Sabtu, 02 Januari 2016
skripsi indo
MUHASSINAT MA’NAWIYYAH DALAM SYA’IR
AL-I’TIRAF KARYA ABU NAWAS
(Kajian Ilmu Badi’)
PROPOSAL SKRIPSI
Di susun oleh
Nama : Muhammad Soleh
NIM : (10410706)
JURUSAN BAHASA DAN SASTRA ARAB
FAKULTAS ADAB DAN HUMANIORA
UNIVERSITAS ISLAM NEGERI RADEN FATAH
PALEMBANG
2015
BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
Sastra merupakan refleksi lingkungan budaya dan merupakan satu teks dialektis antara pengarang dan situasi sosial yang membentuknya atau merupakan penjelasan suatu sejarah dialektik yang dikembangkan dalam karya sastra. Sehubungan dengan ini Kata sastra dari kata-kata yang berkembang maknanya dengan seiring perkembangan kehidupan bangsa Arab dari masa ke masa menuju suatu peradaban. Terdapat perbedaan makna hingga munculah defenisi yang digunakan hingga saat ini , yaitu perkataan yang indah dan jelas, dimaksudkan untuk menyentuh jiwa mereka yang mengucapkan atau mendengarnya baik berupa syair maupun natsr atau prosa.[1] Dalam mendefinisikan adab (sastra) para Udaba’ berbeda-beda : sebagian mendefinisikan: ungkapan puitis tentang pengalaman manusia, ungkapan puitis tentang pengalaman yang indah dengan menggunakan media bahasa, hasil pemikiran manusia yang diungkapkan dengan ungkapan yang mengandung seni dan keindahan atau seni ungkapan yang indah. Dari berbagai macam definisi ini dapat disimpulkan bahwa sastra merupakan seni ungkapan yang indah. sebagaimana yang telah dikemukakan oleh Wildana Warganita dan Laily Fitriani bahwa sastra Arab terbagi menjadi dua bagian, yaitu: yang pertama sya’ir (puisi) dan natsr (prosa).
1
sering dikatakan syair merupakan antologi kehidupan masyarakat Arab (Diwān al-`Arab). Artinya, semua aspek kehidupan yang berkembang pada masa tertentu tercatat dan terekam dalam sebuah karya sastra (syair). dalam Lisan al-Arab, kata sya’ara (شعر) dimaknai ilmu dan makrifat. karena itu kata asy-sya’ir (الشاعر) artinya (العالم) wa asy-syua’ ara’ artinya ulama. Kemudian sya’ir menjadi sebutan untuk puisi dalam al-lisan disebutkan: والشعر منظوم القول، غلب عليه لشرفه بلوزن والقافية. Zayat mengungkapkan bahwa sya’ir merupakan kata-kata yang ber-wazan dan ber-qafiah, mengungkapkan imajinasi yang indah dengan bentuk ungkapan mengesankan lagi mendalam. Menurut Ahmad Amin secara etimologi kata sya’ara sendiri berarti ‘alima (mengetahui). Seperti kalimat sya’artu bihi yang artinya ‘alimtu .[2] Perrine mengungkapkan syair adalah bentuk sastra yang paling padat dan terkonsentarasi. dengan pemakaian sedikit kata, namun mengungkap lebih banyak hal.[3] maka sastra adalah hasil pemikiran atau imajinasi seseorang yang dituangkan dengan lisan atau tulisan sebagai sarana mengekspresikan emosional dan upaya abadi dengan menggunakan bahasa yang padat serta rima dan irama yang memiliki nilai estetika.
Sedangkan natsr (prosa) merupakan kata-kata yang tidak ber-wazan dan ber-qafiyah. Ahmad Muzakki dalam buku Kesusastraan Arab menjelaskan bahwa kemunculan natsr (prosa) dalam sejarah kesusastraan Arab lebih awal daripada sya’ir (puisi) dengan alasan natsr tidak terkait dengan aturan-aturan yang ada pada sya’ir sehingga lebih muda bagi orang Arab. Adapun kesepakatan para ulama yang menjelaskan bahwa natsr itu bebas bagaikan air yang mengalir sedangkan sya’ir sangat erat sekali dengan kemajuan manusia dalam cara pemikirannya dan kemajuan bahasanya. Akan tetapi kedua pendapat tersebut terbantahkan oleh Thaha Husein yang mengatakan bahwa sya’ir lebih dulu ada dari pada natsr karena sya’ir terikat dengan rasa sastra dan imajinasi yang tinggi.[4] Akan tetapi diantara keduanya sama sama memiliki peranan penting sebagai sarana pengungkapan imajinasi yang mempunyai nilai estetika yang tinggi.
Hakikatnya syair arab memiliki tujuan-tujuan tersendiri, seperti yang diungkapkan oleh Wildana Wargadinata dan Laily Fitriani yang membaginya kepada delapan bagian, yaitu Tasybih/Ghozal (percintaan), Hammasah/ Fakhr (membangga-banggakan), Maddah (pujian), Rotsa (ratapan), Hija’ (ejekan), I’tizar (permohonan maaf), Washf (menggambarkan), dan Hikmah (kata-kata bijaksana).[5] Tujuan-tujuan tersebut sesuai dengan bentuk dengan warnanya. Syair “al-I’tiraf” adalah salah satu dari tujuan syair diatas yang dikategorikan sebagai syair maddah.
Pengarang puisi disebut dengan penyair. Salah satu penyair terbaik yang lahir dari jazirah Arab dan telah menciptakan puisi-puisi yang indah dan berirama adalah penyair Bagdad yang hidup pada masa daulah Abbasiyah yaitu Abu Ali-al-Hasan bin Hani Al-Hakimi atau yang lebih dikenal dengan Abu nawas (Abu Nuwas).[6] Dia adalah seorang penyair terkenal dengan karya sya’irnya yang indah, akan tetapi keahliannya dalam bersastra terkontaminasi oleh kebiasaannya yang mujun. Hampir semua kitab sejarah menyebutkan hal yang sama; Abu Nawas adalah sastrawan cabul: gemar minuman keras, berbicara kotor dan puisi-puisinya banyak mengkritik hadits dan ayat al-Qur'an yang melarang minum Khamr. Ia sering keluar masuk penjara karena puisi-puisinya itu. Puisi dan cerita mujun-nya bisa dilihat dalam kitab-kitab sejarah seperti, Tarikh al-Islam (juz 10/161) karya sejarawan handal Adz-Dzahabi, Tarikh Baghdad (juz 7/ 436) karya Khatib al-Baghdadi, Tahdzib ibn Asakir juz 4 (biografi Abu Nawas), Wafayat al-A'yan karya Ibnu Khalkan, Masalik al-Abshar (jilid 9), Syudzurat al-Dzahab (juz 1/345) atau kitab Mulhaq al-Aghani juz 25 karya Abu al-Faraj al-Ashbihani yang khusus menerangkan biografi Abu Nawas, saking banyaknya dia berbicara tentang masalah khamr, sampai-sampai kumpulan syairnya ada yang disebut “khamriyyat”. Sehingga Abu Amr Asy-Syaibani berkata, “Seandainya Abu Nuwas tidak mengotori sya’irnya dengan kotoran-kotoran ini, niscaya sya’irnya akan kami jadikan hujjah dalam buku-buku kami.”
Akan tetapi, bagaimanapun juga disebutkan dalam buku-buku sejarah bahwa dia bertaubat di akhir hayatnya. Pada detik-detik akhir kehidupannya, Abu Nawas berubah total. Khamr yang menjadi trade mark nya sejak ia menginjak dewasa dibuang jauh-jauh. Ia tidak lagi menggubah puisi-puisi mujun. Lembaran-lembaran sya’irnya dibakar habis. “Aku takut setalah aku mati nanti masih tersisa satu dari syairku. Karena itu aku membakarnya, kata Abu Nawas ketika ditanya oleh salah seorang temannya. Kehidupan zuhudnya di masa transisi perubanhannya itu terangkum dalam beberapa sya’irnya yang kemudian dikenal dengan isltilah zuhdiyat. Dari salah satu sya’ir zuhdiyatnya ini, ada empat bait sya’ir yang mirip dengan syair Al-I’tiraf (Ilahilastulil firdaus) yang sering kita dengar.
Keistimewaan dan keindahan kata-kata yang digunakan dalam kumpulan puisi (zuhdiyat) Abu Nawas tersebut berada dalam ruang lingkup bahasan ilmu balaghah. Menurut para ulama balaghah adalah ilmu yang memperlajari cara memperindah kalam.[7] Ilmu Balaghah terbagi atas tiga ilmu kajian, yaitu; ilmu ma’ani, ilmu bayan, dan ilmu badi’. Ilmu Ma’ani adalah ilmu pengetahuan tentang keadaan lafadz-lafadz Arobi yang dengan perantaranya dapat menyesuaikan kalam dengan muqtadhol-hal.[8] Ilmu Bayan adalah ilmu untuk mengetahui tentang cara mendatangkan suatu pengertian yang ditunjukan atasnya dengan perkataan muthobaqoh (sesuai) dengan muqtadhol-halnya (situasi) dan dengan susunan yang berbeda-beda dalam menjelaskan dalalahnya.[9] Ilmu Badi’ adalah ilmu untuk mengetahui cara membentuk kalam yang indahan kalam yang setelah memelihara muthobaqoh (sesuai) dengan muqtadhol-halnya (situasi) dan memelihara kejelasan dalalahnya terhadap ma’na .[10]
Sya’ir zuhdiyat karya Abu Nawas salah satunya (al-I’tiraf) yang penuh rasa zuhudnya kepada sang Khaliq dengan pengakuan dosa-dosa semasa hidupnya yang kemudian menjadikannya indah dari segi makna, maka cabang ilmu balagah yang membahas akan hal demikian adalah ilmu badi’ , sebagaimana dijelaskan Wahab muhsin dalam bukunya Pokok-Pokok Ilmu Balaghah bahwasanya Ilmu badi’ adalah ilmu untuk mengetahui jalan memperindah kalam yang telah muthobaqoh dengan muqtadhol-hal. Jalan untuk memperindah kalam ini dibagi menjadi dua bagian yang dititikberatkan pada memperindah lafadz (muhassinaat lafdziyyah), dan ada pula yang dititikberatkan pada memperindah makna (muhassinaat ma’nawiyyah).[11] Oleh karena itu al-muhassinaat ma’nawiyyah akan menjadi pisau bedah yang akan peneliti gunakan dalam menganalisis sya’ir al-I’tiraf karya Abu Nawas. Adapun alasan akademik yang mendorong dilakukannya penelitian dengan pendekatan ilmu badi’ dalam sya’ir al-I’tiraf karya Abu Nawas adalah sebagai berikut:
Pertama, Sya’ir ini terlahir dari tangan kreatif seorang yang memiliki masa kelam dalam lembah dosa kemudian bertaubat dimasa-masa akhir hayatnya, ia mempunyai julukan Abu Nawas/Abu Nuwas (rambut panjang).
