. Yang pertama diwakili oleh Muhammad Husein
Haekal (1888-1956) selain sebagai seorang sastrawan, ia juga dikenal sebagai
wartawan terkemuka dan pemikir, sedangkan yang kemudian dapat dikatakan
diwakili oleh Abbas Mahmud Al-Aqqad (1889-1973) dan Ibrahim al-Mazini
(1890-1949).
MUHAMMAD HUSEIN HAEKAL selain besar pengaruhnya dalam sastra Arab mutakhir,
juga mempunyai tempat yang penting dalam literatur Islam setelah serangkaian
bukunya tentang studi-studi Islam terbit, terutama sekali bukunya yang berjudul
Hayāh Muhammad (1936). Haekal dianggap perintis karya sastra modern setelah
novelnya. Zainab, terbit (1914). Ia juga banyak menulis kritik sastra dan
cerita pendek.
Al-Aqqad dan al-Mazini sama-sama tumbuh mula-mula sebagai penyair pembaharuan
yang melepaskan diri dari ikatan tradisi. Selain puisi-puisinya, al-Aqqad juga
terkenal karena novel semi-autobiorafinya, Sarah. Pada tahun-tahun belakangan
ia banyak mencurahkan perhatian pada penulisan buku-buku ke-Islaman.
Pengarang-pengarang cerita pendek yang penting dicatat adalah MAHMUD TAIMUR
(1894-1973), pengarang dan seniman yang menjadi kebanggan Mesir.
Kritik-kritiknya sangat diperhatikan para ahli. Karya-karya Mahmud Taimur sudah
banyak diterjemahkan ke dalam berbagai bahasa, termasuk bahasa Indonesia.
Ada beberapa pengarang kontemporer yang memiliki kecenderungan mengelolah
cerita lama sebagai bingkai dengan pakaian baru untuk memperbincangkan masalah
baru. Buku-buku seperti Seribu Satu Malam dan Kalīlah wa Dimnah oleh
pengarang-pengarang itu diolah kembali menjadi karya baru untuk kemudian diisi
dengan pikiran-pikiran mereka, seperti yang dilakukan oleh TAHA HUSEIN, TAUFIK
AL-HAKIM, YAHYA HAQQI, dan NAGUIB MAHFUDZ.
Masing-masing negara berbahasa Arab mempunyai caranya sendiri dalam membenahi
budayanya sehingga tidak ada keseragaman mutlak. Sebagai contoh, udara sastra
di Irak mungkin lebih sering diwarnai oleh agitasi politik dan ideologi yang
mengakibatkan timbulnya pergolakan dan revolusi, seperti terjadi pada 1958 dan
1960 sampai pada Revolusi 68 yang dikatakan membawa angin baru kepada seni dan
budaya dengan diterbitkannya kembali buku-buku sastra. Banyak pengarang Irak
yang terpengaruh oleh suasana demikian sehingga pernah lahir yang disebut
Penulis Angkatan 60, dan sebagainya. Namun bagaimanapun ada beberapa penulis
cerpen Irak yang cukup dikenal di tanah airnya, seperti ABDUL MALIK NURI (1923),
FU'AD TAKERLI (1927), dan SYAKIR KHUSYBAK, guru besar di Universitas Baghdad.
Dari yang terakhir ini beberapa cerpennya sudah diterjemahkan ke dalam bahasa
Indonesia.
Sebelum itu, yang dapat dinobatkan sebagai perintis puisi modern di Irak adalah
penyair JAMIL SIDQI AZ-ZAHAWI (1863-1936), penyair tua yang bernada keras dan
dikenal sebagai pembela hak-hak perempuan di samping MA'RUF AR-RUSAFI
(1877-1945).
Masih dalam dunia kepenyairan, seorang penyair yang mati muda, yang dianggap
penyair Arab terbesar sampai waktu itu adalah BADR SYAKIR AS-SAYYAB
(1926-1964). Dalam hidup dan pemikiran, ia selalu gelisah. Bersama ABDUL WAHHAB
AL-BAYYATI yang kekiri-kirian, ia menanamkan bibit neo-klasik untuk
menggantikan romantisme. Aliran yang belakangan ini memang tak dapat bertahan
lebih lama di Irak.
Kalangan kritik sastra Arab memang banyak menyoroti puisi-puisi AS-SAYYAB yang
beberapa antologinya yang tebal sudah diterbitkan bersamaan dengan terbitnya
buku-buku studi sastra tentang dia dan karyanya. Puisi-puisinya sekitar tahun
50-an dinilai banyak terpengaruh oleh penyair-penyair kelompok Apollo dan
Mahjar yang lebih romantik - barangkali termasuk juga pengaruh Shelley dan
Keats - tetapi dalam teknik ada yang membandingkannya dengan Eliot.
Puisi-puisinya memang dalam, banyak diwarnai bahasa semiotik, hidup, dan indah,
tetapi tidak mudah ditangkap pembaca biasa (awam). Di Irak, yang pada sekitar
tahun 50-an menjadi tempat persinggahan Marxisme yang cukup subur dan
memaraknya paham nasionalisme yang menggebu-gebu, as-Sayyab membuat pembaharuan
yang cukup mengejutkan ketika kemudian ia menguak ke depan dengan membawa
puisi-puisinya yang banyak menyelip ayat al-Qur'an ke dalamnya, atau kadang
rima, simbolisme, atau nada musiknya; bahkan irama, gaya, dan kata-kata al-Qur'an
yang terasa kuat sekali pantulannya. Tokoh-tokoh dan peristiwa-peristiwa dalam
al-Qur'an dan dalam tradisi Islam sering ditimbulkannya kembali untuk
menggantikan mitologi dan pengaruh lain. Sungguhpun ia bertahan dengan nilai
lama yang lalu diperbaruinya, ia juga terbuka menyerap puisi-puisi Eropa
modern.
Di suriah, ABDUS SALAM AL-UJAILI (lahir. 1918), yang juga seorang dokter medis,
aktif dalam penulisan novel dan cerita pendek. Beberapa cerpennya sudah
diterjemahkan ke dalam bahasa Indonesia. Demikian juga WALID IKHLASI (lahir.
1935), seorang dosen ekonomi pertanian.
Dari Sudan, yang agak menonjol dapat disebut nama penyair dan penulis cerita
pendek, TAYYIB SALEH. Demikian juga di Maroko, tak banyak yang dapat dikenal.
ABDUL QADIR AS-SAMIHI termasuk pengarang Maroko yang cerpen-cerpennya sering
muncul dalam majalah sastra terkemuka, seperti al-Adab atau al-Majallah. TAHAR
BEN JALOUN lebih dikenal sebagai pengarang yang menulis ke dalam bahasa
Perancis.
Karya-karya sastra Aljazair modern banyak yang dipengaruhi oleh iklim perang
kemerdekaan melawan Perancis. Namun sekaligus timbul paradoks, yakni banyak
sastrawan negera di Afrika Utara ini yang menulis karya-karya sastranya dalam
bahasa Perancis dan gaya penulisannya pun tidak jauh berbeda dengan gaya pengarang
Perancis. Bahkan pemikir dan ulama Aljazair terkemuka, MALIK BIN NABI, menulis
pikiran keagamaannya dalam bahasa Perancis. Beberapa karya sastra Aljazair ada
yang sudah diterbitkan ke dalam bahasa Indonesia.
Dari kawasan Teluk, termasuk Arab Saudi, belum banyak yang dapat disebutkan.
Yang dikenal dengan sebutan as-Sā'ir al-Mahjar atau The Emigran Poet ialah
penyair-penyair yang berimigrasi umumnya ke Amerika Selatan.
Perkembangan bahasa pun mengalami perubahan dari gaya tradisional, kalimat yang
panjang-panjang, dan berbunga-bunga akibat pengaruh pleonasme dan penggunaan
kosakata klasik berganti dengan gaya yang sejalan dengan zaman, serba singkat,
dan serba cepat. Ciri khas perkembangan bahasa dalam sastra Arab Modern ialah
digunakannya bahasa percakapan (vernacularism) dalam dialog, sekalipun dalam
pemerian tetap dengan bahasa baku. Kecenderungan seperti ini ada pembelanya,
tetapi juga banyak penentangnya. Bahkan pernah ada kecenderungan sebagian
kalangan yang ingin mengubah huruf Arab sedemikian rupa supaya dapat juga
dibaca dalam huruf Latin. Di Libanon malah ada sekelompok sastrawan yang
mencoba menggantikan huruf Arab dengan huruf Latin. Bahkan sudah ada novel yang
terbit dalam bahasa Arab dengan menggunakan huruf Latin.
BAB VI
SASTRAWAN ARAB
1. UMAYAH BIN ABI ASH-SHALT
Nasab Keluarga Dan Kabilah
Nama aslinya adalah Abu Utsman Umayyah bin Abi ash-Shalt Abdullah ibn Abi
Rabi'ah ibn Auf Ats-Tsaqafi. Ia merupakan penyair Tsaqif dan termasuk salah
seorang pencari agama yang benar pada masa Jahiliyyah. Ia dibesarkan di Thaif.
Ayahnya adalah seorang penyair terkenal, ia banyak belajar kepada sang ayah
dalam berpuisi, untuk bekal pandangan-pandangan agama ia mencarinya kepada
Ahlul Kitab.
Umayyah bin Abi ash-Shalt merupakan salah seorang yang banyak meriwayatkan
berita-berita tentang orang-orang Yahudi, Nasrani, dan sisa-sisa agama Ibrahim
serta Ismail, berita tentang kisah penciptaan langit, bumi, malaikat, jin,
syari'at para nabi dan rasul yang masih tersimpan dalam ingatan para sesepuh
Arab Jahiliyyah. Ia selalu aktif beribadah dan mengenakan pakaian pengembara.
Dia juga merupakan seseorang yang mengharamkan Khamr (minuman keras/arak) dan
meragukan kepercayaan terhadap berhala.
Di dalam kitab-kitab yang dibacanya, ia menemukan berita gembira tentang akan
diutusnya seorang Nabi dari bangsa Arab. Mendengar berita mengenai hal itu, ia
pun berambisi menjadi seorang Nabi yang dimaksudkan tersebut. Hingga suatu
ketika, Rasulullah Saw diutus, hati Umayyah bin Abi ash-Shalt ragu dan memendam
rasa dengki dan iri, ia berusaha melawan dan mengingkari agama yang dibawa oleh
beliau Saw, meskipun dia tahu bahwa agama yang dibawa oleh Nabi Muhammad Saw
itu benar. Umayyah mengajak dan mendorong orang-orang Quraisy untuk mengingkari
Nabi Saw, dan meratapi orang-orang Quraisy yang meninggal dalam perang Badar.
Nabi Muhammad Saw. melarang periwayatan puisinya yang berkenaan dengan hal itu.
Sehingga berkenaan dengan kejadiaan tersebut, turunkanlah ayat al-Qur'an yang
berbunyi:
"واتل عليهم نبأ الذى آتيناه آياتنا فانسلخ منها فأتبعه الشيطان فكان من
الغاوين"
"Dan bacakanlah kepada mereka berita tentang seseorang yang telah kami
berikan kepadanya ayat-ayat kami (pengetahuan tentang isi Al-Kitab) kemudian
dia melepaskan diri dari ayat-ayat itu (mengingkarinya), lalu dia diikuti oleh
setan-setan (sampai dia tergoda), maka jadilah dia termasuk golongan
orang-orang yang sesat" (Al-A'raf, 7: 175).
Dan apabila Nabi Saw mendengar puisi Umayah yang berkenaan dengan tauhid,
keimanan, dan pujian kepada Allah Swt, maka beliau Saw. bersabda:
آمن لسانه وكفر قلبه
"Dia beriman lidahnya, tetapi hatinya kafir"
Kebanyakan puisi-puisi pujian (madah) Umayyah bin Abi ash-Shalt pada masa
Jahiliyyah dikhususkan kepada Abdullah ibn Jud'an, salah seorang bangsawan dan
hartawan Quraisy, sehingga dia menempati kedudukan seperti kedudukan Zuhair bin
Abi Sulma pada Haram ibn Sinan. Dia menghabiskan sisa-sisa hidupnya di Thaif
sampai meninggal dalam kekafiran pada tahun ke-9 Hijrah.
Puisi-Puisinya
Umayyah bin Abi ash-Shalt temasuk salah seorang pembesar penyair pedesaan,
meskipun dikalangan mereka sedikit sekali puisi yang beredar. Hanya saja yang
membuat puisinya tercela dalam pandangan sebagaian sarjana bahasa Arab,
sehingga mereka mengugurkan untuk berargumen dengan puisinya adalah karena
dalam puisinya banyak menggunakan bahasa serapan dari bahasa Ibrani dan
Suryani. Seakan-akan mereka mengingkari kebenaran adanya ta'rib (serapan ke
dalam bahasa Arab) karena seringnya berbaur dengan orang-orang asing, meski
bahasa Arabnya jelas. Sebagaimana mereka mengingkari Adi ibn Zaid karena dia
banyak memasukkan kata-kata dari bahasa Persia ke dalam puisinya karena dia
lama bergaul dengan mereka.
Umayyah bin Abi ash-Shalt menyebut langit (as-sama`/السماء ) dengan shooquuroh
(صاقورة). Dia menyatakan bahwa bulan memiliki kulit penutup yang jika terjadi
gerhana bulan ia masuk ke dalamnya, ia menamakan dengan as-saahuur (الساهور),
serta ia menamakan Allah dalam puisinya dengan as-Sulthith (السلطيط),
At-Taghruur (التغرور), dan sebagainya.
Puisi yang diciptakannya berbeda dengan puisi para penyair lainnya, dengan
kemudahan dalam kosakatanya dan dengan menyebutkan keajaiban-keajaiban dari
kisah-kisah fiksi dan legenda-legenda, penciptaan alam dan kehancurannya,
keadaan akhirat, sifat-sifat Sang Pencipta dan kekhusyukan pada-Nya. Dalam
menyebutkan hal tersebut Umayyah menggunakan kata-kata yang belum pernah
digunakan oleh seorang penyair pun sebelumnya. Puisinya juga diselingi oleh
kata-kata hikmah dan pribahasa. Diantara puisi-puisinya adalah:
الحمد لله ممسان ومصبحنا ¤ بالخير صبحنا ربى ومسانا
رب الحنيفة لم تنفد خزائنه ¤ مملوءة طبق الآفاق سلطانا
ألا نبى لنا منا فيخبرنا ¤ ما بعد غايتنا من رأس محيانا
وقد علمنا لوان العلم ينفعنا ¤ أن سوف تلحق أخرانا بأولانا
"Segala puji milik Allah kala kita berada di saat pagi dan petang, semoga
Tuhanku memberikan kebaikan pada kita pada pagi dan petang"
"Tuhan Ibrahim yang Hanif, yang tak habis-habis simpanan-Nya, memenuhi
cakrawala dengan kekuasaan-Nya yang tak terbatas"
"Ingatlah, ada seorang Nabi diantara kita yang diangkat dari kalangan kita,
lalu memberitahukan kepada kita munculnya pemimpin yang menjadi tujuan
kita"
"Kami telah mengetahuii berbagai ilmu yang bermanfaat bagi kami, bahwa
orang-orang yang terakhir akan mengikuti orang-orang yang terdahulu dari
kami"
Dia mencela anaknya dengan mengatakan:
عذوتك مولودا ومنتك يافعا ¤ تلعل بما أجنى إليك وتنهل
إذا ليلة نابتك بالشجو لم أبت ¤ لشكواك إلا ساهرا أتململ
كأنى أنا المطروق دونك بالذى ¤ طرقت به دونى فعنى تهمل
تخاف الردى نفس عليك وإننى ¤ لأعلم أن الموت حتم مؤجل
فلما بلغت السن والغاية التى ¤ إليها مدى ما كنت فيك أؤمل
جعلت جزائى غلظة وفظاظة ¤ كأنك أنت المنعم المتفضل
"Pagi hari kau lahir, siang hari kau besar, semoga demikian adanya yang
aku petik darimu dan yang kau reguk dari minum pertamamu"
"Ketika di suatu malam kau terluka, semalaman aku tak bias tidur, buka
karena mendengar keluhannya, tetapi karena terjaga dan rasa bosan"
"Seakan-akan aku sendiri yang memukul-mukulmu dengan pukulan-pukulan yang
dipukulkan padaku sehingga merasa kelelahan"
"Kau takut hal yang terburuk menimpa jiwamu, padahal sesungguhnya aku tahu
bahwa sang maut pasti datang menjemput"
"Ketika kau telah mencapai usia dewasa dan mencapai tujuan, yang kau gapai
sejauh kau dapat menggapainya. Aku pun tak dapat lagi mengharapkan apa-apa
darimu"
"Kau jadikan balasan buatku kekasaran dan kebencian, seakan engkau sendiri
yang memberikan kesenangan yang berlebihan"
Di antara puisi madah-nya (puisi yang berisikan pujian) :
عطاؤك زين لامرئ قد جبو ته ¤ بخير وما كل العطاء يزين
وليس يشين لامرئ بذل وجهه ¤ إليك كما بعض السؤال يشين
"Pemberianmu adalah hiasan bagi orang yang telah kau berikan kebaikan,
padahal tidak setiap pemberian dapat menjadi perhiasan"
"Bukanlah sesuatu yang dikehendaki oleh seseorang adalah akan mengarahkan
wajahnya padamu, seperti sebagian yang diminta bukanlah yang dikendaki"
Di antara puisi-puisinya yang berisikan mengenai kematian ketika datang
menjemputnya adalah:
إن نغفر اللهم نغفر جما ¤ و أى عبد لك لا ألما
"Jika Engkau berkenan mengampuni, Ya Allah Tuhanku, ampunilah semuanya,
sebab hamba mana yang tiada berharap mendapat ampunan-Mu"
2. LUBAID BIN RABI'AH
Nasab Keluarga Dan Kabilah
Nama lengkapnya adalah Lubaid bin Rabi'ah bin Malik. Ia sering juga dijuluki
Abu 'Uqail al-'Amiry. Ia termasuk salah satu penyair yang disegani pada masa
jahiliyyah. Ia berasal dari kabilah Bani 'Amir Ibnu Sho'sho'ah, yaitu salah
satu pecahan dari kabilah Hawazin Mudhar[1]. Ibunya berasal dari kabilah 'Abas.