Kedua, isi syairnya menunjukan kepiawaian penyair dalam mengolah kata-kata berbentuk rayuan kepada sang pencipta, sehingga seolah-olah berdialog dengan pencipta seperti dengan kekasih.
Ketiga, isi dari sya’ir al-I’tiraf karya Abu Nawas tersebut banyak sekali menggunakan kata-kata yang indah, mempesona, dan mengandung banyak hikmah. Salah satu bait sya’irnya yang bisa memberikan hikmah, adalah :
إِلَهِى لَسْتُ لِلْفِرْدَوْسِ أَهْلاً ¤ وَلَا اَقْوَىْ عَلَىْ نَارِ الْجَحِيْمِ.[12]
“ Wahai Tuhanku, aku tidaklah pantas menjadi ahli surga # Tapi aku pun tidak kuat masuk kedalam api neraka ”.
Berdasarkan penjelasan di atas, alasan pemlihan objek kajian ini dapat disederhanakan sebagai berikut:
1. isi sya’ir I’tiraf banyak yang mengandung daya khayal yang tinggi dan banyak mengandug hikmah di dalamnya.
2. penggunaan al-muhassinat al-ma’nawiyah pada sya’ir al-I’tiraf tersebut memiliki makna tertentu dan ada tujuan dalam struktur kalimatnya terhadap makna, dan makna tersebut sangat dipengaruhi oleh gaya bahasa.
3. Syair al-I’tiraf karya Abu Nawas menggunakan bahasa yang lugas dan mudah untuk dipahami, sehingga memudahkan penelitian dan dapat dijadikan pijakan awal oleh peneliti untuk melanjutkan penelitian dengan menggunakan pendekatan ilmu badi’, sehingga keindahan dan keistimewaan sya’ir al-I’tiraf ini dari aspek maknanya dapat dibuktikan, diterima, dan diperkuat kebenarannya.
Oleh karena itu, untuk mengetahui keindahan dan keistimewaan sya’ir al-I’tiraf karya Abu Nawas, dari segi keindahan makna (al-muhassniat al-ma’nawiyah), peneliti memfokuskan kajianya pada bait-bait sya’ir atau puisi al-I’tiraf yang mengandung al-muhassināt al-ma’nawiyah dengan judul: Al-Muhassinat Al-Ma’nawiyah dalam Sya’ir Al-I’tiraf Karya Abu Nawas (Kajian Ilmu Badi’)
B. Rumusan Masalah
Berdasarkan latar belakang masalah yang telah dipaparkan di atas, maka rumusan masalah pada penelitian ini adalah:
1. Apa saja macam-macam al-muhassinat al-ma’nawiyah dalam karya sastra Abu Nawas ?
2. Bagaimana Tipologi al-muhassinat al-ma’nawiyah dalam sya’ir al-I’tiraf karya Abu Nawas ?
C. Tujuan Penelitian
Tujuan utama dari penelitian ini adalah :
1. Mengetahui macam-macam al-muhassinal al-ma’nawiyah dalam sya’ir al-I’tiraf karya Abu Nawas.
2. Mengetahui tipologi/tipikal al-muhassinat al-ma’nawiyah dalam sya’ir al-I’tiraf karya Abu Nawas.
D. Manfaat Penelitian
Dalam penelitian tentunya memiliki beberapa manfaat antara lain:
1. Kegunaan teoritis
Sebagai sumbangsi pemikiran terhadap masyarakat umum, khususnya bagi akademisi dalam menambah wawasan dan juga sebagai rujukan kajian bahasa terutama dalam disiplin ilmu Balaghah, Karena tidak sedikit dari pelajar khususnya para pelajar di Perguruan Tinggi Islam yang justru minim sekali dalam memahami ilmu Balaghah.
2. Kegunaan praktis
a. Penelitian ini dilakukan guna memperoleh gelar sarjana pada jurusan Bahasa dan Sastra Arab fakultas Adab dan Humaniora Institut Agama Islam Negeri Raden Fatah Palembang.
b. Penelitian ini dilakukan untuk mengetahui keindahan makna dalam syair al-I’tiraf karya Abu Nawas serta tujuan nya dalam aplikasi kehidupan sehari-hari.
E. Tinjauan Pustaka
Menurut Sutrisno badri, tinjauan pustaka atau kajian pustaka adalah merupakan upaya umum yang harus dilakukan untuk mendapatkan teori-teori yang relevan dengan topik penelitian. Oleh karena itu kajian pustaka meliputi proses umum seperti: mengidentifikasikan teori secara sistematis, penemuan pustaka, dan analisis dokumen yang memuat informasi yang berkaitan dengan topik penelitian.[13] Setelah peneliti membaca berbagai referensi yang ada, maka peneliti menemukan kajian yang serupa dengan peneliti yang lain, akan tetapi berbeda dalam objek kajiannya. Sekalipun sudah ada yang menulis tentang al-muhassinat al-ma’nawiyah, namun yang meneliti al-muhasssinat al-ma’nawiyah secara khusus belum ditemukan penelitiannya dalam sya’ir al-I’tiraf karya Abu Nawas.
Berdasarkan penelitian terdahulu dalam bentuk skripsi yang pernah ditulis, ditemukan beberapa literatur yang membahas tentang al-muhassinat al-ma’nawiyah . Akan tetapi penelitian tersebut hanya menguraikan permasalahan tersebut dalam bab-bab atau pasal-pasal tertentu saja dan hanya membahas macam-macam al-muhassinat al-ma’nawiyah. Penelitian tersebut tidak menguraikan bagaimana tipologi/tipikal al-muhassinat al-ma’nawiyah terhadap sebuah karya sastra.
Adapun penelitian dalam bentuk skripsi pernah ditulis oleh: (1). Fitriya, “ angkatan 2006 dengan judul “Surah Al-a’la: Pendekatan Ilmu Badi’. [14] Rumusan masalah, 1). Unsur-unsur badi’ apa saja yang terdapat didalam surah al-a’la?. 2). Bagaimana hubungannya dengan mana surah al-a’la?. Adapun hasil penelitian nya ialah sebagai berikut; 1). Didalam surah al-a’la terdapat unsur-unsur dari muhassinaat lafdziyyah dan unsur-unsur muhassinaat maknawiyyah. 2). Adapun unsur muhassinaat lafdziyyah yang terdapat didalam surat al-a’la adalah; jinas, saja’, tarsi’ dan al-idzdawaz, sedangkan muhassinaat maknawiyyah berupa at-tibaq, muqobalah, irshad dan muro’atunnadzir.
(2). Nurul Arifah angkatan 2005 dengan judul penelitian “al-muhassinat lafdziyah wa al-muhassinat al-ma’nawiyah fi surah al-mulk”,[15]. Dengan rumusan masalah, 1). Apa saja macam-mcam macam muhassinat yang terdapat dalam surah al-mulk ?. 2). Bagaimana makna muhassinat dalam surah al-mulk. Hasil penelitiannya adalah terdapat beberapa muhassinat ma’nawiyah didalam surah al-mulk diantaranya adalah at-tibaq dan tadbil. Ada lima ayat yang termasuk dalam at-tibaq; dalam ayat ke-8 (( الموت والحيوة adalah at-tibaq ijaz, di dalam ayat ke -18 ( (السماء... الأرض, dalam ayat ke-12 ((مكباَ...سوياَ serta ayat ke-20 ((غيرا...معينٍ.
(3). Umi Rofiah angkatan 2003 dengan judul penelitian “al-muhassinat lafdziyah wa al-muhassinat al-ma’nawiyah fi surah kahfi” ,[16]. Rumusan masalahnya 1). Apa macam-macam muhassinat didalam surah al-kahfi, 2). Bagaimana makna muhaasinat dalam surah al-kahfi. Hasil penelitiannya adalah terdapat beberapa muhassinat maknawiyah didalam surah al-kahfi diantaranya ialah; at-tibaq, muqobalah, tijahul ‘arif, dan beberapa muhassinat lafdiyah.
(4) Dadan Kamal angkatan 2003 dengan judul penelitian “al-muhassinat al-ma’nawiyah fi diwan al-imam Ali ibn Abi Thalib”[17]. Dengan rumusan masalah 1). Apa macam-macam muhassinat ma’nawiyah didalam syair imam Ali bin Abi thalib, 2). Bagaimana muhassinat ma’nawiyah dalam syair imam Ali bin Abi thalib secara ma’na. Hasil penelitiannya hanya membahas satu bagian, yaitu hanya membahas macam-macam al-muhassinat al-ma’nawiyah dalam objek-objek penelitian tersebut. Akan tetapi penelitian tersebut tidak membicarakan karakteristik yang ditimbulkan dari struktur al-muhassinat al-ma’nawiyah terhadap karya sastra.
F. Kerangka Teori
Balaghah atau yang sering disebut dengan retorika dipandang sebagai suatu cara penggunaan bahasa untuk memperoleh tujuan estetis. Ia diperoleh melalui kreativitas dalam mengungkapkan bahasa, yaitu bagaimana penutur mengolah bahasa sebagai media untuk mengungkapkan gagasan yang ia maksud. Ungkapan sebuah bahasa mencerminkan sikap dan perasaan penutur, tetapi juga sekaligus dimaksudkan untuk menyetujui sikap dan perasaan pembaca yang tercemin dari keindahan dalam penuturannya. Dengan demikian, pengungkapan bahasa harus efektif. Yang dimaksud efektif adalah mampu mendukung gagasan secara tepat sekaligus mengandung estetis sebagai sebuah karya seni.[18]
Balaghah terbagi kepada tiga kajian, yaitu; ilmu ma’ani, ilmu bayan, dan ilmu badi’. Ilmu Bayan merupakan seni dalam penyusunan dan pengungkapan suatu pengertian dengan berbagai gaya ekspresi dan redaksi yang indah.[19] Ilmu Badi’ adalah yaitu ilmu yang dengan ilmu itu dapat diketahui sesuatu lafadz muthobaqoh dengan muqtadhol-halnya (keadaaan situasi dan kondisinya).[20] Hasyimi menjelaskan bahwa Ilmu Badi’adalah suatu ilmu yang dengannya diketahui segi-segi (metode dan cara-cara yang ditetapkan untuk menghiasi kalimat dan memperindahnya) dan keistimewaan-keistimewaan yang dapat membuat kalimat semakin indah, bagus dan menghiasinya dengan kebaikan dan keindahan setelah kalimat tersebut sesuai dengan situasi dan kondisi dan telah jelas makna yang dikehendaki.[21] Dari ketiga bidang yang terdapat dalam ilmu balaghah yang dijadikan pendekatan (pisau analisis) dalam penelitian ini adalah ilmu badi’ saja. Itupun hanya memfokuskan pada salah satu pembahasan, yaitu pembahasan muhassinat saja.