Lubai dilahirkan sekitar tahun 560 M. Selain sebagai penyair, ia juga dikenal
sebagai orang dermawan dan pemberani. Sifat kedermawanannya diwarisi dari
ayahnya yang dijuluki dengan "Rabi' al-Muqtarin". Sedangkan sifat
keberaniannya diwarisi dari kabilahnya.
Lubaid bin Rabi'ah al-Amiri adalah penyair Jahiliyyah yang memiliki usia yang
panjang. Dia berumur 145 tahun, dan sempat mendapatkan masa Islam. Namun,
penyair ini tetap digolongkan ke dalam penyair Jahiliyyah, karena sesudah masuk
Islam, ia tidak mengucapkan puisi lagi kecuali hanya satu bait saja.
Dahulu, di antara kabilah Bani 'Amir dengan kabilah Bani 'Abas terjadi permusuhan
yang sengit. Hingga akhirnya kedua utusan dari kedua kabilah tersebut
dipertemukan dihadapan al-Nu'man bin al Mundzir. Dari Bani 'Abas diantaranya
ada al-Rabi' bin Ziyad dan dari Bani Amir diantaranya ada para pendekar. Pada
saat itu al Rabi' dan al Nu'mân duduk-duduk bersama menikmati hidangan makan
dan minum. Ia merasa iri dengan orang-orang dari Bani Amir, maka iapun
menyebut-nyebut aib dan kekejian mereka. Maka ketika utusan dari mereka masuk
menemui al-Nu'man, ia tak memperdulikannya dan memalingkan mukanya. Hal inilah
yang kemudian membuat mereka jengkel, dan kemudian keluar dengan wajah memerah
karena kemarahan. Pada saat kejadian itu, Lubaid masih kecil, sehingga ketika
ia bertanya tentang siapa saja para ahli pidato dari mereka, ia pun diejeknya
karena dianggap belum cukup umur. Ia begitu sangat berharap bisa bergabung
dengan mereka. Iapun bersumpah akan memberi pelajaran kepada al-Rabi' kelak
nanti di hadapan al-Nu'man. Sumpahnya akhirnya terwujud, al-Nu'man akhirnya
membenci al-Rabi' dan ia tak lagi mau menemuinya serta melaknatnya. Setelah
itulah, Bani 'Amir mulai terangkat. Raja menghormati mereka dan memenuhi segala
kebutuhannya. Inilah awal dari popularitas Lubaid. Ia melantunkan puisi-puisi
singkat dan puisi-puisi panjangnya. Ketika puisinya dilantunkan, an-Nabighah
pun mengakui bahwa Lubaid adalah seorang penyair yang paling ulung dari
kalangan Kabilah Hawazin dengan usia yang masih relatif muda. Puisi yang
membuat al Nâbighah terbius adalah puisi pada mu'allaqahnya yang bait
pertamanya berbunyi :
عفت الديار محلها فمقامها ¤ بمنى بأبد غولها فرجامها
"Bekas-bekas reruntuhan perkampungan itu telah lenyap, tempatnya di Mina,
tanahnya rendah dan tingginya menyeramkan"
Mendengarkan puisinya itu, lalu an-Nabighah berkata:
"Pergilah hai anak, sesungguhnya kamu akan menjadi penyair suku Qais yang
terkenal[2]".
Para ahli sastra Arab menggolongkan puisinya ke dalam kelas tinggi, yang
dilihat dari segi kesopanan dan lebih condong kepada ketuhanan. Dalam puisinya
banyak menunjukkan sifat mulia dan kemauannya yang keras dalam mencapai
martabat yang tinggi. Yang paling menonjol sekali dari puisinya, ia tidak
pernah mengejek atau menjelek-jelekan siapa pun, dan juga tidak pernah
merendahkan diri kepada orang besar (raja atau bangsawan). Karena penyair ini
tidak menjadikan puisinya sebagai modal untuk mencari kedudukan ataupun harta
kekayaan seperti yang banyak dilakukan oleh penyair Jahiliyyah lainnya.
Sebaliknya ia selalu membanggakan kaumnya yang selalu berusaha mendapatkan
kemuliaan dalam menolong orang yang lemah.
Ketenaran penyair ini juga tidak menghalanginya untuk beriman kepada Nabi
Muhammad Saw. Dalam suatu riwayat diceritakan, bahwa pada suatu hari ketika
rombongan yang diperintahkan oleh Nabi Saw untuk mendakwahkan Islam di Madinah,
dan Lubaid mulai tertarik akan agama Islam yang dibawa oleh Nabi Saw. Akan
tetapi, pada saat itu ia masih belum menyatakan keislamannya. Setelah beberapa
tahun kemudian barulah ia bersama rombongannya datang kepada Rasulullah Saw
untuk menyatakan keislamannya, dan ia kembali pulang ke kabilahnya dan
menerangkan mengenai surga, neraka, hari kebangkitan, dan mengajarkan al-Quran
kepada kaumnya.
Puisi-Puisinya
Diwan Lubaid telah dikodifikasikan oleh banyak sekali para sastrawan terkenal.
Sedangkan periwayatan yang ada hanyalah periwayatan dari Ali bin Abdullah
al-Thusy yaitu salah seorang murid dari Ibn al-'Araby yang meninggal pada tahun
231 H/844 M.
Pada masa Umar bin al Khathab - Setelah terjadi pembukaan beberapa kota -
Lubaid pergi ke Kufah. Lubaid tinggal dan hidup di sana cukup lama, sampai ajal
menjemputnya pada awal masa kekhalifahan Mu'awiyyah pada tahun 41 H / 661 M.[3]
Ada yang mengatakan bahwa usianya mencapai 130 tahun. Ia termasuk salah satu
pemilik mu'allaqat. Ia memiliki sebanyak kurang lebih 122 qasidah dan 1322 bait
puisi.
Sebagian para ahli kesusastraan Arab menggolongkan Lubaid sebagai penyair
Jahiliyyah, karena sesudah masuk Islam, penyair ini tidak lagi mengucapkan
puisi, kecuali hanya satu bait saja, sebuah puisi yang diucapkannya ketika
menyatakan diri ke dalam Islam seperti yang terdapat di bawah ini[4]:
الحمد لله أن لم يأتنى أجلى ¤ حتّى لبست من الإسلام سربالا
"Al-Hamdulillah, ajalku tidak datang sebelum aku menjadi seorang
muslim"
Akan tetapi, sebagian ahli kesusastraan Arab yang lain menggolongkan Lubaid ke
dalam penyair Islam, karena ia banyak menghasilkan puisi-puisi yang bernafaskan
Islam, dan puisi-puisinya telah terpengaruh oleh ayat-ayat suci al-Quran.
Pada zaman Jahiliyyah puisi-puisinya banyak membicarakan seputar pujian
(madah), mencaci atau mengejek (hija'), bahkan banyak dari puisinya yang
berisikan kebanggaan terhadap kaumnya. Seperti yang terdapat dalam kutipan
puisi di bawah ini[5]:
إنا إذا التقت المجامع لم يزل ¤ منا لزاز عظيمة جشامها
ومقسّم يعطى العشيرة حقها ¤ ومغذمر لحقوقها هضامها
فضلا وذو كريم يعين على الندى ¤ سمح كسوب رغائب غنامها
من معشر سنّت لهم آباؤهم ¤ ولكل قوم سنة وإمامها
لايطبعون ولايبور فعالهم ¤ إذ لا يميل مع الهوى احلامها
وهم السّعاة إذا العشيرة افظعت ¤ وهم فوارسها وهم حكّامها
وهم ربيع للمجاور فيهم ¤ والمرملات إذا تطاول عامها
"Bila beberapa kabilah sedang berkumpul, maka kaumku akan menandingi
mereka dalam berdebat ataupun bertanding"
"Kaumku adalah pembagi yang adil, yang memberikan hak keluarganya, dan
kaumku adalah sangat pemarah kepada siapa pun yang merampas hak keluarganya"
"Kaumku menolong dengan suka rela, karena mereka suka menolong, suka
memaafkan, dan suka pada suatu kemuliaan"
"Kaumku berasal dari keturunan yang suka pada kemuliaan, dan bagi setiap
kaum pasti mempunyai adat dan pemimpin sendiri"
"Kaumku tidak pernah merusak kehormatannya dan tidak suka mengotori budi
pekertinya, karena mereka tidak senang mengikuti hawa nafsu"
"Bila keluarganya sedang tertimpa musibah, mereka akan membantu, merekalah
pahlawan bila keluarga sedang terserang dan merekalah yang akan menundukkan
musuh"
"Kaumku adalah penolong bagi siapa pun yang meminta pertolongan, dan
pembantu bagi janda yang tertimpa kemalangan"
Kemudian, pada masa permulaan Islam, puisi-puisinya sudah banyak terpengaruh
oleh gaya bahasa al-Quran dan isinya banyak mengandung ajaran-ajaran yang
bernafaskan Islam, dikarenakan setelah memasuki Islam, Lubaid lebih tekun
mempelajari ajaran-ajaran agama Islam yang terkandung dalam ayat-ayat suci
al-Quran, seperti dalam salah satu bait-bait puisinya yang menerangkan keimanannya
terhadap hari kebangkitan, di bawah ini[6]:
الا كلّ شيئ ما خلا الله باطل ¤ وكلّ نعيم لا محالة زائل
وكلّ أناس سوف تدخل بينهم ¤ دويهية تصفرّ منها الأنامل
وكلّ امرئ يوما سيعلم غيبه ¤ إذا كشفت عند الاله الحصائل
"Sesungguhnya segala sesuatu selain Allah pasti akan lenyap dan setiap
kenikmatan pasti akan sirna"
"Dan pada suatu saat, setiap orang pasti akan didatangi oleh maut yang
memutihkan jari-jari"
"Setiap orang kelak pada suatu hari pasti akan mengetahui amalannya jika
telah dibuka catatannya di sisi Tuhan".
Dalam menanggapi kemantapan isi bait puisi di atas, Nabi Muhammad Saw
berkomentar dalam suatu sabdanya yang diriwayatkan oleh Bukhari dan Muslim[7]:
اصدق كلمة قالها شاعر كلمة لبيد (الا كلّ شيئ ما خلا الله باطل)
"Sebaik-baik puisi yang pernah diucapkan seorang penyair adalah ucapan
Lubaid yang berbunyi: "Sesungguhnya segala sesuatu selain Allah pasti akan
lenyap"
3. AL-HARITS BIN HILLIZIAH AL-BAKRI
Nasab Keluarga Dan Kabilah
Nama aslinya adalah Al-Harits bin Hillizah al-Yasykuri al-Bakri, ia merupakan
salah seorang pemilik puisi mu'allaqat yang terkenal dengan satuan bait-bait
puisinya, pemikirannya bagus dan spontanitas, menjadi pribahasa dalam puisi
hammasah (patriotik) dan fakhr-nya (berbangga). Silsilah keturunannya sampai
kepada Bakr bin Wail.
Posisinya dalam kabilah itu seperti posisi Amru bin Kultsum dalam kabilah
Taghlib. Peninggalan karya puisinya hanyalah puisi-puisi pendek yang sederhana
dan puisi mu'allaqat-nya, yang permulaannya adalah:
آذنتـنا يبينها أسـماء ¤ رب ثاو يمل منـه الثــواء
"Perpisahannya dengan kami memberitahukan nama-nama dewa yang bersemayam
di sana dibuat bosan bersemayam di sana"
Adalah dikarenakan oleh mu'allaqqat-nya inilah Amru bin Hindun, salah seorang
raja Hirah mendamaikan antara kabilah Bakr dan kabilah Taghlib menyusul
peperangan antara kedua kabilah tersebut yang terkenal dengan perang al-Basus,
serta mengambil dari masing-masing kedua belah pihak jaminan tanggungan dari
anggota kabilah untuk menghentikan pertikaian satu sama lainnya dan untuk
mengikat bagi pihak yang menyerang dan diserang. Kemudian terjadi peristiwa
bahwa raja meminta ganti serombangan ternak dari kabilah Taghlib dalam suatu
keperluan. Kabilah Taghlib mengatakan bahwa hewan-hewan ternak itu menjarah air
milik kabilah Bakr, lalu mereka menghalaunya dan menggiringnya ke daerah padang
pasir yang gersang hingga ternak-ternak itu mati kehausan. Sementara kabilah
Bakr mengatakan bahwa mereka memberi minum dan menggiring mereka ke arah jalan
pulang, tetapi mereka lalu tersesat dan mati. Kedua pihak saling membela diri
dihadapan Amru bin Hindun. Amru bin Hindun kemudian memihak kepada kabilah
Taghlib, maka dengan spontanitas al-Harist bin Hillizah mencercanya dengan
puisinya. Hal itu terjadi di majelis pertemuan dalam keadaan dia menutupi
dirinya dengan tirai agar tidak kelihatan oleh raja, itu dikarenakan al-Harits
menderita penyakit campak. Puisinya itu diungkapkan dengan spontanitas, di
dalam puisi itu ia membanggakan kaumnya, menyanjung perbuatan mereka, serta
kebaikan mereka dalam mendampingi dan menyertai raja dalam sebagian besar
peperangan-peperangannya. Begitu al-Harits selesai berpuisi, raja berpindah ke
samping kabilah Bakr, dan mendekati al-Harits serta membuka tirai yang
menutupinya, lalu mereka berdua duduk bersama dalam tempat duduknya. Al-Harits
berusia panjang, sehingga sebagian ulama sastra menyatakan bahwa sesungguhnya
dia mendendangkan puisinya ini dalam usia seratus tiga puluh lima tahun".
Puisi-Puisinya
Kebanyakan para perawi dan kritikus puisi terkagum-kagum dengan spontanitas
al-Harits bin Hillizah dalam menciptakan puisi yang demikian panjangnya, dengan
tepatnya susunan, banyaknya kata-kata unik (asing), teknik dan temanya variatif
serta mengandung banyak informasi tentang peperangan bangsa Arab dan
peristiwa-peristiwa pentingnya.
Di antara kata-katanya yang di dalamnya mengandung sesuatu yang demikian
ringkas padat adalah kata-katanya yang melukiskan kepandaiannya dalam
menciptakan puisi dengan spontan, kebenaran, dan kejelasannya dalam
menggambarkan kenyataan:
أجمعوا أمرهم عشاء فلـما ¤ أصبحوا أصبحت لهم ضوضاء
من مناد ومن مجيب ومن تصـ ¤ ـهال خيل, خلال ذاك رغـاة
"Mereka menyepakati urusan mereka waktu Isya, tapi manakala pagi hari tiba
mereka ribut, hiruk pikuk"
"Ada yang memanggil-manggil, ada yang menjawab bergalau dengan suara-suara
ringkikan kuda diselingi dengan suara-suara unta"
Di antara perkataannya:
لايقيم العزيز بالبلد السهـ ¤ ـل ولا ينفع الذليل النجـاء
ليس ينجى موائلا من خذار ¤ رأس طود وحــرة رجـلاء
"Orang mulia tidak akan tinggal di negeri yang datar, orang lemah dan hina
tidak berguna, bagi orang cerdas akan berjalan cepat"
"Tidak akan selamat orang yang melarikan diri menjauhi puncak gunung dan
jalan berbatuan hitam walau dengan telapak kaki kuda yang tebal"
Di antara perkataannnya di luar mu'allaqat-nya adalah:
من حاكم بينـى وبيـ ¤ ـن الدهر مـال علـىّ عـمدا
أودى بسـادتن اوقـد ¤ تركوا لنا حلق اوجــردا
خيلى وفارسـها ورب ¤ م أبيك كـان أعز فقدا
فلو أن مـا يأوى إلــىّ ¤ م أصـاب من ثهـلان هدّا
فضـعى قـناعك إن ريـ ¤ ـب الدهر قد أفنــى معدّا
فلكم رأيت معـاشــرا ¤ قد جمّعوا مــالا وولـدا
وهم ربــاب حــائر ¤ لا يسمع الآذان رعــدا
فعشن بجـد لا يضـر ¤ ك النوك مــا لا قيـت جدا
والعـيش خير فى ظــلا ¤ ل النوك ممـن عاش كــدّا
"Barang siapa menghakimi di antara aku dengan sang masa, maka ia akan
memihakku secara sengaja"
"Tebusan telah tampak pada para pemimpinkami, dan mereka telah
meninggalkan pada kami senjata dan kuda"
"Kudaku dan penunggangnya dan ayahmu lebih banyak bersedih karena
kehilangan"
"Andaikan ada yang berlindung kepadaku, niscaya tak akan tertimpa gunung
Tsahlan yang runtuh"
"Maka tanggalkanlah kerudung penutup kepalamu, sesungguhnya bencana sang
waktu telah melenyapkan kaum Ma'ad"
"Pada kalian aku melihat sekelompok orang, mereka telah mengumpulkan harta
dan anak-anak"
"Mereka adalah gumpalan awan yang diam terpekur, yang tidak lagi
mendengarkan gelegar halilintar"
"Hiduplah kamu dengan terus bekerja keras, kebodohan itu tidak akan
membahayakan sepanjang kau mau terus bekerja keras"
"Lebih baik hidup di bawah naungan kebodohan, daripada hidup di bawah
himpitan kesengsaraan"
Di antara perkataannya yang lain adalah:
إن السعيد له فى غيره عظة ¤ وفى التجارب تحكيم ومعتبر
"Sesungguhnya orang yang bahagia, adalah orang yang memiliki pengajaran
bagi orang lain, dan di dalam berbagai pengalaman hidup terdapat kemampuan
mengadili dan memberi pelajaran
4. AL-A'SYA BIN AL-QAISI
Nasab Keluarga Dan Kabilah
Nama lengkap dari penyair ini adalah Maimun al-A'sya bin al-Qaisi bin Jundul
al-Qaisyi, dilahirkan di Manfuhah dikawasan Yumamah. Ia berasal dari kabilah
Bakar bin Wail yang menurut riwayat kabilah ini merupakan bagian dan kelompok
di Jazirah Timur yaitu lembah sungai Eufrat sampai Yamamah. Adapun keturunan
(bani) yang lebih dan banyak dikenal dari kabilah ini ialah bani Syaiban, bani
Yasykur, bani Jusyam, bani I'jul yang berada di lembah sungai Eufrat, bani
Hanifah, dan bani Qais bin Tsa'labah yang berada dikawasan Yamamah. Dari
bani-bani tersebut, bani Qais-lah yang lebih utama, yang secara turun-temurun
berlanjut kepada bani-bani lainnya. Salah satunya adalah bani Malik bin
Dubai'ah dari kerabat mereka yaitu bani Jahdar dan bani Sa'ad bin Dubai'ah,
dari bani-bani inilah yang kemudian merupakan asal usul (satu keturunan) dari
penyair al-A'sya bin al-Qais.