Al-muhassinat adalah bagian dari pembahasan ilmu badi’ yang mempunyai arti cara-cara untuk memperindah pembicaraan yang sesuai dengan keadaan. Cara-cara untuk memperindah dalam segi lafadz maka disebut dengan al-muhassinat al-lafdziyah dan dalam segi makna disebut dengan al-muhassinat al-ma’nawiyah. Pembahasan dalam ilmu badi’ mencakup di dalamnya al-muhassinat al- al-lafdziyah dan al-muhassinat al-ma’nawiyah. Yang termasuk kedalam al-muhassinat al-lafdziyah adalah Al-jinas, as-saj’u, al-iqtibas, dan husnul al-ibtida. Sedangkan pembahasan yang termasuk kedalam al-muhassinat al-ma’nawiyah adalah at-tauriyah, at-thibaq, al-muqabalah, al-muro’atunnadzir, al-istikhdam, al-jam’u, al-tafriq, al-taqsim, ta’kidul al-madhi, ta’kidul al-dzam, husnu al-ta’lil, tajahulul al-‘arif, dan al-taujih. Dengan sudut pandang al-muhassinat al-ma’nawiyah, maka keindahan dan keistimewaan sya’ir al-I’tiraf karya Abu Nawas dari segi keindahan makna akan dengan mudah dapat diketahui. Selain itu dari segi tipologi/tipikal (karakteristik) al-muhassinat al-ma’nawiyah pada sya’ir yang ditimbulkanpun akan terungkap.
F. Metode penelitian
Hasan menjelaskan dalam buku Desain Penelitian Sastra, Metode adalah cara atau jalan. Maksudnya ialah cara yang telah teratur dan terfikir baik-baik untuk mencapai suatu maksud. Sedangkan Poerwadarminta menerangkan sehubungan dengan upaya ilmiah, maka metode menyangkut masalah cara kerja; yaitu cara kerja untuk dapat memahami objek yang menjadi sasaran ilmu yang bersangkutan.[22] Metode juga adalah cara yang dipergunakan seorang peneliti didalam usaha memecahkan masalah yang diteliti.[23] Untuk itu metode yang digunakan dalam penelitian ini adalah metode formal. Tujuan metode formal adalah studi ilmiah mengenai sastra dengan memperhatikan sifat-sifat teks yang dianggap artistik. Ciri-ciri utama metode formal adalah analisis terhadap unsur-unsur karya sastra, kemudian bagaimana hubungan antara unsur-unsur tersebut dengan totalitasnya. Tugas utama metode formal adalah menganalisis unsur-unsur yang sesuai dengan peralatan yang terkandung dalam karya. Penggunaan metode formal dalam penelitian ini disebabkan objek kajiannya berupa teks bahasa.[24] Dengan metode formal akan mengungkap jenis al-muhassinat al-ma’nawiyah dan tujuan yang ditimbulkanya; yaitu menguraikan, menganalisis dan mengklasifikasikan kata yang mengandung al-muhassinat al-ma’nawiyah dalam sya’ir al-I’tiraf karya Abu Nawas serta tipologi (karakteristik) yang ditimbulkannya, karena suatu kata dengan kata yang lain saling berhubungan dan membentuk sebuah struktur al-muhassinat al-ma’nawiyah .
1. Jenis Data
Jenis data yang digunakan dalam penelitian ini adalah data kualitatif yang dilakukan dengan tidak mengutamakan pada angka-angka, tetapi mengutamakan kedalaman penghayatan terhadap interaksi antar konsep yang sedang dikaji secara empiris.[25] Adapun jenis penelitian ini adalah data yang berkenaan dengan objek kajian materil yang berupa sya’ir “al-I’tiraf” karya Abu Nawas. Dalam hal ini berkaitan dengan teori yang bertujuan untuk mengetahui keindahan makna terhadap sya’ir al-I’tiraf karya Abu Nawas.
2. Sumber Data
Sumber data yang terdapat pada penelitian ini di bagi dua:
a. Sumber primer, adalah Alfred von Kremer. Diwan des Abu Nuwas des Grossten Lyrischen Dichters der Araber, (Wien: Wilhelm Braumuller, 1885) dan M. Misbahul Munir. Pedoman Lagu-lagu Tilawah Qur’an, Tajwid dan Qasidah, (Surabaya: Apollo, 1997).
b. Sumber sekunder, ialah penunjang seperti buku Pokok-pokok ilmu balaghah, karangan Wahab Muhsin dkk, Ilmu balaghah jauhar maknun, karangan Imam ahdlori, Metodologi Penelitian Sastra, Karangan Suwardi endraswara, Teori Pengkajian Fiksi, Karangan Burhan Nurgiantoro, dan buku yang berkaitan dengan kajian diatas.
3. Teknik Pengumpulan Data
Pada dasarnya Penelitian ini merupakan penelitian kepustakaan (Library researceh) yaitu penemuan segala sumber yang terkait dengan objek penelitian.[26] dengan mengumpulkan buku-buku yang berhubungan dengan sya’ir al-I’tiraf buah karya Abu Nawas, serta buku-buku yang menunjang lainnya.
4. Teknik Analisis Data
Analisis data merupakan sumber yang sudah dipilih itu kemudian dianalisis sesuai dengan teori yang digunakan.[27] Dalam melakukan analisis data, peneliti menggunakan deskriptif kualitatif yang sifatnya induktif (khusus ke umum).[28]
G. Sistematika Pembahasan
Sebagaimana pada skripsi-skripsi sebelumnya yang mendeskripsikan secara jelas akan sistematika pembahasannya, maka pada bagian ini juga akan dipaparkan sistematikanya yang dibagi menjadi empat bagian, yaitu:
BAB I : PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
B. Rumusan Masalah
C. Tujuan Penelitian
D. Kegunaan Peneltian
E. Tinjauan Pustaka
F. Kerangka Teoritis
G. Metode Penelitian
H. Sistematika Pembahasan
BAB II : SYA’IR DAN KEINDAHAN MAKNANYA
A. Pengertian sya’ir
B. Jenis sya’ir
C. Unsur – unsur sya’ir
D. Tujuan sya’ir
E. Sekilas tentang penya’ir
F. Pengertian Muhassinat Ma’nawiyyah
G. Jenis - jenis Muhassinat Ma’nawiyyah
BAB III : ANALISIS SYA’IR AL-I’TIRAF
A. Sya’ir al-I’tiraf dan terjemahannya
B. Unsur Muhassinat Ma’nawiyyah dalam sya’ir
C. Tipologi Muhassinat Ma’nawiyyah dalam sya’ir al-I’tiraf karya Abu Nuwas
BAB IV : PENUTUP
A. Simpulan
B. Saran
BAB II
SYA’IR DAN KEINDAHAN MAKNANYA
A. Pengertian Sya’ir
Sya’ir secara etimologi dari kata sya’ara-yas’uru atau sya’ron (شَعَرَ-يَشْعُرُ أو شَعْراً ) yang berarti mengetahui atau merasakannya.[29] Sedangkan secara istilah (terminologi) Menurut Abdul Hamid sebagaimana dikutip oleh Inrevolzon dalam bukunya bahwasa sastra terbagi menjadi dua yaitu; Prosa (النثر) dan Puisi (الشعر).
Prosa adalah kalimat yang indah yang tidak memiliki wazan (timbangan) dan qofiyah (irama). Seperti khutbah, surat, wasiat, hikmah, novel, dan cerpen. Sedangkan yang dimaksud dengan Puisi adalah kalimat yang memiliki wazan (timbangan) dan kofiyah (irama).[30]
Beberapa ahli menerangkan defenisi syair sebagai berikut:
19
Menurut Khotib Umam Syair adalah ungkapan yang sengaja mengikuti wazan orang arab yang disebut “kalam” atau kata-kata pilihan yang dimengerti, sedangkan wazan adalah ungkapan yang keluar secara beraturan, dan “qosdan” atau menyengaja artinya mengikuti wazan (timbangan) yang ditetapkan orang arab.[31]
Menurut sastrawan arab syair adalah kata-kata fasih yang berirama dan berqofiyah yang mengekspresikan bentuk-bentuk imajinasiyang indah.[32]
Menurut Ahli Arud dijelaskan bahwa sesungguhnya sya’ir sama seperti “Nadzam” adalah perkataan yang sengaja mengikuti wazan atau timbangan orang arab.[33]
Maka penulis menyimpulkan bahwasanya syair adalah ungkapan yang membutuhkan wazan (timbangan) dan qofiyah (irama).
Pada sya’ir diatas memliki wajan (timbangan) yang dimaksud disini adalah kumpulan dari untaian nada yang harmonis bagi kalimat -kalimat yang tersusun dari satuan-satuan bunyi tertentu yang meliputi harakah (huruf hidup) dan sakanah (huruf mati) yang melahirkan taf'ilah-taf'ilah dan bahar syi'ir. Dan adanya qofiyah yang membahas ujung kata di dalam bait syiir yang terdiri dari huruf akhir yang mati di ujung bait sampai dengan huruf hidup sebelum huruf mati. Jika diperhatikan pada syair dibawah ini:
يا نبى / سلام / عليك # يا رسول / سلام / عليك.[34]
o/o// o/// o//o/ o/o// o/// o//o/
)فاعلن – فاعل/ القصر – فعولن ( )فاعلن – فاعل/ القصر – فعولن (
Pada syair diatas menunjukan adanya penggunaan wazan (timbangan), yaitu pengulangan nada (rima) yang sama pada akhir bait. Maka dalam hal ini dibenarkan oleh Thaha Husein bahwasanya syair adalah kata-kata yang bersandar pada musik dan wazan, karenaya syair tersusun dari bagian-bagian yang serupa satu sama lainnya mengenai panjang-pendek dan hidup matinya suatu kata atau ketukan.[35] Seperti halnya pada contoh syair diatas yang menggunakan wazan dan qofiyah, karena syair dalam sastra Arab itu memiliki bai-bait syair yang berwazan kemudian membentuk satu –kesatuan yang disebut “bahar”. Dalam hal ini para ulama Arud membagi bahar syair dalam 16 bagian, seperti dalam bagan berikut ini:[36]
الرقم
المقطع
التفعيلة
البحر
الوزن
1
سبب خفيف
مستفعلن
البسيط
مستفعلن – فاعلن - مستفعلن – فاعلن
2
الرجز
مستفعلن – مستفعلن – مستفعلن
3
السريع
مستفعلن – مستفعلن – فاعلن
4
فاعلا تن
الرمل
فاعلاتن – فاعلاتن – فاعلاتن
5
الخفيف
فاعلاتن – مستفعلن – فاعلاتن
6
المديد
فاعلاتن – فاعلن – فاعلاتن
8
فعولن
الطويل
فعولن – مفاعيلن – فعولن – مفاعيلن
9
وتد مجموع
المتقارب
فعولن – فعولن – فعولن – فعولن
10
مفاعلتن
الوافر
مفاعلتن – مفاعلتن – فعولن
11
مفاعيلن
الهزج
مفاعيلن – مفاعيلن
12
فصدر صغير
متفاعلن
الكامل
متفاعلن – متفاعلن – متفاعلن
13
المنسرح
مستفعلن – مفعولات – مستفعلن
14
المجتث
مستفع لن – فا علا تن
15
المضارع
مفا عيلن – فاع لا تن
16
المقتضب
مفعولات – مستفعلن
Bahar adalah harokat huruf hidup dan huruf mati yang membentuk taf’ilah-taf’ilah dan menjadi bahar pada syair, sedangkan qofiyah yaitu jama’nya qowafi artinya tengkuk atau belakang leher, secara istilah adalah bagin (taf’ilah) terakhir dari suatu bait, yang dihitung mulai dari dua huruf mati yang terakhir dan satu huruf hidup yang ada sebelum kedua huruf mati tersebut. Setelah dilihat dari syair diatas tidaklah mengandung wazan (bahar) dan qofiyah layaknya unsur-unsur pada syair lainnya. Hal ini membuktikan bahwa ada sebagian syair yang memang hanya terikat pada maqta’- maqta’ saja (bagian-bagian dari taf’ilah).
B. Jenis Sya’ir
Para kritikus sastra, seperti Thaha Husein dan Ahmad al-Syayib membagi syair dari segi isinya menjadi tiga macam, yaitu: 1) syair epik/cerita (al-qishahi), 2) syair lirik (al-ghinai) dan 3) syair drama (tamtsili).[37]
1) Syair Epik / Cerita (al-qishashi)
Adalah jenis novel yang bersifat objektif (maudhu’i). Ia berupa kasidah panjang yang menceritakan peristiwa-peristiwa sejarah, kemudian disusun dalam bentuk cerita kepahlawanan untuk dinyanyikan, seperti, Ilyadzah dan udisa karya Humiraus, kisah bangsa Yunani yang terdiri dari 16 ribu bait, mahabarata, kisah India yang terdiri dari 100 ribu bait, dan syahanamah al-firdaus, kisah orang Persia yang terdiri dari 60 ribu bait.
2) Syair Lirik (al-ghina’i)
Adalah syair yang secara langsung mengungkapkan perasaan, baik perasaan sedih maupun harapan. Ia ia berupa kasidah yang cukup panjang, bersifat subyektif (dzati), dan lebih tepat untuk menggambarkan kepribadian seeorang. Jenis syair ini sangat terkenal atau sering sekali dipergunakan oleh para sastrawan Arab, yang biasanya dipergunakan untuk tujuan memuji, mengejek, meratap, merayu, dan sebagainya.
3) Sayir Drama (Tamtsili)
adalah syair yang dibuat untuk disaksikan diatas panggung, dan bersifat objektif. Karena terbatas oleh waktu dan tempat, maka jumlah baitnya tidak sepanjang syair-syair lainnya.
Sedangkan dilihat dari segi lahirnya, syair Arab terbagi menjadi:
1. Syair Multazam /Tradisional
Syair tradisional atau klasik merupakan syair yang masih terikat dengan aturan wazan dan qofiyah lazimnya berbentuk qosidah (dua baris sejajar). Seperti syair qosidah al-Busairi (608-695 H) yang memuji Nabi Muhammad SAW:
محمد سيد الكونين والثقلين # والفريقين من عرب ومن عجم
هو الحبيب الذى ترجى شفاعته # لكل هول من الأهوال مقتحم.[38]
“Muhammad adalah pemimpin dunia dan akhirat/pemimpin jin dan manusia/ pemimpin orang Arab/kekasih yang syafaatnya diharapkan/dari seluruh ketakutan (pada hari kiamat) yang menyerbu hati.”
Pada syair diatas, penulis menemukan bahwa susunannya terdiri dari wazan
مستفع لن – فاعلا تن – مستفع لن – فاعلا تن dengan bahar mujtast. Pada syair diatas ditemukan Zihaf Mufrod yang berbentuk Khoban (membuang huruf kedua yang mati), ‘Ilat Qoshr (membuang huruf mati sabab al-khofif serta mematikan huruf yang hidup), Zihaf Muzdawij yang berbentuk as-Syakl (menggabungkan khoban dan kaff ). Sedangkan qofiyah pada syair diatas berbentuk qofiyah mimiyah. Adanya bahar dan qofiyah menunjukan ciri khas dari pada syair Multazim.
2. Syair Lepas ( الشعر المرسل)
Syair Mursal adalah syair yang terikat dengan satuan irama atau taf’ila, yang tidak terikat oleh wazan dan qofiyah tertentu. Taf’ilah adalah kesatuan yang meliputi maqta’-maqta’.[39] Adapun contoh dari syair ini adalah:
يا نبى / سلام / عليك # يا رسول / سلام / عليك
)فاعلن – فاعل/ القصر – فعولن ( )فاعلن – فاعل/ القصر – فعولن (
أنت شم / س أن / ت بدر/ # أنت نو / ر فو / ق نور.[40]
)فاعلن – فاعل/ القطع – فعولن ( )فاعلن – فاعل/ القطع – فعولن (
Setelah dilihat dari syair diatas tidaklah mengandung wazan (bahar) dan qofiyah layaknya unsur-unsur pada syair lainnya. Hal ini membuktikan bahwa ada sebagian syair yang memang hanya terikat pada maqta’- maqta’ saja (bagian-bagian dari taf’ilah).
3. Syair Bebas ( الشعر الحر )
Syair bebas adalah syair yang tidak terikat oleh aturan wazan dan qofiyah yang ada, secara bentuk kadang kala mendekati gaya natsr, yang susunan barisnya tidak dalam bentuk qosidah (dua baris sejajar), tetpai tersusub kebawah. Sebagai contoh syair karya Abu Syadzi dalam karyanya, ia menyusun bentuk syairnya tidak dalam dhorob dan arudh, akan tetapi tersusun kebawah.
تفتش فى لب الوجود معبرا عن الفكرة العظمى به لألباب
تترجم اسمى معانى البقاء
وتثبت بافن سر الحياة
“Telitilah inti wujud sambil mengungkap pikiran agung/terjemahkanlah makna keabadian tertinggi/dan pastikanlah rahasia kehidupan lewat seni.”[41]
C. Unsur Sya’ir
Dalam kajian sastra Arab disebutkan, bahwa sebuah ungkapan dapat dikategorikan sebagai karya sastra, baik genre syair maupun genre prosa, apabila ungkapan tersebut memenuhi empat unsur, yaitu: 1) ‘Athifah(Rasa), 2) Khayal (Imajinasi), 3) Fikrah (Gagasan) dan 4) Shurah (Bentuk).
Dalam kajian sastra Arab disebutkan, bahwa sebuah ungkapan dapat dikategorikan sebagai karya sastra, apabila memenuhi empat unsur yaitu: Lafadz, Wazan, Ma’na dan Qofiyah. Sebagaimana perkataan Ibnu Rasyid yang mengutif dari Ahmad al-Syayib dalam buku Pengantar Teori Sastra Arab bahwasanya: “Syair itu terdiri dari empat hal, yaitu lafadz, wazan, ma’na dan qofiyah. Inilah batasan syair, karena ada sebuah kalam (ungkapan) yang berirama dan berqofiyah tetapi tidak dapat dikategorikan sebagai syair, karena tidak dibuat dan tidak dimaksudkan syair, seperti al-Qur’an dan hadts Nabi SAW.[42]
Perkataan adalah lafadz yang tersusun dan yang memberi manfaat serta berbahasa arab atau wadha’.[43] Musa’yan Hamid dalam kitab nya menjelaskan bahwa sya’ir arab hanya menggunakan kata-kata yang indah yang diikuti dengan timbangan atau wazan dan fasihah serta tidak meninggalkan kaidah-kaidah bahasa arab dan tidak pula menggunakan bahasa daerah dan bahasa arab tidak resmi atau amiyah.
Wazan adalah hasil pengulangan baris serupa yang ada diakhir sya’ir.[44] Sementara dalam Arud mengatakan bahwa Wazan atau bahar didalam sya’ir arab biasanya 16 bentuk yang dibagi karena sebab khofifif, watad majmu’ dan akhir kalimat.[45] Ada yang menyebut al-fikrah dengan istilah المعنى (tema), dan shurah dengan istilah الأسلوب (gaya bahasa). Unsur – unsur ini yang kemudian disebut dengan istilah unsur-unsur intrinsik (al-anashir al-dakhiliyyah), yaitu unsur-unsur dalam yang membangun sebuah karya sastra.[46]
D. Tujuan sya’ir
Tujuan sya’ir merupakan tema-tema yang ditampilkan oleh para penyair dalam mendeskripsikan sairnya, dalam hal ini para penyair dimasa islam membagi tujuan syair pada 8 bagian, yaitu: Fahor, Hamasah, Madh, Hija’, Ghajal, Rotsa’, Hikmah dan I’tidzar.[47] Sementara itu menurut Rosyiq dalam bukunya al-‘Umdah fi muhasin as-Syi’ri wa adabihi wa naqdihi membagi tujuan syair 11 bagian, yaitu: nasib, madh, iftihor, rotsa, iqtidha, istinjaz, ‘uttab, wa’id, i’ndzar, hija’ dan i’tidzar.[48] Namun menurut Inrevolzon dalam kitabnya Tarikh Adab seperti perkataan para penyair Arab Jahiliyah membagi menjadi delapan tujuan atau tema sya’ir Arab, yaitu:[49]
1. Al-Madh (puisi pujian). Puisi jenis ini biasanya digunakan untuk memuji seseorang dengan segala sifat dan kebesaran yang dimilikinya seperti kedermawanan, keberanian maupun tingginya kepribadian ahlak seseorang yang dipujinya. Seperti sya’ir Nabighah yang memuji Raja Nu’man;
فإنك شمس والملوك كواكب # إذا طلعت لم يبد منهن كوكب.[50]
Artinya; “Engkau adalah matahari sedang raja-raja yang lain adalah bintang, apabila matahari terbit maka bintang-bintang yang lain tidak mampu menampakan diri”.