Nama al-A'sya merupakan julukan baginya, karena ia memiliki kadar penglihatan
yang lemah (rabun). Nama pada saat karier kepenyairannya meningkat, ia dijuluki
Abu Basir yang berarti orang yang mempunyai penglihatan. Konon ayahnya
mempunyai julukan "Orang yang mati kelaparan", karena pada suatu
ketika ayahnya memasuki sebuah goa hanya untuk berteduh di dalamnya dari cuaca
panas, tetapi malang baginya tiba-tiba sebuah batu besar jatuh dari atas gunung
dan menutupi mulut goa, yang menyebabkan ayahnya mati kelaparan di dalamnya.
Mengenai kejadian itu, juhunnam seorang penyair membuat sebuah puisi hija'
(sindiran) untuk ayahnya yaitu:
"Ayahmu Qais bin Jundul mati kelaparan, kemudian pamanmu itu disusui oleh
budak dari Khuma'ah".
Khuma'ah adalah tempat kelahiran ibu dari al-A'sya. Saudara kakeknya, Musayyub
bin ‘Alas mempunyai jasa yang besar dalam mengabadikan puisi al-A'sya.
Para ahli sastra Arab menganggapnya sebagai orang keempat setelah ketiga
penyair yang telah disebutkan di atas. Penyair ini ditakuti akan ketajaman
lidahnya, sebaliknya ia juga disenangi orang bila ia telah memuji seseorang,
dan orang itu seketika itu pula akan menjadi terkenal.
Puisi-puisi al-A'sya banyak menceritakan pengembaraannya ke sebagian daerah
jazirah Arab untuk memuji para pemimpin (kepala suku) dan para bangsawan.
Sehingga di dalam diwan-nya (kumpulan puisi), dia banyak memuji Aswad bin
Mundzir dan saundaranya yaitu Nu'man bin Mundzir dan Iyas bin Qubaisah. Dia
juga banyak membicarakan mengenai perdamaian antara salah seorang penguasa di
Yaman dengan bani Abdul Madin bin Diyan di Najran, dan penguasa yang bernama
Hauzah bin ‘Ala Sayid dari bani Hanifah, yang tidak diketahui latar belakang
mengenai perselisihan di antara ketiganya.
al-A'sya sering melakukan pengembaraan dan mengunjungi kawasan Hirah, Yaman,
dan Diyar (sebuah daerah berbukit di Yaman), dan Najran, begitu pula dengan
daerah Syam, Persia, dan Jerussalem. Khususnya di daerah Yaman, Nejed, dan
Hirah, ia memuji para pejabat teras di sana. Begitu pula dengan kepergiaannya
ke Diyar, ia mendapatkan hadiah sebagai balasan atas puisi-puisi yang telah
diucapkannya dengan indah kepada bani ‘Amr.
Louis seorang orientalis barat, menganggap bahwa penyair ini penganut Nasrani,
ia berpendapat dengan kesukaan al-A'sya dalam menyusun lagu-lagu rohani. Puisi
madah-nya banyak memuji para uskup Najran, dan kebanyakan bait-bait puisi-nya
berkaitan dengan orang-orang nasrani di Hirah. Namun, hal ini tidak dapat
dibenarkan, karena kepercayaan Nasrani telah lama dianut dan merupakan agama
nenek moyang. Sehingga setelah ia menerima ajaran ini, kebiasaan buruk dalam
melakukan perbuatan dosa dan kemaksiatan telah ada pada diri al-A'sya. Hal ini
dapat dilihat jelas dalam puisi-nya yang banyak menggambarkan kesenangannya
akan mabuk-mabukkan dan pencinta harta. Dan untuk meneliti lebih lanjut tentang
puisi al-A'sya dapat dilihat dalam kitab Sy'ir was Syuara' karya Ibnu
al-Qutaibah, kitab al-Jamhara, dan kitab al-Aghany karya al-Asfahany.
Puisi-Puisinya
Kumpulan puisi al-A'sya banyak diterbitkan oleh Jayir di London pada tahun
1928. Jayir menyalinnya dari Isykuriyal yang diambil dari Tsa'labah pada tahun
291 H. Sebagian dari puisi-nya juga diterbitkan oleh Daar al-Kutub, Mesir.
Jumlah kasidahnya tidak kurang dari 77 bait kasidah, ditambah lagi l15 kasidah
yang tidak diketahui asalnya, tetapi diyakini sebagai puisinya. Namun,
kemungkinan besar puisi pilihan itu dikumpulkan oleh Tsa'labah. Selanjutnya
Daar al-Kutub menemukan 40 bait kasidah al-A'sya yang diambil dari salinan di
kantor perwakilan Yaman. Hal ini diketahui dari kalimat pendahuluan oleh
penyusun diwan-nya.
Puisi-puisi al-A'sya memiliki ciri khas tersendiri, seperti pemakaian kasidah
yang panjang, sebagaimana yang terlihat dalam puisinya terdapat pemborosan
kata-kata. Puisinya banyak mengandung pujian, sindiran atau ejekan, kemegahan
atau kebesaran, kenikmatan khamr (arak), menggambarkan atau melukisakan
sesuatu, dan mengenai percintaan.
Tidak seperti penyair lainnya, dalam hal pengungkapan puisi madah, al-A'sya
hanya ingin berusaha mendapatkan pemberian atau hadiah, seperti dalam
pengembaraannya kesebagian jazirah Arab, yaitu untuk memuji para pemimpin dan
pejabat di sana. Pemberian atau hadiah itu dapat berupa unta, budak perempuan,
piring yang terbuat dari logam perak, atau pakaian yang terbuat dari kain
sutera yang bermotif lukisan.
Dalam puisi madah-nya banyak mengisahkan mengenai kemuliaan, keberanian,
kesetiaan, pertolongan terhadap kaum lemah, dan pujian terhadap tentara yang
berlaga di medan peperangan. Puisi madah-nya banyak mengandung
ungkapan-ungkapan yang dikeluarkan secara bebas (spontanitas). Oleh karena itu,
al-A'sya juga ditakuti akan ketajaman lidahnya, karena bila seseorang telah
mendapatkan pujian darinya, maka orang itu akan enjadi terkenal.
Dalam suatu riwayat, diceritakan bahwa di kota Mekkah ada seorang miskin yang
bernama Muhallik, orang itu mempunyai tiga orang puteri yang belum mempunyai
jodoh dikarenakan kemiskinan mereka. Pada suatu waktu, keluarga ini mendengar
kedatangan al-A'sya di Mekkah, maka isterinya meminta kepada suaminya untuk
mengundang al-A'sya ke rumahnya. Setelah al-A'sya datang ke rumah miskin itu,
maka isterinya memotong seekor unta untuk menjamu al-A'sya. Penyair ini sangat
heran dengan kedermawanan orang miskin ini. Ketika ia keluar dari rumah itu, ia
langsung pergi ke tempat orang-orang yang sedang berkumpul untuk mengabadikan
kedermawanan Muhallik dalam suatu bait puisinya yang sangat indah. Setelah ia
membacakan puisi itu, maka banyak orang yang datang meminang ketiga puteri
Muhallik. Adapun bait puisi yang diucapkan al-A'sya seperti dibawah ini[1]:
ارقت وما هذا السّهاد والمؤرّق ¤ وما بى من سقم وما بى تعشّق
لعمرى قد لاحت عيون كثيرة ¤ الى ضوء نار فى اليفاع تحرق
تشبّ لمقرورين يصطليانها ¤ وبات على النار الندى والمحلّق
رضيعى لبان ثدى أمّ تقاسما ¤ باسحم داج : عوض لا نتفرّق
ترى الجود يجرى ظاهرا فوق وجهه ¤ كما زان متن الهند وإنى رونق
يداه يدا صدق : فكفّ مبيدة ¤ وكفّ إذا ما ضنّ بالمال ينفق
"Aku tidak dapat tidur di malam hari, bukan karena sakit ataupun
cinta"
"Sungguh banyak mata yang melihat api yang menyala di atas bukit itu"
"Api itu dinyalakan untuk menghangatkan tubuh kedua orang yang sedang
kedinginan di malam itu, dan di tempat itulah Muhallik dan kedermawanannya
sedang bermalam"
"Di malam yang gelap itu keduanya saling berjanji untuk tetap
bersatu"
"Kamu lihat kedermawanan di wajahnya seperti pedang yang berkilauan"
"Kedua tangannya selalu benar, yang satu untuk membinasakan sedang yang
lain untuk berderma"
Di dalam suatu riwayat lain juga diceritakan bahwa ketika al-A'sya mendengar
diutusnya Nabi Muhammad Saw dan berita mengenai kedermawanannya, maka penyair
ini sengaja datang ke kota Mekkah dengan membawa suatu kasidah yang telah
dipersiapkan untuk memuji Nabi Muhammad Saw. Namun, sayang sekali maksud baik
ini dapat digagalkan oleh pemuka bangsa Quraisy.
Ketika Abu Sufyan mendengar kedatangan al-A'sya, Abu Sufyan langsung berkata
kepada para pemuka Quraisy: "Demi Tuhan, bila al-A'sya bertemu dengan
Muhammad dan memujinya, maka pasti dia akan mempengaruhi bangsa Arab untuk
mengikuti Muhammad. Karena itu, sebelum itu terjadi, kumpulkanlah seratus ekor
unta dan berikan kepadanya agar tidak pergi menemui Muhammad". Kemudian,
saran Abu Sufyan ini, dituruti oleh bangsa Quraisy, yang akhirnya al-A'sya
mengurungkan niatnya untuk bertemu dengan beliau. Adapun puisi yang telah
dipersiapkan olehnya untuk memuji Nabi Muhammad Saw. seperti dibawah ini[2]:
فآليت لا ارثى لها من كلالة ¤ ولا من حفى حتّى تلاقى محمدا
متى ما تناخى عند باب ابن هاشم ¤ تراخى وتلقى من فواضله ندى
نبىّ يرى ما لا يرون وذكره ¤ اغار (لعمرى) فى البلاد وانجدا
له صدقات ما تغب ونائل ¤ وليس عطاء اليوم يمنعه غدا
"Demi Allah, onta ini tidak akan aku kasihani dari keletihannya, dan dari
sakit kakinya sebelum dapat bertemu dengan Muhammad"
"Nanti jika kau telah sampai ke pintu Ibnu Hasyim, kau akan dapat
beristirahat dan akan mendapatkan pemberiannya yang berlimpah-limpah"
"Seorang Nabi yang dapat mengetahui sesuatu yang tak dapat dilihat oleh
mereka, dan namanya telah tersiar di seluruh negeri dan di daerah Nejed"
"Pemberiannya tidak akan terputus selamanya, dan pemberiaannya sekarang
tidak akan mencegah pemberiannya di hari esok"
5. THARAFAH BIN ABDUL BAKRI AL-WA'ILLI
Nasab Keluarga Dan Kabilah
Amru bin al-`Abd al-Bakri adalah salah seorang tokoh terkemuka pada zaman
Jahiliyyah, dan berumur pendek. Ia juga seorang penyair yang memiliki
puisi-puisi panjang dan indah, dan yang paling bagus dalam melukiskan unta
dalam puisinya. Ayahnya meninggal dunia ketika ia masih kecil, kemudian ia
diasuh oleh para pamannya. Ia cenderung melakukan hal-hal yang buruk, hidup
berfoya-foya, dan suka mengambil hak milik orang lain, sehingga keluarga dan
kaumnya mencercanya, bahkan Amru bin Hindun salah seorang raja Arab yang
memimpin kerajaan Hirah pun ikut mencercanya, meskipun ia mencari kebajikan dan
pemberian raja tersebut.
Sampailah berita kepada Amru bin Hindun tentang cercaan Tharafah kepadanya,
maka Amru bin Hindun pun membencinya. Ketika Tharafah datang kepadanya bersama
pamannya, al-Multamis, untuk meminta hadiah, sementara Amru bin Hindun telah
mendapat kabar tentang al-Multamis seperti kabar tentang Tharafah.
Akan tetapi, agar kebencian Amru bin Hindun tetap memperlihatkan sikap ceria
dan kesukaan mereka keduanya. untuk menenangkan mereka berdua dan memerintahkan
kepada masing-masing mereka diberi hadiah. Sang raja menulis surat untuk
masing-masing mereka yang ditujukan kepada Gubenur Bahrain untuk melaksanakan
isi surat itu. Ketika keduanya dalam perjalanan menuju Bahrain, al-Multamis
merasa curiga dengan surat itu, lalu ia menghentikan perjalanannya dan meminta
salah seorang budak untuk membacakan isi surat itu. Namun, Tharafah tidak mau
berhenti, ia terus melanjutkan perjalanannya. Setelah dibuka ternyata isi surat
itu adalah perintah kepada Gubenur Bahrain untuk membunuh mereka berdua.
Al-Multamis melemparkan surat itu dan bermaksud menyusul Tharafah, tetapi tidak
dapat tersusul, lalu ia melarikan diri dan meminta perlindungan kepada raja
Ghassan. Sementara itu, Tharafah terus melanjutkan perjalanannya untuk
menjumpai Gubenur Bahrain. Di sanalah ia terbunuh dalam usia sekitar dua puluh
lima tahun.
Puisi-Puisinya
Tharafah menciptakan puisi sejak ia masih kanak-kanak dan dia muncul dalam
bidang itu sehingga dalam usia belum mencapai dua puluh tahun ia sudah
terhitung sebagai tokoh penyair terkemuka. Puisi panjangnya yang melukiskan
unta uang terdiri dari 35 bait, merupakan puisi yang belum pernah ada seorang
penyair pun yang menciptakan puisi seperti itu sebelumnya. Mu'allaqat-nya
termasuk mu'allaqat yang paling indah, paling banyak memuat kata-kata unik,
sarat dengan makna, dan tepat dalam penempatan kata (diksi). Diriwayatkan pula
selain mu'allaqat, puisinya ada berbentuk lain, tetapi sangat sedikit bila
dibandingkan dengan populeritasnya. Kiranya hal ini menunjukkan kepada
kenyataan bahwa perawi itu tidak mengetahui lebih banyak mengenai puisinya atau
dengan kata lain mereka (para perawi) kehilangan jejak dari kebanyakan puisi
Tharafah.
Tharafah bagus sekali ketika memaparkan washf dalam puisinya, dengan singkat
dan menjelaskan hakekat dengan tujuan yang melampaui batas, terikat dalam
sebagian susunan kata dan lepas bebas dalam penjelasan kata dan makna yang
tersembunyi. Demikian pula puisi hija'-nya (cercaan) nadanya keras sekali. Bait
puisi mu'allaqat-nya adalah:
لخولة أطلال ببرقة ثهمد ¤ تلوح كباقى الوشم فى ظاهر اليد
"Untuk mengenang Khaulah ada reruntuhan di tanah berbatuan Tsahmada yang
menyembul bagai kulit mengeras di permukaan telapak tangan"
Di antara bait-bait puisinya yang paling indah adalah:
أرى الموت يعتام الكرام ويصطفى ¤ عقيلة مال الفاحش المتشدد
ألاى العيش كنـزا ناقصا كل ليلة ¤ وما تنقص الأيام والدهر ينفد
لعمرك إن الموت (ما أخطأ الفتى) ¤ لكالطول المرخى وثنياه باليد
متى ما يشأ يوما يقده لحتفه ¤ ومن يك فى حبل المنية ينقد
"Aku melihat sang maut memilih orang mulia sejati, juga memilih orang
mulia karena harta yang dia dapatkan melalui perbuatan jahat dan kejam"
"Aku lihat kehidupan adalah harta simpanan yang terus berkurang setiap
malam"
"Demi Tuhan pemberi usiamu, sungguh sang maut itu (tidak akan menerkam
pemuda) sungguh, dia bagaikan tali pengikat binatang yang salah satu ujungnya
di genggaman tangan"
"Di suatu hari, kapan saja dia mau, dia akan menyeretmu, barang siapa
dalam ikatan kematian, dia pasti akan mati"
Di antara bait-bait puisinya yang tersebar luas di tengah-tengah masyarakat
adalah:
وظلم ذوى القربى أشد مضاضة ¤ على المرء من وقع الحسام المهند
أرى الموت أعداد النفوس ولا أرى ¤ بعيدا غدا ما أقرب اليوم من غد
ستبدى لك الأيام ما كنت جاهلا ¤ ويأتيك بالأخبار من لم تزود
"Orang yang mendzalimi kerabat dekat lebih jahat daripada tusukan panah
beracun"
"Kulihat sang maut merenggut jiwa-jiwa dan esok hari tidak kulihat sebagai
saat yang jauh, betapa dekatnya hari ini dari hari esok"
"Hari-hari akan memperlihatkan kepadamu apa yang dulu kau tidak ketahuim,
akan datang kepadamu dengan membawa berbagai berita
قد يبعث الأمر الصغير كبيره ¤ حتى تظل له الدماء تصبب
"Kadang kala persoalan kecil tumbuh menjadi besar, hingga karenanya darah
pun terus mengucur"
Di antara puisi-puisi fakhr-nya adalah:
نحن فى المشتاة ندعو الجفلى ¤ لا ترى الآدب فينا ينتقر
حين قال الناس فى مجلسهم ¤ أقتار ذاك أم ريح قطر
بجفان تعترى نادينا ¤ من سديف حين هاج الصنبر
كالجوانى لاتنى مترعة ¤ لقرى الأضياف أو للمتحضر
ثم لا لا يخزن فينا لحمها ¤ إنما يخزن لحم المدخر
ولقد تعلم بكر أننا ¤ آفة الجزر مساميح يسر
ولقد تعلم بكر أننا ¤ فاضلو الرأى وفى الروع وقر
يكشفون الضر عن ذى ضرهم ¤ ويبرون على الآبى المبر
فضل أحلامهم عن جارهم ¤ رحب الأذرع بالخير أمر
ذلق فى غارة مسفوحة ¤ ولدى البأس حماة ما نفر
نمسك الخيل على مكروهها ¤ حين لا يمسكها إلا الصير
"Di musim paceklik, kami mengundang semua orang ke perjamuan, dan kamu
tidak akan melihat para pejamu dari kami memilih-milih orang yang
diundang"
"Di kala orang-orang berkata di tempat duduk mereka, apakah ini aroma
daging bakar atau harum kayu cendana?"
"Kami tahu dan anggota perkumpulan kami pada datang mengerumuni perapian
berminyak lemak kala dingin kian menusuk"
"Bagaikan telaga besar yang airnya terus mengalir untuk memuliakan para
tamu atau untuk orang-orang yang hadir bersama kami"
"Lalu daging-daging itu tidaklah kami simpan yang disimpan hanyalah daging
yang dikeringkan"
"Kabilah Bakr sungguh telah tahu bahwa kami mudah menyembelih kambing dan
mudah berderma"
"Kabilah Bakr sungguh telah bahwa kami mengutamakan akal, sehingga dalam
menghadapi bencana tidak terguncang"
"Kami dapat menyingkap bencana dari mereka yang dihimpit oleh kesulitan
dan kami mampu mengalahkan orang-orang yang sebelumnya tidak terkalahkan"
"Mimpi-mimpi mereka lebih unggul daripada tetangga mereka tangannya luas
dengan berbagai kebajikan"
"Bersegera menghunus pedang maju ke medan perang untuk menumpahkan darah,
menghadapi keganasan medan perang tetap tegar tidak melakukan desersi"
"Memegang teguh kendali kuda, walaupun kuda itu menjadi semakin liar, yang
mampu mengendalikannya saat itu hanyalah orang-orang yang tangguh"
6. ‘AMR BIN KULTSUM
Nasab Keluarga Dan Kabilah
Nama lengkapnya adalah Abu al-Aswad ‘Amr bin Kultsum bin Malik at-Taghlibi dari
kabilah Taghlib. Lahir dari kalangan keluarga bangsawan dan juga sangat ahli
dalam menunggang kuda. Penyair ini merupakan seorang tokoh Arab dan penyair
yang terkenal dengan puisinya yang tersendiri dan yang bagus sekali dalam puisi
fakhr-nya. Ibunya bernama Laila binti Muhalhil, saudara Kulaib.
Di dalam lingkungan kabilah Taghlib di Jazirah Euphrat, Amru tumbuh dan
berkembang sebagai sosok yang pemberani dan penuh semangat serta sebagai orator
yang memiliki sifat-sifat mulia. Dia telah menjadi pemimpin kaumnya dalam usia
lima belas tahun, dan memimpin pasukan perangnya yang selalu mendapatkan
kemenangan dalam berbagai peperangan mereka.
Kebanyakan kekacauan dan peperangan yang dihadapi kabilah Taghlib adalah peperangan
dalam menghadapi saudaranya sendiri, yaitu kabilah Bakr bin Wail yang
menyebabkan terjadinya peperangan sengit yang terkenal dengan al-Basus.
Perdamaian terakhir mereka adalah di tangan Amru bin Kultsum. Raja Hirah
terakhir dari keluarga al-Mundzir. Tidak selang beberapa lama setelah
perjanjian perdamaian terwujud, terjadilah perhelatan dan pesta besar di tempat
Amru bin Kultsum, yang dalam acara itu para penyair kabilah Bakr, yaitu
Al-Harist bin Hiliziah mendendangkan puisi terkenalnya.
Begitu selesai acara tersebut, tampaklah bagi Amru bin Kultsum bahwa Ibnu
Hindun mengincar kerajaan bersama kabilah Bakr. Amru bin Kultsum pun pulang
dengan hati penuh kecurigaan. Kemudian terbetiklah dalam hati Ibnu Hindun untuk
memecah belah kekuatan kabilah Taghlib dengan menghinakan pemimpinnya, yaitu
Amru bin Kultsum. Kemudian Ibnu Hindun mengundang Amru bin Kultsum dan ibunya,
Laila binti Muhalhil, dan mengelabui ibunya untuk membantunya dalam
menyelesaikan salah satu urusannya. Laila berteriak: "Oh, alangkah hinanya!".
Teriakan ibunya itu membuat Amru bin Kultsum marah dan seketika itu juga ia
membunuh Ibnu Hindun di Majelis pertemuannya. Selanjutnya Amru bin Kultsum
segera pergi, kembali ke negerinya di al-Jazirah, dan menyusun mu'allaqat-nya,
yang bait awalnya berbunyi:
ألا هبى بصحتك فاصبحينا ¤ ولا تبقى خمور الأندرينا
"Ingatlah, hidangkan gelas anggurmu, kita minum di pagi hari ini dan tidak
menyisakan sedikit pun khamr (arak) buatan Andarina"
Dalam mu'allaqat-nya ia melukiskan peristiwa mengenai dirinya dengan Ibnu
Hindun, ia membanggakan pertempuran-pertempuran kaumnya dan
peperangan-peperangan mereka yang terkenal. Ia juga berorasi di pasar Ukadz dan
pasar-pasar lainnya. Anak keturunan Taghlib banyak yang menghafal puisinya dan
banyak orang yang meriwayatkannya. Amru bin Kultsum meninggal dunia sekitar
setengah abad sebelum lahirnya Islam.
Puisi-Puisinya
Amru bin Kultsum termasuk orang besar, bangsawan, dan pahlawan bangsa Arab
Jahiliyyah yang lebih disibukkan dengan tugas-tugasnya sebagai pemimpin dan
terjun di medan peperangan daripada berkonsentrasi untuk berpuisi dan membuka
pintu-pintunya seperti kebiasaan para penyair yang menjadikan puisi-puisi
mereka sebagai profesi dan bisnis dalam mencari kekayaan. Oleh karena itu, Amru
bin Kultsum tidak terkenal kecuali dengan satu mu'allaqat-nya, yang menduduki
posisi sebagai puisi yang memenuhi persyaratan, karena kata-katanya indah,
komposisi ungkapannya begitu rapi, maknanya jelas, stil bahasanya mempesona,
dan kebanggannya tinggi dan tujunnya agung. Andaikan di dalam puisinya ia tidak
membanggakan dan tidak menyebut-nyebut warisan peninggalan kaumnya, puisinya
tidak akan diingat orang.
Di riwayatkan juga puisi-puisi muqaththa'at (puisi-puisi pendek)-nya yang
tujuannya tidak jauh berbeda dengan tujuan-tujuan mu'allaqat-nya. Kiranya
populeritasnya dengan orasi tidaklah kurang dari populeritasnya dengan puisi.
Di antara puisi fakhr-nya yang tinggi dalam mu'allaqat-nya adalah:
وقد علم القبائل من معد ¤ إذا قبب بأبطحها بنينا
بأن المطعمون إذا قدرنا ¤ وأنا المهلكون إذا ابتلينا
وأنا المانعون لما أردنا ¤ وأنا النازلون بحيث شينا
وأنا التاركون إذا سخطنا ¤ وأنا الآخذون إذا رضينا
ونشرب إن وردنا الماء صفوا ¤ ويشرب غيرنا كدرا وطينا
إذا ما الملك سام الناس خسفا ¤ أبينا أن نقر الذل فينا
لنا الدنيا ومن أمسى عليها ¤ ونبطش حين نبطش قادرينا
بغاة ظالمين وما ظلمنا ¤ ولكنا سنبدأ ظالمينا
ملأنا البرّ حتى ضاق عنا ¤ ونحن البحر نملؤه سفينا
إذا بلغ الرضيع لنا فطاما ¤ تخر له الجبابر ساجدينا
"Kabilah-kabilah telah mengetahui siapa yang berbahagia, jika berkemah di
dataran luas kami pun membangun perkemahan"
"Bahwa kami adalah orang-orang yang bisa makan, bila kami mampu
mendapatkan makanan"
"Dan kami adalah orang-orang yang porak-poranda, bila kami tak henti
dihantam bencana"
"Kami adalah orang-orang yang mampu menahan diri, tidak sembarangan menggapai
apa yang kami kehendaki, dan kami adalah orang-orang yang tinggal dimana kami
suka,
"Dan kami adalah orang-orang yang meninggalkan sesuatu bila kami tidak
suka, dan kami adalah orang-orang yang mengambil bila kami memang suka"
"Kami minum bila menemukan sumber air yang jernih, sedangkan selain kami
mau minum dari air yang keruh bercampur tanah"
"Jika seorang raja mengungguli manusia dengan perbuatan rendah, maka kami
akan menolak dan tidak membiarkan diri kami berbuat rendah"
"Kami memiliki dunia dengan semua orang yang berada di atasnya, kami
berkuasa ketika kami mampu menguasai"
"Orang-orang dzalim berbuat kejam dan kami tidak mau mendzalimi, tetapi
kami akan mulai melawan orang-orang yang mendzalimi kami"
"Kami telah memenuhi daratan sehingga kami merasa sesak terjepit, dan kami
memenuhi lautan dengan perahu-perahu kami"
"Bila bayi di kalangan kami mencapi usia dipisah dari menyusuinya,
orang-orang perkasa pilihan pada tersungkur bersujud padanya"
Amru bin Kultsum berkata mengancam Amru bin Hujr al-Ghassani:
ألا فاعلم (أبيت اللعن) أنا ¤ على عمد سنأتى ما نريد
تعلم أن محملنا ثقيل ¤ وأن ذياد كبتنا شديد
وأنا ليس حتى من معد ¤ يوازننا إذا لبس الحديد
"Ingatlah dan ketahuilah (kau tak akan mau melakukan sesuatu perbuatan
yang membuat kau dikutuk orang) dan sesungguhnya kami, kapan pun kami mau akan
sengaja datang"
"Kau tahu bahwa pelana kami sangatlah berat, dan serangan pasukan kami
sangatlah kuat"
"Dan bahwasanya kami tidak hidup dari persiapan yang kami pertimbangkan
bila baju besi dikenakan"
Amr bin Kultsum berkata dalam puisinya di bawah ini[1]:
بأيّ مشيئة عمرو بن هند ¤ نكون لقيل لقيلكم فيها قطينا
بأيّ مشيئة عمرو بن هند ¤ تطيع بنا الوشاة وتزدرينا
"Wahai Amr bin Hindin, mana mungkin kami mau menjadi pelayan para
pembantumu"
"Wahai Amr bin Hindin, mana mungkin kami mau taat kepada orang-orang hina,
dan engkau sendiri telah mengetahui siapa kami"
Puisi di atas diucapkan oleh Amr bin Kultsum kepada Amr bin Hindin, seorang
raja yang zalim dan sombong. Ia menghina ibu amr bin Kultsum dengan menjadikan
ibunya sebagai pelayan ibu Amr bin Hindin, sehingga Amr bin Kultsum marah dan
membunuhnya dengan sebilah pedang. Dalam puisinya di bawah ini[2]:
إذا بلغ الفطام لنا صبيّ ¤ تخرّ له الجبابر ساجدينا
"Apabila anak kita sudah sampai waktu penyapihan (berhenti menyusu), maka
orang-orang besar dan sombong akan tunduk sujud kepadanya"
7. ANTARAH BIN SYADDAD AL-ABSI
Nasab Keluarga Dan Kabilah
Penyair ini dilahirkan dari ayah seorang bangsawan Absi dan ibu dari kalangan
budak Habsyi. Ia mewarisi kulit hitam dari ibunya, sehingga orang mengira ia
bukan berdarah Arab, bibirnya terbelah (memble) seperti ibunya, sehingga orang
sering memanggilnya dengan julukan Antarah al-Falha'u yaitu "Antarah si
bibir memble". Dalam adat-istiadat Jahiliyyah, anak yang terlahir dari ibu
seorang budak, tidak akan mendapatkan pengakuan dari sang ayah, kecuali dia
dapat memiliki sifat mulia berupa kedermawanan dan keberanian. Oleh karena itu,
ayah penyair ini tidak mau mengakuinya sebagai anak kandung, bahkan
menganggapnya sebagai seorang budak yang dapat disuruh untuk mengembala ternak.
Perlakuan ayahnya itu, telah membuat hati penyair ini sangat tertekan. Bahkan
pamannya sendiri telah ikut menghalangi puteri yang bernama Ablah untuk
bercinta dengannya, sebab pamannya menganggap bahwa tidaklah pantas mengawinkan
puterinya dengan seorang anak budak.
Tekanan-tekanan psikologis itu telah membuatnya keras terhadap semua orang,
bahkan terhadap ayahnya sendiri. Kebenciaannya terhadap sang ayah, terlihat
ketika ayahnya memerintahkannya untuk berperang melawan musuh yang datang
menyerbu, mendengar ajakan ayahnya itu, ia berkata[1]:
"Sesungguhnya seorang budak tidaklah layak untuk berperang, tetapi hanya
layak untuk menjaga ternah dan memerah susu saja".
Ucapan Antarah tersebut dirasakan oleh ayahnya sebagai penderitaan batin
seorang anak, maka setelah mendengar ucapannya itu, akhirnya sang ayah
mengakuinya sebagai anak, dengan berkata: "Berperanglah kamu, karena
sesungguhnya kamu adalah seorang yang merdeka (bukan lagi seorang budak)".
Dan sejak saat itu nama nasab orang tuanya selalu diikutkan dengan nama asli
penyair ini. Dan sejak itu pula nama penyair ini selalu disebut orang dalam
segala macam pertempuran.
Keberanian Antarah mengilhami keberanian orang Arab dalam berperang di dalam
maupun di luar jazirah Arab, seperti ketika melawan Romawi, Ethopia, Iran,
Perancis, Afrika Utara, dan Andalus melawan tentara Salib. Bahkan dengan
namanya yang agak terdengar angker, penyair ini lebih dikenal sebagai seorang
pahlawan yang amat ditakuti oleh lawan-lawannya. Sehingga pribadi penyair ini,
kelak pada masa Daulat Fatimiyyah, sering diagungkan dengan penulisan kisah
kepahlawanan yang dinisbatkan kepada pribadi penyair ini.
Puisi-Puisinya
Pada mulanya penyair ini tidak terkenal sebagai penayir ulung, tetapi untungnya
sejak muda penyair ini telah menyimpan bakat untuk berpuisi. Dan bakat inilah
yang mendorong untuk meningkatkan prestasinya dalam berpuisi. Kebanyakan
puisinya dikumpulkan dalam mu'allaqadnya yang sangat panjang.
Adapun penyebab yang mendorongnya untuk mencipatakan mu'allaqadnya adalah bahwa
pada suatu hari penyair ini diejek orang di majelis ayahnya setelah diakuinya
sebagai anak oleh ayahnya, di mana ia diejek dari keturunan ibunya yang
merupakan seorang budak, sehingga membuatnya marah dan berkata:
"إنى لاحضر البأس واوفى المغنم واعفّ عند المسئلة واجود بما ملكت يدى وأفصّل
الخطة والصّماء, قال له الرجل : "أنا أشعر منك" قال: "ستعلم
ذلك"
"Aku adalah seorang yang gemar menghadiri pertempuran, aku adalah orang
yang paling adil, dan aku tidak pernah meminta dan aku selalu dermawan dengan
yang kumiliki dan aku adalah pembuka jalan buntu. Orang yang menejeknya
berkata: "Aku lebih fasih dalam berpuisi daripada kamu". Lalu Antarah
berkata: "Akan kamu lihat kelak kefasihanku!"