2. Al-Hija’ puisi cercaan puisi ini digunakan untuk mengejek atau mencaci seorang musuh dengan menyebutkan keburukan musuh, baik itu untuk mengejek individu musuhnya maupun kelompoknya. Seperti sya’ir Abu al-Najm al-Ajli ketika mengejek al-Ajjaj;
أني وكل شاعر من البشر # شيطانه أنثى و شيطاني ذكر.[51]
Artinya: “Aku dan semua penyair sama-sama manusia
Tetapi ia syaitonnya seorang perempuan dan syaitonku seorang lelaki.
3. Al-fakhor adalah jenis syair yang menyebutkan kebaikan sifat suatu kelompok, seperti syair Rabi’ah bin Maqrum saat memamerkan kelebihannya:
وأنى تسأليني فاني امرؤ # أهن اللئيم وأحبو الكرما
وأبني المعالي بالمكرمات # وأرضي الخليل وأروى النديم.[52]
Artinya: “ jika engkau bertanya kepadaku aku membenci orang hina
Aku mendekati orang mulia
aku membangun tempat terhormat dengan sifat-sifat kemuliaan
aku menyukai sahabat.
4. Al-Hamasah puisi semangat yakni puisi ini digunakan untuk membangkitkan semangat dan membakar emosi pasukannya ketika ada suatu peristiwa semacam perang atau membangun sesuatu motivasi dalam hidup untuk berjuang. Dengan kata lain, sya’ir ini bertujuan untuk memberikan semangat kepada kabilah yang berperang dengan menyebutkan kelemahan-kelemahan pihak lawan. Seperti sya’ir Rasyid ibn Shihab al-Yaskary yang menantang Qais ibn Mas’ud al-Syaibany di pasar Ukaz;
ولا توعدنى إننى إن تلاقنى # مع مشرفى فى مضاربه قضم
وذم يغشى المرء خزيا ورهطه # لدى السرحة الشعاء فى ظلها الأدم
Artinya ; “ Jangan mengancamku, sungguh jika kau menemui bersamaku pedang tajam dengan darah yang terus mengalir karena sayatannya. Dan celaan yang membuat pingsan korbannya karena malu dan hina disaksikan berbagai kabilah dibawah pohon di Qubag Adam “.[53]
5. Al-Ghozal adalah jenis puisi yang didalamnya berisi tentang ungkapan cinta bagi sang kekasih biasanya menyebutkan tentang wanita dan kecantikannya bahkan tempat tinggalnya atau pun segala sesuatu yang berhubungan dengan kisah percintaan mereka. Seperti sya’ir A’sa ketika ditinggalkan kekasihnya Harirah;
غراء فرعاء، مصقول عوارضها # تمشى الهوينى كما يمشى الجى الوحل
كأن مشيتها من بيت جارتها # مر السحابة لا ريث ولا عجل
Artinya; “Seolah-olah jalannya dari rumah tetangganya, seperti jalannya awan tidak lambat dan tidak juga cepat”.[54]
6. Al-I’tidzar adalah sebuah syair ungkapan permohonan maaf secara khusus dengan lisan maupun dengan perbuatan kepada suatu kelompok tertentu.
Seperti syair permohonan maaf Mutalmis kepada keluarganya:
فلو غير أخوالي أراد وانقصني # جعلت لهم فوق العرانين ميسما
وما كنت إلا مثل قاطع كفه # بكف له أخرى فأصبح أجذما.[55]
7. Ar-Ritsa’ puisi belasungkawa, puisi ini digunakan untuk mengingat jasa seseorang yang sudah meninggal dunia. Semisal sya’ir al-Muhalhil ketika ia meratapi kepergian saudaranya yang bernama Kulaib:
دعوتك يا كليب فلم تجبني # وكيف بجيبني البلد القفار
أجبني يا كليب خلاك ذم # لقد فجعت بفارسها نزر.[56]
Artinya; “ Wahai Kulaib aku memanggilmu mengapa engkau tidak menjawab
Bagaimana negeri yang kering menjawabku
Wahai Kulaib jawablah ! selain kamu tercela
Kabilah Nizar telah merasa pedih karena penunggang kudanya.
8. Al-Washf puisi jenis ini biasanya digunakan untuk menggambarkan suatu kejadian ataupun segala hal yang menarik seperti menggambarkan jalannya peperangan, keindahan alam dan sebagainya. Seperti sya’ir Imruul Qais yang menggambarkan kudanya dengan ungkapan yang begitu indah.
وقد أغتدى والطير فى وكناتها # بمنجرد قيد الأوابد هيكل
مكر مفر مقبل مدبر معا #كجلمود صخر حطه السبيل من عل.
Artinya; “ Pagi-pagi aku sudah pergi berburu saat itu burung-burung masih tidur disangkarnya, mengendarai kuda yang bulunya pendek besar, larinya cepat mampu mengejar binatang buas yang sedang berlari kencang, maju dan mundur bersamaan secepat kilat seperti hanya satu gerakanseperti batu besar yang runtuh terbawa banjir dari tempat tinggi”.[57]
E. Biografi Penyair
Abu-Ali Al-Hasan bin Hani Al-Hakami (750-810), biasanya dikenal sebagai Abu-nawas atau Abu-Nuwas adalah seorang pujangga Arab. Dia dilahirkan di kota Ahvaz di negeri Persia, dengan darah Arab dan Persia mengalir di tubuhnya. Abu Nawas dianggap sebagai salah satu penyair terbesar sastra Arab klasik.[58] Pendapat lain adalah nama asli Abu Nawas adalah Abu Ali al-Hasan bin Hani al-Hakami. Dia dilahirkan pada 145 H (747 M ) di kota Ahvaz di negeri Persia (Iran sekarang), dengan darah dari ayah Arab dan ibu Persia mengalir di tubuhnya. Ayahnya, Hani al-Hakam, merupakan anggota legiun militer Marwan II. Sementara ibunya bernama Jalban, wanita Persia yang bekerja sebagai pencuci kain wol. Sejak kecil ia sudah yatim. Sang ibu kemudian membawanya ke Bashrah, Irak. Di kota inilah Abu Nawas belajar berbagai ilmu pengetahuan.
Masa mudanya penuh perilaku kontroversial yang membuat Abu Nawas tampil sebagai tokoh yang unik dalam khazanah sastra Arab Islam. Meski begitu, sajak-sajaknya juga sarat dengan nilai sprirtual, di samping cita rasa kqemanusiaan dan keadilan. Abu Nawas belajar sastra Arab kepada Abu Zaid al-Anshari dan Abu Ubaidah. Ia juga belajar Al-Quran kepada Ya'qub al-Hadrami. Sementara dalam Ilmu Hadis, ia belajar kepada Abu Walid bin Ziyad, Muktamir bin Sulaiman, Yahya bin Said al-Qattan, dan Azhar bin Sa'ad as-Samman. Pertemuannya dengan penyair dari Kufah, Walibah bin Habab al-Asadi, telah memperhalus gaya bahasanya dan membawanya ke puncak kesusastraan Arab. Walibah sangat tertarik pada bakat Abu Nawas yang kemudian membawanya kembali ke Ahwaz, lalu ke Kufah. Di Kufah bakat Abu Nawas digembleng. Ahmar menyuruh Abu Nawas berdiam di pedalaman, hidup bersama orang-orang Arab Badui untuk memperdalam dan memperhalus bahasa Arab.
Kemudian ia pindah ke Baghdad. Di pusat peradaban Dinasti Abbasyiah inilah ia berkumpul dengan para penyair. Berkat kehebatannya menulis puisi, Abu Nawas dapat berkenalan dengan para bangsawan. Namun karena kedekatannya dengan para bangsawan inilah puisi-puisinya pada masa itu berubah, yakni cenderung memuja dan menjilat penguasa.
Dalam Al-Wasith fil Adabil 'Arabi wa Tarikhihi, Abu Nawas digambarkan sebagai penyair multivisi, penuh canda, berlidah tajam, pengkhayal ulung, dan tokoh terkemuka sastrawan angkatan baru. Namun sayang, karya-karya ilmiahnya justru jarang dikenal di dunia intelektual. Ia hanya dipandang sebagai orang yang suka bertingkah lucu dan tidak lazim. Kepandaiannya menulis puisi menarik perhatian Khalifah Harun al-Rasyid. Melalui musikus istana, Ishaq al-Wawsuli, Abu Nawas dipanggil untuk menjadi penyair istana (sya'irul bilad).
Sikapnya yang jenaka menjadikan perjalanan hidupnya benar-benar penuh warna. Kegemarannya bermain kata-kata dengan selera humor yang tinggi seakan menjadi legenda tersendiri dalam khazanah peradaban dunia. Kedekatannya dengan kekuasaan juga pernah menjerumuskannya ke dalam penjara. Pasalnya, suatu ketika Abu Nawas membaca puisi Kafilah Bani Mudhar yang dianggap menyinggung Khalifah. Tentu saja Khalifah murka, lantas memenjarakannya. Setelah bebas, ia berpaling dari Khalifah dan mengabdi kepada Perdana Menteri Barmak. Ia meninggalkan Baghdad setelah keluarga Barmak jatuh pada tahun 803 M. Setelah itu ia pergi ke Mesir dan menggubah puisi untuk Gubernur Mesir, Khasib bin Abdul Hamid al-Ajami. Tetapi, ia kembali lagi ke Baghdad setelah Harun al-Rasyid meninggal dan digantikan oleh Al-Amin.