Sejak saat itu, Antarah mulai merangkum kasidah mu'allaqadnya yang mengisahkan
percintaan dengan kekasihnya yang bernama Ablah. Selain itu, ia juga
mengisahkan tentang keberanian dan keagungan dirinya dalam medan pertempuran.
Para ahli sastra Arab menggolongkan puisi Antarah ke dalam kelas tertinggi
dalam menggambarkan dan mensifati segala kejadian yang dialaminya. Dalam salah
sati bait puisinya, penyair ini menerangkan kepada kekasihnya bahwa ia adalah
seorang yang baik bila ia tidak diganggu dan dirampas miliknya. Akan tetapi,
jika ia diganggu, maka ia akan membalas perbuatan orang itu dengan kekerasan
yang dapat dijadikan pelajaran selama hidup orang yang menggangunya. Seperti
contoh di bawah ini[2]:
اثنى عليّ بما علمت فإننى ¤ سمح مخالفتى اذا لم اظلم
واذا أظلمت فإنى ظلمى باسل ¤ مرّ مذاقته كطعم العلقم
"Pujilah aku (wahai kekasihku) dari apa yang kamu ketahui dari kelakuan
baikku. Sesungguhnya aku adalah seorang yang lemah lembut bila tidak dizalimi
oleh siapa pun"
"Namun, jika aku dizalimi oleh seseorang, maka aku akan membalasnya dengan
balasan yang lebih keras dari kezalimannya"
Selain itu penyair ini mempunyai sifat dermawan kepada siapa pun, karena sifat
inilah yang paling disukai oleh bangsa Arab dan selalu dibanggakan. Dalam hal
ini penyair ini menyebutkan bahwa dirinya adalah seorang yang sangat dermawan
dan suka menolong orang lain walaupun itu dalam keadaan yang tidak sadar,
seperti dalam keadaan mabuk, yang mana biasanya dalam keadaan seperti itu tidak
mungkin seorang akan berlaku baik ataupun berderma. Namun, penyair ini masih
tetap bisa melakukan kebaikan dan berderma walaupun dalam keadaan mabuk, hal
itu dapat dilihat dari bait puisinya di bawah ini[3]:
فإذا شربت فإننى مستهلك ¤ مالى وعرضى وافر لم يكلم
وإذا صحوت فما أقصّر عن ندى ¤ وكما علمت شمائلى وتكرّمى
"Jika aku sedang minum arak, maka aku akan menghabiskan seluruh hartaku
untuk menjamu kawan-kawanku, dan hal itu tidak akan merusak kehormatanku"
"Dan jika aku telah sadar dari mabukku, maka aku akan menghamburkan
hartaku untuk berderma, sebagaimana telah kamu ketahui akan budi perkerti
baikku ini (berbanggalah wahai kekasihku dengan segala budi pekertiku seperti
ini)"
Antarah selain terkenal sebagai penyair ulung, juga terkenal sebagai seorang
pahlawan yang gagah berani di medan peperangan. Gambaran akan kegagahannya dalam
berperang dapat dilihat dalam bait puisi di bawah ini[4]:
هلاّ سألت الخيل ياابنة ملك ¤ إن كنت جاهلة بما لم تعلمى
إذ لا أزال على رحالة سابح ¤ نهد تعاوره الكماة مكلّم
طورا يجرّد للطّعان وتارة ¤ يأوى إلى حصد القسىّ عرمرم
يخبرك من شهد الوقيعة أنّنى ¤ اغشى الوغى واعفّ عند المغنم
ومدجّج كره الكماة نزاله ¤ لا ممعن هربا ولا مستسلم
جادت له كفّى بعاجل طعنة ¤ بمثقّف صدق الكعوب مقوّم
فشككت بالرّمح الأصمّ ثيابه ¤ ليس الكريم على القنا بمحرّم
فتركته جزر السّباع ينشنه ¤ يقضمن حسن بنائه والمعصم
"Wahai puteri Malik, tidakkah engkau tanyakan kepada ksatria itu tentang
diriku di medan peperangan, jika engkau tidak tahu?"
"Tidakkah engkau tanyakan kepada ksatria itu tentang diriku ketika aku
sedang berada di atas kuda yang dilukai oleh musuh?"
"Ada kalanya aku bawa kuda itu untuk menyerang musuh, namun adakalanya aku
membawa kudaku untuk bergabung dengan pasukan yang banyak"
"Jika kamu bertanya tentang diriku pada orang yang hadir dalam peperangan
itu, maka mereka akan memberitahukan kepadamu bahwa aku adalah orang yang selalu
maju (berada di depan) dalam setiap peperangan dan aku orang yang tidak tamak
dalam pembagian rampasan perang"
"Adakalanya ada ksatria yang berani dan sangat ditakuti oleh musuhnya dan
tidak mau menyerah"
"Namun tanganku buru-buru menerkamnya dengan tusukan tombak yang
kuat"
"Dan ketika ksatria itu aku tusuk dengan tombak yang keras, yang dapat
menembus baju jirahnya. Dan orang bangsawan pun tidak mustahil untuk
terbunuh"
"Setelah ksatria itu terbunuh, maka aku tinggalkan begitu saja agar
menjadi santapan binatang buas yang akan menghancurkan jari tangan dan
lengannya yang bagus itu"
Sebenarnya kita masih dapat mengikuti puisinya yang menerangkan keagungan
pribadi penyair ini, untuk itu dapat kita lihat dalam kasidah al-Mu'allaqat-nya
yang panjang.
8. ZUHAIR BIN ABI SULMA
Nasab Keluarga Dan Kabilah
Nama lengkapnya adalah Zuhair bin Abi Sulma bin Rabi'ah bin Rayyah al-Muzani.
Ayahnya bernama Rabi'ah yang berasal dari kabilah Muzainah. Pada zaman
Jahiliyyah kabilah ini hidup berdekatan dengan kabilah bani Abdullah
Ghatafaniyyah yang menghuni di daerah Hajir, Nejed, sebelah timur kota Madinah.
Kabilah ini juga bertetangga dengan kabilah Bani Murrah bin Auf bin Saad bin
Zubyan. Ia adalah salah seorang dari tiga serangkai dari penyair Jahiliyyah
setelah Umru al-Qais dan An-Nabighah az-Zibyani. Penyair ini amat terkenal
karena kesopanan kata-kata puisinya. Pemikirannya banyak mengandung hikmah dan
nasehat. Sehingga banyak orang yang menjadikan puisi-puisinya itu sebagai
contoh hikmah dan nasehat yang bijaksana.
Rabi'ah bersama isteri dan anak-anaknya tinggal dalam lingkungan kabilah Bani
Murrah (kabilah Zubyan) dan kabilah Bani Abdullah Ghatafaniyyah. Setelah
ayahnya meninggal, ibunya menikah lagi dengan Aus bin Hujr, seorang penyair
terkenal dari Bani Tamim. Sementara Zuhair dan saudara-saudaranya, Sulma dan
al-Khansa`, diasuh oleh Basyamah bin al-Ghadir, paman mereka yang juga seorang
penyair. Dengan demikian Zuhair adalah keturunan kabilah Muzainah yang
dibesarkan di tengah-tengah kabilah Bani Ghatafaniyyah.
Dibesarkan Dalam Lingkungan Penyair
Zuhair dibesarkan dalam keluarga penyair dan sejak kecil ia belajar puisi dari
pamannya sendiri yang bernama Basyamah bin al-Ghadir dan Aus bin Hujur.
Basyamah termasuk tokoh Arab Jahiliyyah yang terhormat, kaya-raya, dan sangat
dihormati oleh kaumnya. Di samping sebagai penyair, Basyamah juga seorang yang
cerdas dan memiliki pendirian yang lurus, dia menjadi tempat bertanya kaumnya
dalam menghadapi berbagai persoalan. Ketika ia meninggal dunia, seluruh
hartanya diwariskan kepada keluarganya termasuk kepada Zuhair. Disamping
mendapatkan harta warisan, Zuhair juga mendapatkan warisan kemampuan berpuisi
dan kemuliaan akhlak yang diajarkan Basyamah.
Zuhair bin Abi Sulma, tumbuh dan besar dalam lingkungan keluarga penyair. Rabi'ah
ayahnya, Aus bin Hujr ayah tirinya, dan Basyamah pamannya, mereka ada para
penyair, dan saudaranya Sulma dan al-Khansa`, mereka berdua juga penyair. Oleh
karena itulah ia sudah terkenal pandai berpuisi sejak kecil. Selain terkenal
akan bakat puisi yang dimilikinya sejak kecil, ia juga disenangi oleh seluruh
kaumnya akan budi pekertinya yang luhur, sehingga setiap pendapat yang
dikeluarkannya selalu diterima baik oleh kaumnya.
Zuhair menikah dengan dua orang wanita, pertama dengan Ummu Aufa, yang banyak
disebut-sebut dalam puisinya, termasuk dalam mu'allaqat-nya. Kehidupan rumah
tangganya bersama Ummu Aufa kurang bahagia, dan itu terjadi setelah Ummu Aufa
melahirkan anak-anaknya yang kesemuanya meninggal dunia, lalu ia pun
menceraikannya. Setelah itu ia menikah lagi dengan Kabsyah binti ‘Amr
al-Ghatafaniyyah, dan dari isteri keduanya ini lahirlah putera-puteranya, yaitu
Ka'ab, Bujair, dan Salim. Salim meninggal dunia ketika Zuhair masih hidup,
sehingga banyak dari puisinya yang menggambarkan ratapannya terhadap kematian
anaknya itu. Sedangkan Ka'ab dan Bujair, keduanya hidup sampai datangnya masa
Islam, dan mereka berdua masuk Islam dan juga menjadi penyair yang terkenal.
Hidup Dalam Situasi Peperangan
Zuhair hidup dalam masa terjadinya peperangan yang berlarut-larut selama 40
tahun antara kabilah Abbas dan Bani Dzubyan, yang terkenal dengan peperangan
Dahis dan Gabra'. Dalam peristiwa perang ini, ia pun turut ambil bagian dalam
usaha mendamaikan dua suku yang sedang berperang tersebut. Dalam usaha perdamaian
itu, ia mengajurkan kepada para pemuka bangsa Arab untuk mengumpulkan dana guna
membeli tiga ribu ekor unta untuk membayar tebusan yang dituntut oleh salah
satu dari kedua suku yang sedang berperang itu. adapun yang sanggup menanggung
keuangan itu adalah dua orang pemuka bangsa Arab yang bernama Haram bin Sinan
dan Harits bin Auf. Sehingga berkat usaha kedua orang ini, peperangan yang
telah terjadi selama 40 tahun dapat dihentikan. Untuk mengingat kejadian yang
amat penting itu, Zuhair mengabadikan dalam salah satu puisi muallaqat-nya,
seperti di bawah ini[1]:
فاقسمت بالبيت الذى طاف حوله ¤ رجال بنوه من قريش وجرهم
يمينا لنعم السيّـــدان وجـدتما ¤ على كل حال من سحيل ومبرم
تداركتما عبسا وذبيان بعدمــا ¤ تفانوا ودقوا بينهم عطر منشم
وقد قلتما إن ندرك السلم واسعا ¤ بمال ومعروف من القول نسلم
فاصبحتما منها على خير موطن ¤ بعيدين فيها من عقوق ومأثـم
عظيمين فى عليا معدّ هديتمـا ¤ ومن يستبح كنـزا من المجد يعظم
"Aku bersumpah dengan Ka'bah yang ditawafi oleh anak cucu Quraisy dan
Jurhum".
Aku bersumpah, bahwa kedua orang (yang telah menginfakkan uangnya untuk
perdamaian itu) adalah benar-benar pemuka yang mulia, baik bagi orang yang
lemah, maupun bagi orang yang perkasa".
"Sesungguhnya mereka berdua telah dapat kesempatan untuk menghentikan
pertumpahan darah antara bani Absin dan Dhubyan, setelah saling berperang
diantara mereka".
"Sesungguhnya mereka bedua telah berkata: "Jika mungkin perdamaian
itu dapat diperoleh dengan uang banyak dan perkataan yang baik, maka kami pun
juga bersedia untuk berdamai".
"Sehingga dalam hal ini kamu berdua adalah termasuk orang yang paling
mulia, yang dapat menjauhkan kedua suku itu dari permusuhan dan
kemusnahan".
"Kamu berdua telah berhasil mendapatkan perdamaian, walaupun kamu berdua
dari kelurga yang mulia, semoga kalian berdua mendapatkan hidayah, dan barang
siapa yang mengorbankan kehormatannya pasti dia akan mulia"
Kemunculan Zuhair Sebagai Penyair
Kemunculan Zuhair sebagai penyair tidak lepas dari pengaruh guru-guru utamanya,
yaitu Rabi'ah ayahnya, Aus ibn Hujr ayah tirinya, dan Bisyamah pamannya. Dari
ketiga penyair itulah Zuhair didikkan dalam menciptakan puisi. Dia juga
meriwayatkan puisi-puisi dari ketiga penyair tersebut. Sebagai seorang yang
dibesarkan dalam lingkungan keluarga penyair, Zuhair pun kemudian
mendedikasikan hidupnya untuk puisi. Dia menciptakan puisi dan mengajarkan
penciptaan puisi kepada orang lain, terutama kepada kedua putranya Ka'ab dan
Bujair. Di antara penyair yang kemudian muncul dari hasil didikkannya, selain
kedua putranya adalah al-Khutaiyyah (Syauqi Dlaif, 1960:303).
Kalangan para perawi puisi menyatakan bahwa Zuhair lambat dalam menciptakan
puisi. Hal itu dikarenakan dalam menciptakan puisi dia menempuh
langkah-langkah: penggagasan, pngolahan, dan penyeleksian (penyuntingan),
sebelum kemudia puisi tersebut dipublikasikan (dibacakan dihadapan khalayak
ramai). Oleh karena itulah kepadanya disandarkan kisah proses penciptaan puisi
hauliyaat[2]. Hal itu dapat dilihat pula Ka'ab dan Al-khutaiyyah yang mengikuti
alirannya (Taha Husein, 1936: 284).
Keistimewaan karyanya terletak pada kekuatan bahasa dan susunan kata-katanya,
banyak terdapat kata-kata asing (sulit) dalam puisinya, dia berupaya untuk
mencari hakekat makna asli untuk mengeluarkannya pada konkrisitas materi yang
sebenarnya. Dengan kekuatan akal dan wawasannya dalam penggambaran-penggambaran
dan imajinasinya. Pada umumnya, apa yang diungkapkannya tidaklah jauh dari
hakekat realitas yang konkret. Zuhair juga termasuk penyair masa Jahiliyyah
yang terkenal dalam pengungkapan kata-kata hikmah dan pribahasa. Dalam
kehidupannya ia terkenal dengan konsistensi dan kecerdasannya. Pendapatnya
sesuai dengan kehidupannya. Posisi kesusastraannya, menurut kebanyakan para
kritikus sastra Arab, dibangun atas hikmah dan kata-kata bijak yang dikenal
pada masanya (Karum al-Bustani, 1953:6).
Kepercayaan Hanief
Pada umumnya, masyarakat Arab masa Jahiliyyah adalah penganut kepercayaan
berhala. Meskipun demikian, Zuhair bin Abi Sulma termasuk penyair Arab
Jahiliyyah yang percaya akan adanya hari Kiamat, adanya Hisab (perhitungan amal
perbuatan), dan adanya siksaan serta balasan. Penyair ini memang tidak sempat
merasakan masa ketika diutusannya Nabi Muhammad Saw. Akan tetapi, penyair ini
sudah percaya akan datangnya hari Kiamat dan hari pembalasan. Seperti terlihat
pada bait puisinya dibawah ini[3]:
فلا تكتمنّ الله ما فى نفوسكم ¤ ليخفى ومهما يكتم الله يعلم
يؤخر فيوضع فى كتاب فيدخر ¤ ليوم الحساب أو يعجل فينقم
"Janganlah sekali-kali kalian menyembunyikan kepada Allah (penghianatan
dan pelanggaran atas sumpah kalian) dalam hati kalian dengan tujuan untuk
menyembunyikannya, tetapi ingatlah!! Walau kalaian sembunyikan, Allah maha
mengetahui".
"Ditangguhkan, lalu dicatat dalam buku amal dan disimpan untuk kemudian
diungkapkan di hari perhitungan, atau disegerakan pembalasannya dalam kehidupan
dunia ini".
Jika benar bait-bait puisi di atas dinisbatkan kepada Zuhair bin Abi Sulma,
maka hal itu dapat dijadikan petunjuk bahwa dia termasuk salah seoorang penyair
masa Jahiliyyah yang mempunyai kepercayaan yang hanief (lurus), dan kepercayaan
keberhalaannya diragukan. Bahkan ada yang berpendapat bahwa dia termasuk
golongan orang-orang yang mengharamkan khamr (arak atau minuman keras), mabuk,
dan mengundi nasib dengan panah (Syauqi Dhoif, 1960:303). Zuhair berumur
panjang dan meninggal sekitar setahun sebelum Nabi Muhammad Saw diangkat
menjadi Rasul.
Puisi-Puisinya
Kumpulan puisi Zuhair telah diterbitkan bersama kumpulan-kumpulan puisi dari
lima penyair terkenal lainnya, yaitu Umru al-Qais, an-Nabighah, Tharafah,
Antarah, dan al-Qamah. Kumpulan puisi yang lain diterbitkan pada tahun 1889
dalam bentuk serial yang berjudul "Tharafa Arabiyyah", kemudian
dicetak ulang di Mesir dan di kota-kota lain yang diusahakan oleh Musthafa
Saqa.
Ada dua sumber mengenai kumpulan puisi Zuhair, Pertama, berasal dari ulama
Basrah yang mengatakan bahwa ada 18 kasidah, sebagaimana ada komentar yang
berbunyi: "Mencakup semua kasidah Zuhair yang sampai pada kita atas dasar
riwayat yang ada". Adapun sumber kedua, berasal dari ulama Kufah yang
mengatakan bahwa ada tambahan sepuluh kasidah, tetapi bahwa tambahan itu adalah
ulah tangan orang lain.
Para ahli sastra Arab berpendapat bahwa puisi Zuhair bin Abi Sulma termasuk ke
dalam katagori yang tinggi, dan hampir dapat disamakan dengan puisi Umru
al-Qais dan An-Nabighah az-Zibyani. Dalam hal itu mereka beralasan bahwa Zuhair
memiliki keistimewaan-keistimewaan sebagai berikut:
1. Ijaz-nya bagus dan suka membuang tambahan pembicaraan serta kata-kata yang
kurang dipelukan, sehingga ia menciptakan sedikit kata banyak makna, seperti
dalam kata-katanya di bawah ini:
فما يك من خير أتوه فإنما ¤ توارثه آباء آبائهم قبل
"Tak ada kebaikan yang mereka persembahkan. Sesungguhnya kebaikan yang
mereka miliki hanyalah warisan dari nenek moyang mereka sebelumnya"
2. Madah-nya bagus dan menjauhi kedustaan di dalamnya. Dia tidak memuji
seseorang melainkan karena akhlaknya dan sifat-sifat terpuji yang diketahuinya,
seperti dalam kata-katanya di bawah ini:
على مكثريهم رزق من يعتريهم ¤ وعند المقلين السماحة والبذل
"Terhadap mereka yang banyak hartanya ia sediakan pemberian untuk
orang-orang yang meminjam dari mereka. Pada orang yang berkurangan, ia sangat
bertoleran dan memberi bantuan"
3. Kata-katanya jauh dari ta'qid (komplikasi) kata dan makna, serta jauh dari
pembicaraan yang tidak perlu dan asing (sulit dicari maknanya), seperti dalam
kata-katanya di bawah ini:
ولو أن حمدا يخلد الناس أخلدوا ¤ ولكن حمد الناس ليس بمخلد
"Jika pujian dapat membuat seseorang menjadi abadi, mereka pun pasti akan
abadi. Tetapi, pujian orang-orang tidak akan bisa membuatnya abadi"
4. Puisinya sedikit sekali mengandung kata-kata yang buruk. Oleh karena itu,
puisi-puisinya bersih dan sedikit sekali adanya cercaan di dalamnya. Pernah
suatu kali, ia mencerca suatu kaum, namun ia sedih dan menyesali apa yang telah
diperbuatnya.
5. Banyak mengungkapkan amtsal (pribahasa) dan kata-kata hikmah, sehingga
penyair ini dianggap sebagai orang yang pertama dalam menciptakan kata-kata
hikmah dalam puisi Arab, yang kelak akan diikuti oleh penyair lainnya, seperti
Shalih bin Abdul Kudus, Abu al-Atahiyah, Abu Tamam, al-Mutanabby, dan Abu
al-Ala' al-Ma'ary dari kalangan Arab peranakan (al-Muwalidin). Di antara
kata-katanya yang berisikan amtsal dan kata hikmah seperti terdapat di bawah
ini:
وأعلم ما فى اليوم والأمس قبله ¤ ولكنى عن علم ما فى غد عم
ومن يجعل المعروف من دون عرضه ¤ يفره ومن لا يتق الشتم يشتم
ومن يك ذا فضل فيـبخل بفضله ¤ على قومه يستغن عنه ويذمم
ومن يوف لايذمم ومن يهد قلبه ¤ إلى مطمئن البر لا يتجمجم
رأيت المنايا خبط عشواء من تصب ¤ تمته ومن تخطئ يعمّر فيهرم
ومن هاب اسباب المنايا ينلنه ¤ وإن يرق اسباب السماء بسلّم
ومن يجعل المعروف فى غير أهله ¤ يكن حمده ذماّ عليه ويندم
"Aku dapat mengetahui segala yang terjadi pada hari ini dan kemarin,
tetapi aku tetap tidak akan tahu apa yang akan terjadi esok hari"
"Barang siapa berbuat kebaikan dari kedalaman harga dirinya, ia akan
terpelihara, dan barang siapa yang tidak melindungi diri dari cercaan, ia akan
dicerca"
"Barang siapa memiliki kelebihan harta, lalu ia bakhil (pelit) dengan
hartanya itu terhadap kaumnya, maka ia tidak akan berguna dan akan
dicerca"
"Barang siapa memenuhi kewajibannya, ia tidak akan dicerca, barang siapa
hatinya mendapat petunjuk menuju ketentraman dalam berbuat kebaikan, maka ia
tidak akan terguncang oleh ketegangan"
"Aku lihat maut itu datang tanpa permisi terlebih dahulu, barang siapa
yang didatangi pasti akan mati, dan barang siapa yang luput dia akan mengalami
lanjut usia".
"Barang siapa yang takut mati, pasti ia akan bertemu juga dengan kematian
itu, walaupun ia naik ke langit dengan tangga"
"Barang siapa yang menolong orang yang tidak berhak untuk ditolong, maka
ia akan menerima resikonya dan akan menjadikan penyesalan baginya".
9. AN-NABIGHAH ADZ-DZIBYANI
Nasab Keluarga Dan Kabilahnya
Penyair ini memiliki nama asli An-Nabighah Az-Zibyani Abu Umamah Ziyad bin
Muawiyah. Namun, ia lebih terkenal dengan panggilan an-Nabighah, yang berarti
seorang yang pandai berpuisi, karena memang sejak muda ia pandai berpuisi.
An-Nabighah merupakan salah seorang tokoh penyair terkemuka Arab Jahiliyyah dan
juga menjabat sebagai dewan hakim dalam perlombaan puisi yang diadakan di pasar
Ukadz.
Penyair ini selalu berusaha mendekatkan dirinya kepada para pembesar dan
menjadikan puisinya sebagai alat yang paling ampuh untuk mendapatkan kedudukan
dan kekayaan. Oleh karena itulah ia kerapkali dihasut oleh lawannya.
An-Nabighah termasuk salah seorang pemimpin para bangsawan kabilah Dzubyan,
hanya saja karena usahanya mendapatkan harta melalui puisi, mengurangi
kemuliaannya. Hampir seluruh umurnya, ia habiskan di kalangan keluarga raja
Hira, sehingga raja Hira yang bernama Nu'man bin Mundzir sangat cinta
kepadanya, sehingga dalam suatu riwayat dikatakan bahwa penyair ini di kalangan
raja Hira selalu memakai bejana dari emas dan perak, dan hal itu menunjukkan
kedudukannya yang tinggi di sisi raja Hira. Hal itu berlangsung cukup lama,
sampai salah seorang saingannya memfitnahnya dan menghasut Nu'man, sehingga ia
marah dan merencanakan untuk membunuh An-Nabighah. Salah seorang pengawal
Nu'man secara diam-diam menyampaikan berita tersebut, sehingga An-Nabighah pun
segera melarikan diri dan meminta perlindungan kepada raja-raja Ghossan yang
menjadi saingan raja-raja Manadzirah dalam memperebutkan penguasaan atas bangsa
Arab.
Namun, karena lamanya persahabatan yang ia jalin dengan Nu'man bin Mundzir,
An-Nabighah berusaha untuk membersikan diri atas fitnah yang ditujukan
kepadanya dan meminta maaf kepadanya dengan puisi-puisinya untuk melenyapkan
kebencian Nu'man dan meluluhkan hatinya, serta menempatkan kembali posisinya
semula di sisi raja Nu'man bin Mundzir. Hal tersebut dapat dilihat dalam puisi
i'tidzariyat (permohonan maaf)-nya di bawah ini:
فإنك شمس والملوك كواكب ¤ إذا طلعت لو يبد منهنّ كوكب
"Sesungguhnya engkau bagaikan malam yang kujelang meski aku didera
kehampaan, tapi tempat berharap maaf darimu sungguh luas membentang"
An-Nabighah berusia panjang dan meninggal menjelang keutusan Nabi Muhammad Saw.
Kedudukan Puisinya
Sebagian besar ahli sastra Arab mendudukan puisi an-Nabighah pada deretan
ketiga sesudah sesudah Umru al-Qais dan Zuhair bin Abi Sulma. Hanya saja
penilaian ini sangat relatif sekali, karena setiap orang pasti mempunyai
penilaian masing-masing. Walaupun demikian karya puisi merupakan puisi yang
sangat tinggi nilainya. Karena pribadi penyair ini sangat berbakat dalam
berpuisi. Oleh sebab itu, tidak heran bila penyair ini diangkat sebagai dewan
juri dalam setiap perlombaan berdeklamasi dan berpuisi tiap tahun di pasar
Ukadz.
Dalam perlombaan deklamasi dan berpuisi itu, para penyair berdatangan dari
segala penjuru tanah Arab semuanya berkumpul di pasar Ukadz, Daumat al-Jandal,
dan Dzil Majanah. Dalam kesempatan ini, mereka mendirikan panggung untuk dewan
juri, dan salah seorang dari dewan juri itu adalah an-Nabighah sendiri, karena
dia dikenal sebagai seorang yang mahir dalam menilai puisi. Dan apabila ada
puisi yang dinilai baik, maka puisi itu akan ditulis dalam lembaran khusus
dengan menggunakan tinta emas, kemudian digantungkan pada dinding Ka'bah
sebagai penghormatan bagi penyairnya.
Keistimewaan puisi an-Nabighah bila dibandingkan dengan puisi Umru al-Qais dan
Zuhair bin Abi Sulma, maka puisi an-Nabighah lebih indah dan kata-katanya lebih
mantap, bahasanya sederhana sehingga mudah dimengerti oleh semua orang. Dan
para penyair lain pun tidak jarang yang meniru gaya an-Nabighah dalam berpuisi,
sehingga orang yang suka akan kelembutannya puisinya, seperti Jarir, menganggap
bahwa ia merupakan penyair Jahiliyyah yang paling piawai. Ketergiurannya untuk
mencari penghidupan dengan puisi, justru membuka teknik baru dalam jenis puisi
madah (pujian) serta melakukan perluasan dan pendalaman dalam jenis puisi itu,
sehingga dia mampu memuji sesuatu yang kontradiktif.
Kepiawaiannya itu terlihat ketika pada suatu hari ia hendak memuji raja Nu'man
bin Mundzir yaitu seorang raja yang paling disukainya. Waktu itu ia melihat
matahari yang sedang terbit dengan terang. Oleh karena itu raja Nu'man
diumpamakan dalam puisinya sebagai matahari yang terbit, dimana matahari bila
sedang terbit, maka sinarnya itu akan mengalahkan sinar bintang di malam hari.
Untuk itu penyair itu berkata seperti di bawah ini[1]:
فإنك شمس والملوك كواكب ¤ إذا طلعت لو يبد منهنّ كوكب
"Sesungguhnya kamu adalah matahari dan raja-raja selainmu adalah
bintang-bintangnya, yang mana bila matahari terbit, maka bintang-bintang itupun
akan hilang dari penglihatan".
Selain dari bait puisi di atas, masih banyak lagi dari kumpulan puisinya yang
diterjemahkan dan diterbitkan dalam bahasa Perancis oleh Monsiur Dierenburg
pada tahun 1868, karena puisinya banyak digemari orang.
Puisi-Puisinya
An-Nabighah mempunyai diwan (antologi) puisi yang dikomentari oleh Batholius
(Ibnu Sayyid al-Batholius) yang telah berulang-ulang dicetak, meskipun antologi
puisinya itu tidak menghimpun seluruh puisinya. Di antara puisinya yang paling
indah adalah yang terdapat di dalam mu'allaqat-nya yang bait-bait pertamanya
berbunyi:
عوجوا فحيوا لنعم دمنة الدار ¤ ماذا تحيون لوى وأحجار
أقوى وأقفز من نعم وغيره ¤ هوج الرياح بهلبى الترب موار
وقفت فيها سراة اليوم أسألها ¤ عن آل نعم أمونا عبر أسفار
فاستعجمت دار نعم ما تكلمنا ¤ والدار لو كلمنا ذات أخبار
"Berhentilah kalian untuk menyapa, menyalami, sungguh indah reruntuhan
perkampungan, apa yang kalian salami adalah timbunan tanah dan bebatuan"
"Tanah lenggang, sepi dari binatang liar, dan telah diubah oleh hembusan
badai serta hujan yang datang dan pergi"
"Aku berdiri di atasnya, ditengah reruntuhan dan bertanya kepadanya
tentang serombongan unta yang biasa lewat di sana"
"Reruntuhan rumah yang indah , demikian asing, membisu tak mau berbicara
pada kami, dan reruntuhan rumah itu, andai ia mau berbicara pada kami, pasti ia
punya banyak cerita"
Di antara kata-katanya yang paling bagus dalam puisi i'tidzar-nya seperti yang
terdapat di bawah ini:
أتانى (أبيت اللعن) أنك لمتنى ¤ وتلك التى أهتم منها وأنصب
فبت كأن العائدات فرشن لى ¤ هواسا به فراشى ويقشب
حلفت فلم أترك لنفسك ريبة ¤ وليس وراء الله للمرء مذهب
لئن كنت قد بلغت عنى جناية ¤ لمبلغك الواشى أغشى وأكذب
ولكننى كنت امرءا لى جانب ¤ من الأرض فيه مستراد ومهرب
"Telah sampai berita padaku tentang abaital la'ni bahwa engkau mencercaku,
itulah yang membuat penting dan aku menjadi sangat lelah" "semalaman,
seakan para pembesuk menjengukku, menebar duri-duri tajam di atas tempat tidur
dan menusuk-nusukku"
"Aku bersumpah tidak akan meninggalkan keraguan pada dirimu. Setelah Allah,
bagi seseorang tidak ada lagi tempat kembali"
"Jika berita mengenai dosa yang aku lakukan telah sampai padamu, yang
menyampaikan berita padamu itu, sungguh penjilat yang paling jahat dan paling
dusta"
"Tetapi aku adalah orang yang memiliki tempat yang lain di bumi, di mana
aku mengais rizqi dan tempat melarikan diri"
Di antara puisi-puisinya yang lain,
وأنت كالدهر مبثوثا حبائله ¤ والدهر لا ملجأ منه ولا هرب
أضحت خلاء وأضحى أهلها احتملوا ¤ أخنى عليها الذى أخنى على لبد
نبئت أن أبا قابوس أوعدنى ¤ ولا قرار على زأر من الأسد
فلو كفى اليمين بغتك خونا ¤ لأفردت اليمين عن الشمال
"Engkau bagaikan sang masa, terbentang luas tali-tali kasihnya. Sang masa,
tak ada tempat berlindung dan tempat melarikan diri selainnya"
"Sahara menjadi lengang, penduduknya memikul beban, yang menghancurkan
Lubad telah dihancurkannya"
"Aku mendapat berita bahwa Abu Qabus mengancamku, tapi dalam auman singa
tak ada yang pasti"
"Jika golongan kanan cukup menimbulkan kebencianmu, karena berkhianat.
Sungguh aku sendiri dari golongan kanan yang berasala dari golongan kiri"
10. UMRU' AL-QAIS BIN HUJRIN
Kabilah Dan Keluarga Umru' Al-Qais
Penyair ini memiliki nama lengkap Umru' al-Qais bin Hujrin bin al-Harits
al-Kindi, dan berasal dari suku Kindah, yaitu suatu suku yang pernah berkuasa
penuh di daerah Yaman. Karena itu, ia lebih dikenal sebagai penyair Yaman
(Hadramaut). Kabilah ini adalah keturunan dari bani Harits yang berasal dari
Yaman, daerah Hadramaut Barat. Mereka mendiami daerah Nejed sejak pertengahan
abad ke-5 Masehi.
Suku Kindah merupakan salah satu kabilah bangsawan Arab yang harus menghadapi
dua saingan kerajaan yang cukup kuat, yaitu Malik al-Khairah dan Husasanah.
Keduanya saling berusaha untuk menghalang-halangi pengaruh suku Kindah terhadap
suku-suku lain, sehingga mengakibatkan terjadinya peperangan terus-menerus dan
turun-menurun.
Nasab penyair ini termasuk ke dalam kalangan terhormat, ia anak seorang raja
Yaman yang bernama Hujur al-Kindi, sedangkan ibunya bernama Fatimah binti
Rabiah saudara Kulaib Taghlibiyyah, yaitu seorang pewira Arab yang amat
terkenal dalam peperangan al-Basus dan saudara dari Muhalhil, yang juga seorang
penyair.
Hujur al-Kindi adalah ayah Umru' al-Qais, yang meninggal dibunuh oleh kabilah
Bani Asad. Namun, para sastrawan dan kritikus sastra Arab berselisih pendapat
tentang sebab terbunuhnya ayah Umru' al-Qais. Salah satunya adalah pendapat
pengarang kitab al-Aghāni (Ibnu Mandzur, tt:248). Ia berpendapat bahwa penyebab
kematiannya terdapat empat riwayat, yaitu:
1. Diriwayatkan dari Hisam ak-Kalabi (w.204 H), menyatakan sebab terbunuhnya
Hujur al-Kindi adalah sebagai tindakan balas dendam bani Asad terhadapnya.