Penyair khamar. Begitu Abu Nuwas dijuluki sebagian orang, karena dia mengangkat minuman haram sebagai tema puisinya. Dalam puisi khumrayat, ia menggambarkan kelezatan dan keburukannya, pemerasan, pengolahan, rasa, warna, dan baunya hingga para peminumnya. Menurutnya, khamar dapat menenangkan hatinya yang gundah. Abu Nuwas juga sempat dituding sebagai penyair zindik atau pendosa besar gara-gara puisinya yang bertema mujuniyat yang sering dianggap melampaui batas kesopanan dan merendahkan ajaran agama. Tak pernah ada kata terlambat untuk bertaubat. Itulah salah satu pelajaran penting yang diajarkan Abu Nuwas.
Sejak mendekam di penjara, syair-syair Abu Nawas berubah, menjadi religius. Jika sebelumnya ia sangat pongah dengan kehidupan duniawi yang penuh glamor dan hura-hura, kini ia lebih pasrah kepada kekuasaan Allah. Memang, pencapaiannya dalam menulis puisi diilhami kegemarannya melakukan maksiat. Tetapi, justru di jalan gelap itulah, Abu Nawas menemukan nilai-nilai ketuhanan. Sajak-sajak tobatnya bisa ditafisrkan sebagai jalan panjang menuju Tuhan. Meski dekat dengan Sultan Harun al-Rasyid, Abu Nawas tak selamanya hidup dalam kegemerlapan duniawi. Ia pernah hidup dalam kegelapan – tetapi yang justru membawa keberkahan tersendiri.
Syair-syairnya tentang pertobatan bisa dipahami sebagai salah satu ungkapan rasa keagamaannya yang tinggi. Sajak-sajak tobatnya bisa ditafsirkan sebagai jalan panjang menuju Tuhan. Syair yang diciptakannya menggambarkan perjalanan spiritualnya mencari hakikat Allah. Kehidupan rohaniahnya terbilang berliku dan mengharukan. Setelah menemukan Allah, inspirasi puisinya bukan lagi khamar, melainkan nilai-nilai ketuhanan. Di akhir hayatnya, ia menjalani hidup penuh dengan kezuhudan pada Allah sehingga terciptalah syair-syair yang bertemakan kezuhudan (syair Zuhdiyat) . Seperti tahun kelahirannya yang tak jelas, tahun kematiannya terdapat beragam versi antara 806 M hingga 814 M. Ia dimakamkan di Syunizi, jantung Kota Baghdad.
Masa mudanya memang diwarnai dengan gaya hidup yang berbau maksiat. Namun di masa tuanya, Abu Nuwas berubah menjadi seorang sufi. Penyesalan dan pertobatannya dia ungkapkan lewat puisi-puisinya yang bertema zuhdiyat (kehidupan zuhud). Seorang sahabatnya, Abu Hifan bin Yusuf bin Dayah, memberi kesaksian, di akhir hayat Abu Nawas mengisi kehidupannya dengan ibadah.[59]
F. Pengertian al-muhassinat al-ma’nawiyah
Ilmu badie’ adalah ilmu untuk mengetahui jalan memperindah kalam yang telah muthabaqoh dan muqtadholhal.[60] jalan untuk memperindah kalam ini ada yang dititik beratkan pada keindahan makna dan ada yang dititik beratkan pada keindahan lafadz. Dalam hal ini penulis hanya akan menjelaskan keindahan makna nya saja atau yang disebut dengan muhassinat ma’nawiyah.
Menurut Al-akhdhori dalam kitabnya yang berjudul Jawahirul Maknun menyatakan Pembagian al-muhassinat ma’nawiyah ada 32 bagian diantaranya adalah:[61]
1. Badi’ muthabaqah / tadhad / takaafu’
2. Tasyabbuh athraf
3. Muwafaqah / tanasub / tawaquf
4. Badi’ akas
5. Badi’ tas-him / irshod
6. Badi’ musyakalah
7. Badi’ muzawajah
8. Badi’ rujuk
9. Badi’ muqabalah
10. Badi’ tauriyah
11. Badi’ jamak
12. Badi’ tafriq
13. Badi’ taqsim
14. Badi’ jamak serta tafriq
15. Badi’ jamak serta taqsim
16. Badi’ jamak serta tafriq dan taqsim
17. Badi’ laf nasyr
18. Badi’ istikhdam
19. Badi’ tajrid
20. Badi’ mubalaghah
21. Badi’ tafri’
22. Husnu ta’lil
23. Badi’ madzahibul kalam
24. Badi’ taukid maddah bisyibhidz-dzam
25. Badi’ taukid dzam bisyibhil-maddah
26. Badi’ idmaj
27. Badi’ istiba’
28. Badi’ taujih
29. Badi’ qoshdul jiddi bil hazli
30. Badi’ tajahhulil arif
31. Badi’ qaul bil-ijabah
32. Badi’ iththirod.
Sedangkan menurut Doktor Mahmud Ahmad Hasan Al-Maraghi didalam kitabnya yang berjudul Fil balaghah Al-Arobiyah, Ilmu Badie’ menjelaskan bahwasanya al-Muhassinat al-ma’nawiyah berjumlah 21 sebagai berikut:[62]
1. Thibaq
2. Thadod
3. Muqobalah
4. Muro’atun nadzir
5. Tafwief
6. Istithrad
7. Ititrad
8. Tauriyah
9. Mubalaghah
10. Ighal
11. Taqsiem
12. Jam’u
13. Tafrieq
14. Jam’u dan tafrieq
15. Jam’u dan tasiem
16. Jam’u, tafrieq dan taqsiem
17. Tak-kidul madhi
18. Tak-kidudz dzam
19. Madzhabul kalam
20. Iltifat
21. Uslub Hakim
Maka dalam hal ini penulis akan menggunakan pembagian al-muhassinat al-ma’nawiyah menurut Doktor Mahmud Ahmad Hasan Al-Maraghi sebagai pisau analisis sya’ir al-‘itiraf karya Abu Nawas.
G. Pembagian al-muhassinat al-ma’nawiyah (Keindahan-Keindahan Ma’na)
al-Muhassinat al-Ma’nawiyah (Keindahan-keindahan pada ma’na) atau disebut juga فنون (estetika) dalam sebuah syair adalah sebagai berikut:
1. At-Thibaq
Atthibaq atau muthobaqoh atau thadod adalah mengumpulkan dua lafadz yang berhadapan.
1) Ada yang karena berlawanan yakni berbentuk dua isim, Seperti firman Allah:
وَتَحْسَبهُمْ أَيْقَاظاً وَهُمْ رُقُوْدٌ.[63]
Artinya : “ Engkau duga mereka bangun padahal mereka itu tidur”.
Pengertian yang berlawanan disini adalah “ Bangun berlawanan Tidur”.
2) Ada yang karena kebalikannya yakni yang berbentuk dua fi’il, seperti, perkataan Abi Sahr Hadzali:
أما والذي أبكى و أضحك والذي أمات وأحيا والذي أمره ألأمر
Yang berhadapan adalah : “Menangis dan Tertawa, Hidup dan Mati”.
3) Ada yang disebabkan oleh dua huruf, seperti firman Allah SWT:
لَهَا مَا كَسَبَتْ وَعَلَيْهَا مَا اكْتَسَبَتْ.[64]
Artinya: “ Ia mendapat pahala (dari kebajikan) yang diusahakannya, dan ia mendapat siksa (dari kejahatan) yang dikerjakannya.”
4) Ada yang dengan nya berkumpul isim dan fi’il, seperti firman Allah SWT:
اَوَمَنْ كَانَ مَيْتًا فَاَحْيَيْنَاهُ.[65]
Artinya: “ dan apakah orang yang sudah mati kemudian kami hidupkan.”
Pada kata mati (ميتا) adalah berbentuk isim dan pada kata (احييناه) adalah berbentuk fi’il.
- Thibaq terbagi dua, yaitu;
1). Thibaq Ijab adalah Suatu jenis thibaq yang apabila di antara kedua kata yang berlawanan tidak mempunyai perbedaan dalam hal ijab (positif) dan salab (negatif)nya. seperti : وَتَحْسَبهُمْ أَيْقَاظاً وَهُمْ رُقُوْدٌ artinya: “ engkau kira mereka bangun, padahal mereka itu tidur. Kata yang berlawanan adalah bangun dan tidur, keduanya menggunakan bentuk Ijab positif.
2). Thibaq Salab adalah apabila di antara kedua kata yang berlawanan mempunyai perbedaan dalam hal ijab (positif) dan salab (negatif)nya.
Contoh firman Allah SWT :
يستخفون من الناس ولا يستخفون من الله.[66]
Mereka bisa bersembunyi di hadapan manusia; akan tetapi mereka tidak bisa
bersembunyi di hadapan Allah. (Q.S.An- Nisa:108).
kedua kalimat yang berlawanan pada contoh di atas salah satunya berbentuk ijab (positif) dan yang lainnya berbentuk salab(negatif).
2. Iham Thadod atau Taujih
adalah mendatangkan kalimat yang memungkinkan dua makna yang berlawanan secara seimbang, seperti mengejek, memuji, agar orang yang mengucapkan dapat mencapai tujuannya, yaitu tidak memaksudkan pada salah satunya secara eksplisit. Contoh pada ucapan Basyr yang menceritakan Amru , seorang penjahit yang matanya buta. خَطَالِى عَمْرٌ وَقُبَاءٌ # لَيْتَ عَيْنَيْهِ سَوَاءٌ.[67]
artinya: “Si Amru telah menjahit mantel untukku
Mudah-mudahan kedua matanya sama
Ungkapan syi’ir di atas mempunyai dua makna. Pertama, bisa bermakna do’a agar Amr sembuh, sedangkan kedua bisa bermakna sebaliknya, yaitu agar buta keduanya.
3. Muqobalah
Muqobalah menurut perkataan khuzaini ialah mengemukakan dua makna yang sesuai atau lebih kemudian mengemukakan perbandingannya dengan
cara tertib. Seperti firman Allah SWT: فَلْيَضْحَكُوا قَلِيْلًا ، وَالْيَبْكُوا كَثِيْرًا.[68]
Artinya: “ Maka hendaklah mereka tertawa sedikit dan menangis banyak”.
Seperti juga dalam ayat lain;
إِنَّ الْأَبْرَارَ لَفِىْ نَعِيْمٍ وَإِنَّ الْفُجَّارَ لَفِىْ جَحِيْمٍ.[69]
Artinya: “ Sesungguhnya orang-orang yang baik akan ada didalam kenikmatan dan sesungguhnya orang-orang yang jahat akan ada didalam jahim “.