Karena pemimpin mereka Amr bin Mas'ud al-Asadi dipenjara dan harta kekayaan
mereka dirampas serta mereka diusir dari rumah tempat tinggal mereka.
2. Diriwayatkan dari Abu Faraj dan Abi Amr as-Saibani (w. 213 H), berpendapat
bahwa terbunuhnya Hujur al-Kindi merupakan akibat kelalaian dirinya sendiri
ketika ia berlindung kepada Uwair bin Sijnah karena rasa takutnya kepada bani
Asad.
3. Diriwayatkan dari Abu Faraj dari Ibnu Sikkit (w. 244 H), berpendapat bahwa
Hujur al-Kindi meninggal terbunuh oleh seorang pemuda ketika berperang melawan
bani Asad sebagai balas dendam kepadanya.
4. Diriwayatkan dari Abu Faraj dari Hisam bin 'Adi (w. 206 H), pendapat ini
sama dengan pendapat no. 2, hanya saja ia dibunuh sebab kelengahannya ketika
berperang dengan bani Asad.
Namun, menurut Syauqi Dhaif[1], ia berpendapat bahwa riwayat yang paling benar
adalah riwayat terakhir.
Kehidupan Umru' Al-Qais
Di dalam buku-buku atau lteratur sastra Arab telah terjadi perselisihan
pendapat mengenai siapa sebenarnya nama Umru' al-Qais Terdapat bermacam-macam
nama bagi penyair ini, yaitu Hunduj, 'Adiyan, dan Mulaikah. Nama pendeknya Abu
Wahab, Abi Zaid, dan Abu Harits. Ada juga yang mengatakan bahwa ia dijuluki
dengan nama Dzu al-Qurut[2] dan al-Malik ad-Dlalil[3]. Akan tetapi julukan
(laqab)nya yang paling terkenal adalah Umru' al-Qais. Julukan al-Qais diambil
dari nama salah satu berhala di masa Jahiliyyah. Mereka mengagungkannya dan
menisbatkan segala sesuatu kepadanya.
Sebagian ahli sastra Arab berpendapat bahwa nasab Umru' al-Qais dari ayahnya
Semith bin Umru' al-Qais bin Amr al-Kindi. Adapun nasab ibunya, Tamaluk bin Amr
bin Zubaid bin Madzhad dari Suku Amr bin Ma'ad Yakrub. Diriwayatkan bahwa di
masa Jahiliyyah terdapat enam belas penyair Arab yang kesemuanya bernama Umru'
al-Qais, sehingga terjadi perselisihan di antara satu sama lain[4]. Adapun
tentang kapan dilahirkannya, para ahli sejarah sastra Arab tidak mengetahui
dengan pasti kapan dia dilahirkan. Namun, ada yang mengatakan bahwa ia
dilahirkan pada permulaan abad ke-6 M.
Dari segi nasab tersebut, sangat berpengaruh terhadap kepribadian penyair Yaman
ini. Sejak kecil penyair ini dibesarkan di Nejed, di tengah-tengah Bani Asad,
rakyat ayahnya. Ia hidup di dalam kalangan keluarga bangsawan yang gemar
berfoya-foya. Kehidupannya sebagai anak seorang raja berpengaruh sekali dalam
pembentukan kepribadiannya. Ia memiliki kebiasaan bermain cinta,
bermabuk-mabukkan, dan melupakan segala kewajiban sebagai anak raja yang
seharusnya pandai mawas diri dan berlatih untuk memimpin masyarakat. Ia
kerapkali dimarahi oleh ayahnya karena perangainya yang buruk, bahkan akhirnya
dia diusir dari istana.
Selama masa pembuangan, Umru' al-Qais bergabung dengan para penyamun,
preman/brandalan, serta tunawisma Arab yang sebaya dengannya. Ia mengembara ke
sebagian besar daerah jazirah Arab untuk menghabiskan waktunya bersama
masyarakat Badui. Orang-orang Badui ini gemar sekali mengikutinya karena disamping
mereka butuh akan hartanya, mereka juga membutuhkan spritit lewat
puisi-puisinya untuk menghadapi lawan-lawan mereka.
Masa pengembaraan penyair ini berlangsung cukup lama. Dan pengalaman
pengembaraannya itu kelak akan membawa pengaruh yang amat kuat pada
puisi-puisinya. Selama pengembaraannya itu, ia mendapatkan pengetahuan,
pelajaran, dan pengalaman yang baru yang dituangkan dalam karya-karyanya.
Dibandingkan dengan penyair lain yang tidak banyak berkelana, puisi Umru'
al-Qais memiliki nilai lebih, baik dari keindahan maupun sistematika bahasa.
Kebiasaan buruk Umru' al-Qais yang senang berfoya-foya, tidak juga hilang
meskipun ia dalam masa pembuangan. Suatu hari, ketika ia sedang berada di salah
satu warung minuman dan hiburan di Dammun, datang seorang kurir menyampaikan
berita mengenai kematian orang tuanya yang terbunuh di tangan kabilah Bani
Asad, yaitu sebuah kabilah yang sedang memberontak terhadap kekuasaan ayahnya.
Mendengar berita kematian orang tuanya itu tidak membuatnya terkejut dan
menuntut balas, tetapi berita itu tidak disambut baik olehnya, bahkan dengan
malas-malasan ia berkata[5]:
"ضيعني صغيرا, وحـملني دمه كبيرا, لا صحو اليوم, ولا سكر غدا, اليوم خمر,
وغدا أمر"
"Dulu, sewaktu aku kecil, aku dibuang, dan kini setelah aku dewasa, aku
dibebani dengan darahnya, biarkan saja urusan itu, sekarang waktunya untuk
bermabuk-mabukan, dan esok barulah waktu untuk menuntut darahnya"[6].
Namun akhirnya, ia berangkat juga menuju Nejed untuk menuntut balas atas
kematian orang tuanya. Dalam menunaikan pembalasannya itu, ia terpaksa meminta
bantuan kepada kabilah-kabilah Arab yang berada di sekitarnya. Sehingga
pertempuran itu berkecamuk lama, dan akhirnya ia melarikan diri menuju kerajaan
Romawi Timur (Byzantium) di Turki. Di tengah perjalanan, penyair itu terbunuh
oleh musuhnya dan di makamkan di kota Angkara, Turki, dan tidak diketahui
secara pasti tahun berapa ia terbunuh, diperkirakan kurang lebih 82 sebeum
Hijriyyah atau 530-540 Masehi.
Karya Sastra Umru' Al-Qais
Sebagian besar ahli sastra Arab berpendapat bahwa diantara puisi-puisi
al-Mu'allaqat, puisi Umru' al-Qais merupakan puisi yang palin terkenal dan
menduduki posisi penting dalam khazanah kesusastraan Arab Jahiliyyah.
Mu'allaqat Umru' al-Qais merupakan peninggalan yang paling monumental yang mempunyai
peranan penting dalam perkembangan kesusastraan Arab pada masa-masa
selanjutnya. Puisi-puisinya seringkali dipakai sebagai referensi dalam kajian
ilmu-ilmu bahasa Arab seperti nahwu, sharf, maupun balaghah.
Keistimewaan puisi-puisinya, bersandarkan pada kekuatan daya khayalnya dan
pengalaman dalam pengembaraannya. Bahasa yang digunakan sangat tinggi dan
isinya padat. Bait-bait puisinya menggambarkan cerita yang panjang, satu bait
puisinya memiliki tujuan yang sangat banyak. Ia juga dianggap sebagai orang
pertama yang menciptakan cara menarik perhatian dengan cara
istikafus-Shahby[7], cara seperti ini sangat menarik bila digunakan dalam puisi
ghazal dan tasybib (cara untuk merayu wanita), dan cara seperti itulah yang
amat digemari penyair Arab untuk membuka kasidahnya untuk menarik perhatian
orang. Ia juga dianggap sebagai penyair pertama dalam mensifati kecantikan
seorang wanita dengan mengumpamakannya seperti seekor kijang yang panjang
lehernya, karena seorang wanita yang panjang lehernya, menandakan sebagai
seorang wanita yang cantik.
Orang yang mempelajari puisi karya Umru' al-Qais dengan mendalam, maka akan
ditemukan bahwa keindahan penyair ini terletak pada caranya yang halus dalam
puisi ghazal-nya. Ditambah dengan gaya isti'arah (kata-kata kiasan dan
perumpamaan). Sehingga banyak yang beranggapan bahwa ialah orang pertama yang
menciptakan perumpamaan dalam puisi Arab. Walauun terkadang puisi-puisinya juga
tidak luput dari perumpamaan yang cabul, tetapi itu tidak mengurangi nilai
dalam puisinya, karena bentuk kecabulannya itu tidak terlalu berlebihan, dan
perumpamaan semacam itu merupakan kebiasaan dari para penyair Arab.
Secara garis besar bait-bait puisinya yang terkumpul dalam kasidah
mu'allaqat-nya meliputi beberapa tema, antara lain:
• Mengenai perpisahan seorang sahabat yang membekas dan memilukan, yang
menyebabkan air mata bercucuran menyertai kepergfiannya untuk mengembara.
• Mengenang hari daratul jaljal sebagai cerminan kisah romantis. Tema ini
merupakan ungkapan cinta sejati yang tidak mungkin terlupakan. Dan konon tema
inilah yang membuat Umru' al-Qais terpilih menjadi penyair al-Mu'allaqat.
• Mengenai senda gurau yang diibaratkan pertarungan dengan seorang pelacur.
• Mengenai doa untuk kekasihnya Unaizah, sebagai persembahan cinta yang sejati.
• Mengenai pertarungan untuk merebut idaman hati.
• Menggambarkan malam dan waktu-waktu yang dilaluinya, serta kejadian-kejadian
luar biasa yang dialaminya.
• Mengenai penderitaan akan kegagalan.
• Mengenai simbolisasi kuda dengan kecepatan yang luar biasa.
• Mengenai pengibaratan pemimpin suku Badui dengan kilat dan hujan, sedangkan
pengikutnya dengan jurang yang dalam dan pegunungan yang tinggi.
Walaupun pemakaian kata-kata kiasan, pengibaran dengan alam, dan
simbolisasinya, tidak hanya didominasi oleh puisi-puisi Umru' al-Qais, tetapi
dilakukan juga oleh para penyair lain. Akan tetapi, para ahli puisi Arab,
berpendapat bahwa ialah orang yang pertama kali menciptakan puisi-puisi
kontoversial pada zamannya, dan tidak jarang kata-kata yang bernada sinisme
juga dipakai oleh Umu al-Qais dalam puisi-puisinya.
Terkadang ia juga berkata vulgar yang mengarah ke pornografi dalam
ungkapan-ungkapan komparasi dan pembicaraannya mengenai wanita. Tercium pula
aroma kecerdasan dan kepiawaiannya, serta tersirat pula indikasi-indikasi
kepemimpinannya. Hal itu diantaranya terdapat dalam kata-katanya di bawah ini:
فظل العذرى يرتمين بلحمها ¤ وشحم كهداب الدمقس المفتل
وظل طهاة اللحم من بين منضج ¤ صفيف شواء أو قدير معجل
"Gadis-gadis itu terus melahap dagingnnya dan lemaknya bagaikan kain sutra
putih"
"Mereka terus memasak daging antara yang matang dengan dipanggang, dan ada
yang direbus setengah matang"
ولو أن ما أسعى لأدنى معيشة ¤ كفانى ولم أطلب قليل من المال
ولكنما أسعى لمجد مؤثل ¤ وقد يدرك المجد المؤثل أمثال
"Seandainya yang kuusahakan ini untuk kehidupan yang rendah, aku sudah
kecukupan, dan tak perlu lagi mencari secuil harta"
"Akan tetapi, aku berusaha untuk suatu keagungan sejati, yang terkadang
keagungan sejati itu mampu tergapainya orang-orang sepertiku"
Di bawah ini merupakan contoh puisi Umru' al-Qais dalam bab Ghazal yang
menceritakan perjalanan bersama kekasihnya yang bernama Unaizah, seperti di
bawah ini[8]:
ويوم دخلت الخدر خدر عنيزة ¤ فقالت لك الويلات إنك مرجلى
تقول وقد مال الغبيط بنا معا ¤ عقرت بعيرى يا امرأ القيس فانزل
فقلت لها سيرى وارخى زمامه ¤ ولا تبعدينى من جناك المعلّل
"Suatu hari ketika aku sedang masuk ke dalam Haudat[9] kekasihnya Unaizah,
maka Unaizah berkata kepadaku: "Celakalah kamu, jangan kamu beratkan
untaku".
"Ketika punggung untanya agak condong ke bawah (karena berat), maka ia
berkata kepadaku: "Turunlah hai Umru al-Qais, janganlah kamu ganggu jalan
untaku ini".
"Di saat itu, kukatakan kepadanya: "Teruskanlah perjalananmu dan
lepaskanlah tali kekangnya, janganlah engkau jauhkan aku dari sisimu".
Penyair ini juga mensifati kecantikan kekasihnya, Unaizah, seperti dalam bait
puisi di bawah ini[10]:
فلمّا اجزنا ساحة الحىّ وانتحى ¤ بنا بطن خبت ذى حقاف عقنقل
هصرت بفودى رأسها فتمايلت ¤ على هضيم الكشح ريّا المخلخل
مهفهفة بيضاء غير مفاضة ¤ ترائبها مصقولة كالسّجنجل
وجيد كجيد الرئم ليس بفاحش ¤ اذا هي نصته ولا بمتعطل
وفرع يزين المتن اسود فاحم ¤ انيث كقنو النخلة المتعثكل
"Ketika kami berdua telah melewati perkampungan, dan sampai di tempat yang
aman dari intaian orang kampung"
"Maka kutarik dirinya sehingga ia dapat merapat kepadaku, perutnya ramping
dan dadanya putih bagaikan kaca".
"Lehernya jenjang bak leher kijangi, jika dipanjangkan tidak bercacat
sedikit pun, karena lehernya dipenuhi kalung permata".
"Rambutnya yang panjang dan hitam bila terurai di bahunya bagaikan mayang
korma".
Pada bait puisi di atas Umru' al-Qais menggambarkan kecantikan kekasihnya
dengan gayanya yang khas, dan gambaran yang seindah itu tidak dapat
terlukiskan, kecuali bagi orang yang mempunyai daya khayal yang tinggi, ditambah
dengan pengalaman yang luas, sehingga dengan itu semua ia dapat melukiskan
sesuatu dengan berbagai macam perumpamaan dan sepertinya benar-benar terjadi.
Contoh lain yang menunjukkan kemahiran penyair ini dalam menggambarkan suatu
kejadian dengan gayanya yang khas sehingga bayangan yang ada benar-benar
terjadi. Seperti kesusahan yang dialaminya pada malam hari, seperti dibawah
ini[11]:
وليل كموج البحر مرخ سدوله ¤ عليّ بأنواع الهموم ليبتلى
فقلت له لمـّا تمطّى بصلبه ¤ واردف اعجازا وناء بكلكل
الا ايّها اللّيل الطويل الا انجلى ¤ بصبح وما الإصباح منك بأمثل
"Di kala gelap malam bagaikan badai laut yang tengah meliputiku dengan
berbagai macam keresahan untuk mengujiku (kesabaranku)".
"Di kala malam itu tengah memanjangkan waktunya, maka aku katakan
padanya".
"Hai malam yang panjang, gerangan apakah yang menghalangimu untuk berganti
dengan pagi hari? Ya walaupun pagi itu pun belum tentu akan sebaik kamu".
Pada bait-bait puisi di atas, sebenarnya penyair ini ingin mengutarakan betapa
malang nasibnya. Di mana keresahan hatinya akan bertambah susah bila malam hari
tiba. Karena saat itu ia merasa seolah-olah malam itu sangat panjang sekali.
Sehingga ia mengharapakan waktu pagi segera tiba, agar keresahannya dapat
berkurang, namun sayang sekali keresahannya itu tidak juga berkurang walaupun
pagi hari telah tiba. Puisi di atas, tidak lain merupakan contoh dari
kepandaian Umru' al-Qais dalam menggambarkan suatu keadaan. Sehingga
seolah-olah itu benar-benar terjadi.
Bait puisinya terkumpul semuanya dalam kasidah mu'allaqat-nya. Mu'allaqat Umru'
al-Qais sangat terkenal dikalangan setiap orang yang mempelajari kesusastraan
Arab. Penyair ini menciptakan kasidah muallaqadnya tidak lain adalah untuk
mengabadikan suatu kejadian yang dialaminya. Seperti kejadian yang dialaminya besama
sang kekasih Unaizah.
Pada suatu ketika Umru' al-Qais ingin bertemu kekasihnya, namun keinginannya
itu selalu dihalangi oleh pamannya, karena ia takut anak puterinya itu akan
terbujuk dengan puisi Umru' al-Qais. Karena itulah, Umru' al-Qais berusaha
dengan sekuat tenaga untuk mendapatkan kesempatan agar dapat bertemu dengan
anak pamannya yang bernama Unaizah. Dan pada suatu ketika, ia berhasil bertemu
dengan Unaizah dan bersepakat bertemu dalam kesempatan lain bila anggota
kabilahnya sedang pergi mengambil air. Dan telah menjadi kebiasaan kabilah itu,
bila hendak mengambil air kaum lelaki berjalan terlebih dahulu, kemudian
barulah diikuti kaum wanita dari belakang.