4. Muro’atun nadzir
Muro’atun nadzir adalah mengumpulkan sesuatu dengan yang munasabah, tetapi tidak dengan jalan berlawanan. Contoh:
الشَّمْسُ وَالقَمَرُ بِحُسْبَانٍ وَالنَّجْمُ وَالشَّجَرُ يَسْجُدَانٍ.[70]
Artinya : “ Matahari dan Bulan adalah dengan perhitungan rambat dan pohon kedua-duanya bersujud (takluk).
Penjelasannya adalah matahari dan bulan memang munasabah, karena kedua-duanya benda langit, begitu pula rambat dan pohon.
Seperti perkataan al-Mahlabi Wazir Mu’adz dalam sya’ir madh nya: أنت أيها الوزير إسماعيلي الوعد، شعيبي التوفيق، يوسفى العفو، محمدى الخلوق. فإنه راعى فى مدحه الوزير أن يجعله مناظرا فى كل صفة من الصفات التى مدحه بها آخر، أو اشتهر بهذه الصفة، واستقى هذه الصفات وأصحابها من القرآن الكريم.[71] Dalam pujian wazir sesungguhnya menjelaskan semua sifat para Nabi Allah dengan pujian yang berbeda-beda atau kemasyhuran sifatnya atau juga kemuliaan sifat-sifatnya yang kesemuanya adalah sifat-sifat dari al-Qur’an yang Mulia.
5. Tafwif
Tafwif adalah mendatangkan dua makna dalam satu kata yang sepadan isi kandungannya. Contohnya:
ته أحتمل، واحتكم اصبر، وعز أهن # ودل أخضع، وقل اسمع، ومر اطع.
6. Istithrad
Istithrad adalah ketika seorang pembicara berpindah dari maksud ungkapan yang sedang diucapkannya kepada ungkapan lain yang masih mempunyai keterkaitan dengannya. Setelah itu ia kembali kepada ungkapan yang ditujunya sejak awal.
Contoh :
وَأَنَا أُنَاسُ لَانَرَى المَوْتَ سُبُةً # إِذَا مَا رَأَتْهُ عَامِرُ وَسَلُوْلُ
يُقَرِّبُ حُبُّ المَوْتِ آجَالَنَالَنَا # وَتَكْرَهُهُ آجَالُهُمْ فَتَطُوْلُ
وَمَامَاتَ مِنَّا وَاحِدٌ حَتْفَ أَنْفِهِ # وَلَاطُلَّ مِنَّا حَيْثُ كَانَ قَتِيْلَ
"Sungguh kita adalah umat manusia, Tidak menganggap mati terbunuh suatu cela
Tatakala suku Amir dan suku Salul Memandangnya sebaga cela
Cinta mati mendekatkan kepada kita Menuju datangnya ajal-ajal kita
Namun ajal-ajal mereka membencinya Karena itu menjadi lama
Tiada mati seorang pemimpin kita Dengan cara mati biasa
Tiada penjenguk dari kita Di mana ia mati terbunuh".
Pada susunan kasidah di atas penyair bertujuan untuk menunjukkan kemuliaan, kemudian penyair berpindah dari ungkapan tersebut kepada upaya untuk menyindir dua kelompok suku, yaitu suku Amir dan Salul. Kemudian setelah itu ia kembali lagi kepada tujuan semula, yaitu menampilkan kemuliaan kaumnya.
7. Iththirad
Iththirad adalah suatu ungkapan yang mengandung penyebutan nama dari beberapa bapak atau anak secara tertib dan mutlaq. Contoh jenis uslub ini ucapan Rasulullah saw;
يَاالْكَرِيْمُ ! يَاالْكَرِيْمُ ! يَاالْكَرِيْمُ ! يَاالْكَرِيْمُ ! يُوْسُفُ، يَعْقُوْبُ، اِسْحَاقُ، اِبْرَاهِمُ
اَنْ يَقْتُلُوْكَ فَقَدْ ثَلَّلَتْ عُرُوْشَهُمْ # بِعُتَيْبَةَ بْنَ الحَارِسَ بْنَ شِهَابٍ
"Jika mereka akan membunuhmu, maka sesungguhnya kamu telah menghancurkan keraton mereka dengan 'Uthaibah bin Harits bin Syihab".
Pada kedua contoh di atas terdapat aspek badi’ iththirad. Jenis ungkapan
tersebut pada contoh pertama terdapat pada penyebutan nama Yusuf, Ya'qub,
Ishak, dan Ibrahim. Sedangkan pada contoh kedua terdapat pada ungkapan
'Uthaibah bin Harits bin Syihab. Pada keduanya terdapat pengungkapan nama
ayah dan anak secara tertib.
8. Tauriyah
Tauriyah adalah mengucapkan satu lafadz yang bermakna dua, yang dekat dan yang jauh, sedangkan yang dimaksud makna jauh yang tersembunyi (tidak segera dimengerti).
Menurut quzaini Tauriyah dibagi menjadi dua, yaitu Mujarrodah dan Musyarakhah.
1) Mujarrodah adalah yang kosong dari sesuatu yang mengisyaratkan kepada makna dekat, seperti contoh (الرحمن على العرش استوى).[72] Maka tauriyah pada kaliamat diatas adalah kalimat (استوى ) karena memiliki dua makna, yaitu yang pertama maknanya adalah (Tempat) ini merupakan makna dekat dan bukan yang dimaksud, yang kedua maknanya adalah (kekuasaan), ini adalah makna jauh dan inilah yang maksud.
2) Murosyahah adalah yang disertai dengan sesuatu yang mengisyaratkan kepadamakna dekat, seperti firman Allah SWT:
( والسمآء بنيناها بأيد، وإنا لمو سعون ).[73]
Makna (yad) dengan makna qorib, ialah Tangan dan dengan makna ba’id ialah Kekuasaan. Inilah yang dimaksud oleh ayat tersebut. Lafadz yang mengisyaratkan makna qorib ialah lafadz (بنيناها).
9. Mubalaghah
Mubalaghah adalah ekspresi ungkapan yang mengambarkan sesuatu hal secara berlebihan yang tidak mungkin (tidak sesuai dengan kenyataan). Badi’ jenis ini ada tiga kategori, yaitu tabligh, ighraq, dan ghuluw.
1) Tabligh
Tabligh adalah salah satu jenis ungkapan mubalaghah. Menurut as-Sakaki ialah dinamakan tabligh apabila suatu ungkapan itu mungkin terjadi baik secara logika maupun realita. Contoh syair Amrul Qaisy:
فَعَادَى عَدَاءً بَيْنَ ثُوَرٍ وَنَعْجَةٍ # دِرَاكًا فَلَمْ يَنْضَحْ بِمَاءٍ فَيُغْسَلِ.
“Kuda itu bermusuhan terus menerus antara banteng jantan dan banteng
betina sambil berturut-turut. Ia tidak berkeringat sehingga tidak dimandikan”.
Penyair mengungkapkan bahwa kudanya menemukan banteng jantan
dan banteng betina dalam sebuah persembunyiannya dan kuda itu tidak
berkeringat sekalipun takut. Keadaan ini mungkin terjadi baik menurut akal
maupun menurut adat.
2) Ighraq
Ighraq adalah Apabila suatu ungkapan menggambarkan sesuatu yang secara logika tidak mungkin terjadi tapi menurut realita mungkin terjadi. Contoh syair ‘Amru bin Ahtim at-Taghlibi:
وَنُكْرِمُ جَارَنَا مَادَامَ فِيْنَا # وَنُتْبِعُهُ الْكَرَامَةَ حَيْثُ مَلًا.
“Kami akan memulyakan tetangga kami selama ia masih berada di tempat
kami, dan kami akan mengikutinya dengan penghormatan dimanapun dia pergi".
3) Ghuluw
Sedangkan apabila suatu ungkapan menggambarkan sesuatu baik secara
logika maupun realita tidak mungkin terjadi dinamakan ghuluw. Contoh syair Abu Nuwas:
وَأَخَفْتَ أَهْلَ الشَرْكِ حَتَّى أَنَّهُ # لَتَخَافُكَ النُّطَفُ اَّلتِى لَمْ تُخْلَقِ.
"Kau bikin takut orang-orang musyrik, sampai-sampai embrio mereka yang
belum tercipta pun takut kepadamu".
Menurut Wahbah kategori satu (tabligh) masih bisa dipandang
sebagai suatu bentuk keindahan (muhassinat) imajinasi, sedangkan kategori
kedua (ighraq) dan ketiga (ghuluw) dinilai berlebihan dan justru kehilangan
keindahannya.
10. Ighal
Ighal ialah bagian dari mubalaghah, seperti kata Ibnu Rosyiq: sesungguhnya didalam qofiyah-qofiyah dikhususkan kepadanya (Syair) .
Contohnya :
كناطح صحرة يوما ليوهنها # فلم يضرها وأوهى قرنه الوعل.
11. Taqsiem
Taqsiem terdiri dari tiga macam:
1) Menyebut semua bagian satu perkara, seperti kata syair:
وأعلم علم اليومِ والأمسِ قبله # ولكنّن عن علمِ مافى غدٍ عمّى.
Artinya: “ Aku tahu pengetahuan hari ini dan pengetahuan yang kemarin yang sebelumnya, tetapi aku buta dari pengetahuan yang akan ada esok hari”.
2) Menyebut beberapa perkara yang bersifat atau berhukum, kemudian menetapkan sifat atau hukumnya kepada masing-masing. Contoh :
ولا يقيم على ضيمٍ يُراد به * إلاّ الأذِ لاّن عير الحيِّ والوتدُ
هذا على الخسف مربوطٌ برمّتهِ * وذا يُشجُّ فلا يرْثِى له أحدُ
Artinya: “ tidak ada yang mau menerima aniaya yang disengaja kecuali dua perkara yang hina, yaitu: keledai kampung dan pasak. Yang ini sedemikian hina ditambat dengan tambangnya. Dan yang ini dipukuli (dilukai) kepalanya, lalu tidak ada yang mengasihaninya seorangpun”.