Sewaktu kaum lelaki pergi ke mata air, Umru' al-Qais tidak keluar bersama
mereka, bahkan penyair ini menunggu keberangkatan kaum wanita. Dan ketika kaum
wanita keluar menuju mata air, maka Umru' al-Qais keluar mendahului mereka agar
dapat sampai lebih dahulu. Sesampainya di mata air yang bernama Juljul yang
terletak di daerah Kindah (Nejed), penyair ini langsung bersembunyi di balik
batu yang tidak terlalu jauh dari tempat itu.
Ketika rombongan wanita yang di dalamnya terdapat kekasihnya tiba di mata air
Juljul, maka mereka langsung menanggalkan pakaiannya masing-masing, dan
meletakkannya di atas batu. Setelah mereka masuk ke dalam air, maka Umru'
al-Qais yang tengah asyik memperhatikan dari balik batu, langsung mengambil
pakaian mereka semua, dan berjanji tidak mengembalikannya kecuali bila mereka
keluar dari mata air itu dengan keadaan telanjang bulat. Melihat kejadian itu,
semua kaum wanita terkejut dan meminta Umru' al-Qais untuk mengembalikan
pakaian mereka. Namun Umru' al-Qais tetap bersikeras tidak mengembalikan
pakaian mereka bila mereka tidak mau keluar dalam keadaan telanjang bulat.
Akhirnya, dengan keadaan terpaksa kaum wanita itu keluar dari mata air Juljul
dalam keadaan telanjang bulat untuk mengambil pakaian mereka dari tangan Umru'
al-Qais, tetapi hanya Unaizah yang tidak mau keluar dari mata air, dan ia
meminta Umru' al-Qais untuk mengembalikan pakaiannya. Setelah ia mengetahui
bahwa Umru' al-Qais tidak akan mengembalikan pakaiannya, maka dengan terpaksa
Unaizah keluar dari mata air dengan keadaan telanjang dan meminta Umru' al-Qais
untuk mengembalikan pakaiannya. Dan kemenangannya itu, diabadikannya dalam
kasidah mu'allaqat-nya.
Umru' al-Qais juga memiliki puisi-puisi panjang dan pendek. Puisi panjangnya
yang paling terkenal dan menjadi buah bibir orang dalam kepopulerannya,
terdapat dalam kumpulan mu'allaqat-nya seperti terdapat di bawah ini:
قفا نبك من ذكرى حبيب ومنـزل ¤ بسقط اللوى بين الدحول فحومل
فتوضح بالمقراة لم يعف رسمها ¤ لما نسجتها من جنوب وشمال
"Marilah kita berhenti untuk menangis (mengenang) kekasih dan rumahnya di
Siqthi liwa antara Dakhul dan Haumal"
"Tudlih dan Miqrat, bekas-bekasnya belumlah lenyap karema hembusan angina
selatan dan angina utara"
Umru' al-Qais juga memiliki puisi yang berisikan hikmah-himah atau kata-kata
mutiara, seperti yang terdapat di bawah ini:
إذا المرءا لم يخزن عليه لسانه ¤ فليس على شيئ سواه بخزان
فإنك لم يفخر عليك كفاخر ¤ ضعيف ولم يغلبك مثل مغلب
"Seseorang, bila lisannya tidak dapat memelihara dirinya, maka tidak ada
sesuatu pun yang dapat dipeliharanya"
"Sesungguhnya kamu tidak akan dibanggakan sebagai orang lemah kamu tidak
akan dikalahkan oleh orang yang berkali-kali kalah"
Dīwan (kumpulan puisi-puisi) Umru' al-Qais telah mengalami cetakan
berulang-ulang. Pertama kali dicetak di Paris pada tahun 1837 M oleh De Slane.
Pada tahun 1870 dibukukan kembali oleh Ahlwardt dan pada tahun 1958 Muhammad
Abu Fadl Ibrahim bersama lembaga Dār al-Ma'arif Kairo telah mengeluarkan
kembali Dīwan Umru' al-Qais yang baru, yaitu dengan mengambil dari nushah yang
ditulis oleh De Slane. Dīwan tersebut meliputi 28 kasidah dengan sarah
(penjelasan) Assantamri (riwayat dari orang Kufah)[12].
11. Hani Bin Qabishah Bin Hani Bin Mas'ud Asy-Syaibani
Hani bin Qabishah bin Hani bin Mas'ud asy-Syaibani adalah seorang kepala
kabilah dari bani Syaiban, yang terkenal dengan keberaniannya pada akhir zaman
Jahiliyyah.
Mengenai keberaniannya, suatu hari, ia diminta oleh Raja Kisra dari Persia,
untuk memberikan amanat kepada Nu'man bin al-Mandzur, salah seorang Raja
Munadzirat di Hira, Irak, tetapi ia menolak. Maka, terjadilah peperangan antara
Persia dan Bakr, suku bani Hani, di sebuah tempat dekat Basrah di Irak, yang
dikenal dengan perang Dzi Qaar (yaumu Dzi Qaar), dalam peperangan itu suku Bakr
memperoleh kemenangan. Di bawah ini adalah pidato Hani kepada kaumnya pada
perang tersebut:
"يا معشر بكر, هالك معذور, خير من ناج فرور, إن الحذر لا ينجى من القدر, وإن
الصبر من أسباب الظفر, المنية ولا الدنية, استقبال الموت خير من استدباره, الطعن
فى ثغرالنحور, أكرم منه فى الأعجاز والظهور, يا آل بكر, قاتلوا فما للمنايا من
بد".
"Wahai segenap orang-orang kabilah Bakr, mati dalam medan peperangan lebih
baik daripada orang yang selamat dengan lari dari perang. Melarikan diri
(ketakutan) tidak akan menyelamatkan dari takdir. Sesungguhnya kesabaran
merupakan salah satu faktor penyebab kemenangan. Kematian bukanlah sebuah
kehinaan. Menyongsong kematian (maut) lebih baik daripada menghindarinya.
Tusukan di tenggorakan lebih mulia daripada tusukan di leher dan pundak. Wahai
keluarga Bakr, berperanglah! Janganlah kalian takut akan mati, karena kematian
akan dimana pun akan menghadang kalian"
12. Aktsam bin Shaifi
Aktsam bin Shaifi dikenal sebagai orator bangsa Arab Jahiliyyah yang paling
bijak, ia juga dikenal sebagai seorang yang paling mengetahui silsilah
keturunan bangsa Arab. Di dalam orasinya ia banyak menyisipkan kata-kata hikmah
dan peribahasa. Pendapat yang dikeluarkan selalu tepat dan argumentasinya kuat.
Selain dikenal sebagai seorang orator yang ulung, ia juga sebagai hakim yang
dihormati dan disegani.
Aktsam bin Shaifi memiliki kedudukan yang tinggi disisi kaumnya dan termasuk
tokoh pemimpin yang dimuliakan, dan juga penguasa pembesar di kalangan mereka.
Sangat sedikit pada masanya, orator yang dapat menandinginya dalam keluasan
pengetahuan di bidang silsilah keturunan bangsa Arab, dalam penciptaan
pribahasa, dan kata-kata hikmah, juga dalam memecahkan berbagai permasalahan,
dan dalam keluhuran pemikirannya.
Aktsam bin Shaifi merupakan ketua dari para orator yang diutus oleh Raja Nu'man
untuk menghadap Raja Kisra, Persia. Raja Kisra sangat kagum terhadap Aksam,
sehingga ia menyatakan: "Seandainya bangsa Arab tidak memiliki lagi orator
sepertimu, kamu sendiri pun sudah cukup".
Aktsam bin Shaifi memiliki usia yang panjang, ia sempat mengalami masa
diutusnya Nabi Muhammad Saw, Ketika ia mendapat berita mengenai di utusnya Nabi
Muhammad Saw, ia mengumpulkan kaumnya dan mengajak mereka untuk beriman kepada
Nabi Muhammad Saw.
Di dalam pidato-pidatonya, Aktsam jarang menggunakan kata-kata majaz,
kalimat-kalimat pidatonya begitu ringkas, padat, merdu, dan mengandung makna
yang luas. Pidato-pidatonya juga banyak dihiasi dengan kata-kata mutiara dan
pribahasa. Ungkapan orasinya tidak begitu mementingkan persajakan (rima),
tetapi lebih cenderung untuk memuaskan pendengarnya dengan argumentasi yang
baik dan bukti. Dia menyandarkan orasinya pada kekuatan pengaruh dan kesan yang
ditimbulkan dari kepiawaiannya dalam berorasi. Di bawah ini adalah salah satu
contoh orasinya (pidato) yang disampaikan dihadapan Raja Kisra, Persia:
"إن أفضل الأشياء أعاليها, وأعلى الرجال ملوكم, وأفضل الملوك أعمها نفعا,
وخير الأزمنة أخصبها, وأفضل الخطباء أصدقها, الصدق منجاة, والكذب مهواة, والشرّ
لجاجة, الحزم مركب صعب, والعجز مركب وطئو آفة الرأى الهوى, والعجز مفتاح الفقر,
وخير الأمور الصبر, وحسن الظن ورطة, وسوء الظن عصمة, إصلاح فساد الرعية خير من
إصلاح فساد الرأعى, من فسدت بطانته كان كالغاص بالماء, شرّ البلاد بلاد لا أمير
بها, شرّ الملوك من خافه البرئ, المرء يعجز لا المحالة. أفضل الأولاد البررة, خير
الأعوان من لم يراء بالنصيحة, أحق الجنود بالنصر من حسنت سريرته, بكفيك من الزاد
ما بلغك المحل, حسبك من شر سماعه, الصمت حكم وقليل فاعله, البلاغة الإيجاز, من شدد
نفر, ومن تراخى تألف"
"Sesungguhnya, seutama-utamanya sesuatu adalah yang paling tinggi.
Setinggi-tinggi orang adalah raja mereka. Seutama-utama raja adalah yang paling
merata kemamfaatannya. Sebaik-baik masa adalah masa yang paling subur (jaya).
Seutama-utama orator adalah orator yang paling jujur. Kejujuran adalah
penyelamat. Kedustaan adalah lembah kehancuran. Kejahatan adalah berlarutnya
pertikaian. Tekad kuat adalah kendaraan yang paling sulit dinaiki. Kelemahan
adalah kendaraan yang paling mudah dinaiki. Penyakit berpikir adalah hawa
nafsu. Kelemahan adalah kunci kefakiran. Sebaik-baik perkara adalah kesabaran.
Baik sangka adalah sesuatu yang menyulitkan. Buruk sangka adalah suatu
perlindungan. Memperbaiki kerusakan rakyat lebih baik daripada memperbaiki
kerusakan penguasa. Barang siapa yang rusak kawan-kawan dan kroni-kroninya,
bagaikan tenggelam dalam air. Seburuk-buruk negeri adalah negeri yang tidak
memiliki pemimpin. Sejahat-jahat raja adalah raja adalah raja yang ditakui oleh
orang-orang bersih. Seorang akan menjadi lemah jika tidak memiliki usaha.
Sebaik-baik pembantu adalah orang yang tidak menentang nasihat. Sebaik-baik
tentara yang berhak mendapatkan kemenangan adalah tentara yang baik intusi
perangnya. Cukuplah bekal buatmu, yang dapat menghantarkan sampai ke tempat
tujuan. Cukuplah kejahatan itu, kamu mendengarnya saja. Balaghah adalah ijaz
(kata ringkas dan padat makna). Barang siapa yang kasar akan dijauhi orang, dan
barang siapa yang ramah akan didekati orang".
13. Qus bin Sa'idah Al-Iyadi
Qus bin Sa'idah al-Iyyadi merupakan seorang orator ulung Arab Jahiliyyah dan
menjadi idola dalam ke-balaghah-an orasinya, kata-katanya banyak mengandung
hikmat dan nasihat-nasihat yang baik. Ia menganut kepercayaan tauhid dan beriman
kepada hari kebangkitan. Ia menyeru masyarakatnya untuk menghentikan
penyembahan terhadap berhala, dan berusaha membimbing mereka untuk menyembah
kepada Yang Maha Pencipta (al-Khaliq). Dia mengorasikan hal itu kepada
masyarakatnya dalam berbagai acara dan pada musim-musim pasaran.
Sebagian ahli sastra Arab menyatakan bahwa Qus bin Sa'idah al-Iyyadi adalah
orator pertama yang berorasi di tempat yang tinggi, orator pertama yang
mengatakan dalam orasinya kata-kata "amma ba'du" (kemudian dari
itu/selanjutnya), dan orator pertama yang berorasi sambil bertelekan (memegang)
pedang dan tongkat. Masyarakat banyak yang datang kepadanya untuk meminta
pengadilan dan penyelesaian terhadap sebuah permasalahan, dan ia pun mampu
mengadili mereka dengan pemikiran yang jernih dan keutusan yang tepat.
Qus bin Sa'idah al-Iyyadi juga orang pertama yang mengatakan: "Pembuktian
atas orang yang mendakwa dan sumpah atas orang yang mengingkari". Ia
pernah menjadi duta (wakil) yang diutus kepada Kaisar Romawi. Pada suatu ketika
Kaisar Romawi bertanya kepadanya:
"Akal apakah yang paling mulia?"
Qus menjawab: "Akal yang membuat seseorang dapat mengenal dirinya".
Kaisar bertanya: "Ilmu apakah yang paling utama?"
Qus menjawab: "Ilmu yang dapat membuat seseorang melindungi dirinya".
Kaisar bertanya: "Sifat apakah yang paling mulia dari seorang
ksatria?"
Qus menjawab: "Yaitu sifat ksatria seseorang akan mampu mengendalikan air
mukanya".
Kaisar bertanya: "Harta apakah yang paling mulia?"
Qus menjawab: "Harta yang dapat membuat seseorang dapat menyelesaikan
hak-haknya".
Nabi Muhammad Saw sebelum diutus menjadi pernah mendengar Qus berorasi di pasar
Ukadz di atas unta yang berwarna kelabu. Beliau Saw begitu mengagumi keindahan
kata-katanya dan mengagumi kelurusannya serta memujinya. Qus berusia panjang
dan meninggal menjelang Nabi Muhammad Saw diutus menjadi Rasul.
Kata-kata yang digunakan dalam berorasi begitu selektif, sehingga kesan yang
ditimbulkan sangat kuat, jauh dari kesalahan, dan senda gurau. Saja' (prosa
bersajak), pharase-pharase pendek-pendek, selalu muncul secara spontan dalam
setiap orasinya. Di antara pidatonya, adalah pidato yang disampaikannya di
pasar Ukadz, sebagaimana yang terdapat dalam kitab Shubhi al-A'sya (1: 212),
seperti yang terdapat di bawah ini:
أيها الناس, أسمعوا وعوا, من عاش مات, ومن مات فات, وكل ما هو آت آت, ليل داج,
ونهار ساج, وسماء ذات أبراجو ونجوم تزهر, وبحار تزحر, وجبال مرساة, وأرض مدحاة,
وأنهار مجراة, إن فى السماء لخبرا, وإن فى الأرض لعبرا, ما بال الناس يذهبون ولا
يرجعون؟ أرضوا فأقاموا؟ أم تركوا فناموا؟ يقسم قس بالله قسما لا إثم فيه: إن لله
دينا هو أرضى لكم وأفضل من دينكم الذى أنتم عليه. إنكم لتأتون من منكرا".
"Wahai segenap manusia dengarlah dan sadarlah. Sesungguhnya orang yang
hidup itu akan mati. Orang yang mati itu telah berlalu. Segala yang akan datang
itu pasti datang. Malam yang gelap gulita, siang yang terang benderang, langit
yang berhias bintang-bintang. Bintang gemintang yang berkerlap-kerlip, lautan
yang bergelombang, gunung-gunung yang tinggi menjulang, bumi yang menghampar,
dan sungai-sungai yang mengalir. Sesungguhnya di langit itu ada kabar berita,
dan di bumi itu penuh dengan pengajaran. Bagaimanakah gerangan berita tentang
orang-orang yang telah pergi dan tak kembali? Adakah gerangan karena mereka
suka dan mereka menetap di sana? Qus bersumpah demi Allah, suatu sumpah yang
tidak mengandung dosa: Sesungguhnya Allah memiliki agama yang lebih disukai-Nya
buat kalian, dan lebih utama daripada agama yang kalian jalani. Sesungguhnya
kalian benar-benar mendatangkan urusan yang mungkar (yang tidak disukai)".
Diriwayatkan bahwa setelah berorasi itu, Qus mendendangkan Syi'rnya:
فى الذاهبـين الأوليـ ¤ ـن من القرون لنا بصائر
لما رأيـت مـواردا ¤ للموت ليس لها مصادر
ورأيت قومى نحوهـا ¤ تمض: الأكابر والأصاغر
لا يرجع المـاضى إلى ¤ ولا من الباقين غـابر
أيقنت أنى لا محــا ¤ لة حيث صار القوم صائر
"Pada orang-orang terdahulu yang telah berlalu pergi berabad-abad silam,
kita mendapatkan berbagai pelajaran"
"Ketika kulihat meeka beramai-ramai menuju telaga kematian yang tidak dapa
dihindari"
"Da kulihat kaumku pun menuju ke arah sana dengan tidak perduli, mereka
yang tua renta maupun mereka yang muda belia"
"Yang telah berlalu tak akan kembali lagi kepadaku, dan sementara mereka
yang masih tersisa tak akan pernah tetap berada"
"Aku pun yakin, bahwa tak ayal lagi aku pun pasti berlalu pergi, menuju
tempat ke mana kaumku pergi"