3) Menyebut hal ihwal satu perkara dengan dihubungkan kepada yang layak baginya, seperti kata syair:
سأطلب حقّى بالقنا من مشايخِ # كأنّهم من طول مالتثموا مردُ
ثقالٌ إذا لا قوا خفافٌ إذا دعوا # كثيرٌ إذا شدُّوا إذا شذُّو قليلٌ إذا عذُّوا
Artinya: “ Aku menuntut hakku dengan tombak dari orang-orang tua yang karena lamanya mereka berkerudum seakan-akan orang muda belia, enggan bila menemui musuh, ringan bila diundang, makan banyak bila diikat tangannya, sedikit bila dihitung”.
12. Jam’u
Jam’u adalah mengumpulkan yang berbilang pada satu hukum.
Contoh:
إنّ الشباب والفراغ والجدة * مفسدةٌ للمرء أيَّ مفسدة.
Artinya : “ Sesungguhnya masa remaja, pengangguran dan kekayaan sangat merusak orang”.
المال والبنون زينة الحياة الدنيا.
Artinya : “Harta benda dan anak-anak adalah perhiasan kehidupan dunia”.
13. Tafrieq
Tafriek adalah membedakan dua perkara yang sejenis, seperti:
مانوالُ الغمام وقت ربيعٍ # كنوال الأمير وقت سخاءٍ
فنوال الأمير بذرة عينٍ # ونوال الغمام قطرة ماءٍ
Artinya: “Pemberian mega pada musim hujan tidak seperti pemberian gubernur diwaktu bermurah hati, sebab pemberian gubernur itu sepuluh ribu dirham, sedangkan pemberian mega hanya setitik air”.
14. Jam’u serta Tafrieq
Bahasan ilmu badi’ lainnya adalah tentang al-Jam’u wa al-tafrq. Jam’u adalah seorang mutakallim menghimpun beberapa Lafazh dibawah satu hukum. Sedangkan tafriq merupakan kebalikannya yaitu seorang mutakallim menyebut dua hal kemudian dia menjelaskan perbedaan dari kedua hal tersebut.
a. Al-jam’u / Jamak adalah seorang mutakallim menghimpun di antara makna lafazh yang berbilang di bawah satu hukum. Penghimpunan lafazh-lafazh bisa antara dua lafazh atau lebih.
Contoh gabungan dua lafazh;
المال والبنون زينة الحيواة الدنيا
Artinya: “Harta dan anak-anak adalah perhiasan kehidupan dunia”.
Contoh gabungan lebih dari dua lafazh;
انما الخمر والميسر والأنصاب والأزلام رجز من عمل الشيطان
Artinya: “Sesungguhnya (meminum) khamar, berjudi, (berkorban) untuk berhala, mengundi nasib dengan anak panah, adalah perbuatan keji termasuk perbuatan syetan.”
b. Tafrieq dalam pandangan para ulama balaghah adalah Tafriq adalah seorang mutakallim sengaja menyebut dua hal yang sejenis, kemudian dia mengungkapkan perbedaan dan pemisahan di antara keduanya. Pengungkapan penjelas ini bertujuan untuk memuji, mencela, menisbatkan, dan tujuan-tujuan lainnya.
Contoh Firman Allah surah Fathir ayat 12:
وَمَا يَسْتَوِى اْلبَحْرَانِ هَذَا عَذْبٌ فُرَاتٌ سَائِغٌ وَهَذَا مِلْحٌ أُجَازٌ.[74]
Artinya : “Dan tidak sama di antara dua laut; yang ini tawar, segar, sedap diminum dan yang lainnya asin. (Q.S Fathir:12)”.
15. Jam’u serta Taqsiem
Jam’u serta Taqsiem adalah mengumpulkan beberapa hal pada satu hukum, lalu membagikannya atau sebaliknya, yaitu membagi pengertian yang banyak, lalu mengumpulkannya. Contoh dalam syair:
حتى أقام على ارباض خرسنة # تشقى به الروم والصلبان والبيع
للسبي ما نكحوا والقتل ما ولدوا # والنهب ما جمعوا والنار ما زرعوا
Artinya : “ sehingga ia mukim disekitar kota khorasan. Dengan adanya dia disana, rusaklah kota Rum, gambar-gambar salib dan sembahan bangsa Rum itu. Mereka tidak bisa kawin sebab ditawan, tidak beranak sebab dibunuh, tidak bisa mengumpulkan harta, sebab dirampas dan tidak bisa bertani, sebab dibakar”.
Yang rusak (Jamak), ialah bangsa Rum, gambar-gambar salib dan patung-patung, lalu diadakan perincian kerusakannya.
16. Jam’u, Taqsiem dan Tafrieq
Jam’u, Taqsiem dan Tafrieq mengumpulkan, lalu dipisahkan serta dibagikan, sebagai mana dalam Firman Allah SWT:
يَوْمَ يَأْتِ لَا تَكَلَّمُ نَفْسٌ إِلَّا بِإِذْنِهِ ، فَمِنْهُمْ شَقِيٌّ وَسَعِيدٌ، فَأَمَّا الَّذِينَ شَقُوا فَفِي النَّارِ لَهُمْ فِيهَا زَفِيرٌ وَشَهِيقٌ ،خَالِدِينَ فِيهَا مَا دَامَتِ السَّمَاوَاتُ وَالْأَرْضُ إِلَّا مَا شَاءَ رَبُّكَ ، إِنَّ رَبَّكَ فَعَّالٌ لِّمَا يُرِيدُ ، وَأَمَّا الَّذِينَ سُعِدُوا فَفِي الْجَنَّةِ خَالِدِينَ فِيهَا مَا دَامَتِ السَّمَاوَاتُ وَالْأَرْضُ إِلَّا مَا شَاءَ رَبُّكَ ، عَطَاءً غَيْرَ مَجْذُوذٍ .[75]
Artinya: Di kala datang hari itu, tidak ada seorangpun yang berbicara, melainkan dengan izin-Nya; maka di antara mereka ada yang celaka dan ada yang berbahagia. Adapun orang-orang yang celaka, maka (tempatnya) di dalam neraka, di dalamnya mereka mengeluarkan dan menarik nafas (dengan merintih). Mereka kekal di dalamnya selama ada langit dan bumi, kecuali jika Tuhanmu menghendaki (yang lain). Sesungguhnya Tuhanmu Maha Pelaksana terhadap apa yang Dia kehendaki. Adapun orang-orang yang berbahagia, maka tempatnya di dalam surga mereka kekal di dalamnya selama ada langit dan bumi, kecuali jika Tuhanmu menghendaki (yang lain); sebagai karunia yang tiada putus-putusnya.
17. Tak-kidul madhi
Tak-kidul madhi terbagi dua macam;
a. Menegcualikan sifat pujian dari pada celaan yang dinafyikan. Contoh pada syair Nabigoh adz-dzibyani berikut:
ولا عيبَ فيكم غير أنّ ضيوفكم # تعابُ بنسيان الأحبّة والوطن
Artinya: “ tidak ada kecacatan pada kalian hanya sayang tamu-tamu kalian dicela karena lupa pada kekasih dan tanah air”.
ليس به عيبٌ سوى أنهُ لاتقع العين على شبههِ
Artinya: “ tidak ada cacat padanya, hanya sayang mata tidak dapat melihat serupanya”.
b. Mengecualikan sifat pujian dari pada sifat pujian pula yang ditetapkan sebelum pengecualian itu. Contohnya :
فتىً كملتْ أصافه غير أنهُ # جوادٌ فما يُبقِى من المال باقياً.
Artinya: “ Dia seorang pemuda yang sempurna sifat-sifatnya hanya sayang dia seorang pemurah hati, tidak suka menyisakan harta benda”.
18. Tak-kidudz dzam
Ta-kidudz dzam ini terbagi dua macam;
a. Mengecualikan sifat celaan dari sifat pujian yang dinafyikan, seperti kata syair;
خلامن الفضل غير أنه # أراه فى الحمقِ لا يجارىْ
Artinya: “ Dia kosong dari keutamaan, hanya untungnya saya melihat dia tidak ada taranya dalam kepandiran”.
b. Mengecualikan sifat celaan dari sifat celaan pula, seperti kata sya’ir;
هو الكلبُ إلاّ أنّ فيه ملالةً # وسوء مراعاةٍ وماذاك فى الكلب
Artinya: “ Dia adalah anjing, hanya untungnya dia punya sifat jemu/malas dan salah urus dimana hal ini tidak ada pada anjing”.
19. Madzhabul Kalam
Madzhabul Kalam adalah pembicara menginginkan argumen dengan cara bicara ahli kalam (pasih).
Contohnya firman Allah SWT:
لوكان فيهما آلهة إلاّ الله لفسدتا.[76]
Artinya: sekiranya ada dilangit dan dibumi tuhan-tuhan selain Allah, tentulah keduanya itu telah rusak binasa.
20. Iltifat
Secara etimologi kata iltifat adalah bentuk mashdar dari kata اِلْتَفَتَ, mengikuti wazan اِفْتَعَلَdengan tambahan hamzah dan ta. Kata dasarnya adalah لَفَتَSecara etimologis, kata لَفَتَ memiliki arti الصَّرْفُ (perubahan), الْقَبْضُ (genggaman), الْفَتْلُ(lilitan), ﹸالأَكْلُ (makan), النَّظْرُ(melihat), المَزْجُ (campuran) dan ﹸ الخِلَطُ(campuran).
1. Al-Hasyimi mendefenisikan Iltifat adalah perpindahan dari semua
Dhamir, mutakallim, mukhathab atau ghaib kepada dhamir lain, karena tuntutan dan keserasian yang lahir melalui pertimbangan dalam menggubah perpindahan itu, untuk menghiasi percakapan dan mewarnai seruan, agar
tidak jemu dengan satu keadaan dan sebagai dorongan untuk lebih
memperhatikan, karena dalam setiap yang baru itu ada kenyamanan, sedangkan sebagian iltifât memiliki kelembutan, pemiliknya adalah rasa bahasa yang sehat.
2. Al-Zamakhsyari mengemukakan Sesungguhnya iltifât menyalahi realita
dalam mengungkapkan sesuatu dengan jalan menyimpang dari salah satu
jalan yang tiga kepada yang lainnya.
3. Didalam buku syarah Jauharul Maknun ditemukan defenisi Iltifat adalah perpindahan dari sebagian gaya bahasa kepada gaya bahasa lain yang mendapat perhatian.
Firman Allah SWT:
ومالي لا أعبد الذي فطرني وإليه ترجعون.[77]
Artinya: “ Mengapa Aku tidak menyembah (Tuhan) yang telah menciptakanku dan dan hanya kepada-Nya kamu akan dikembalikan.
Ayat diatas menggunakan gaya bahasa Iltifat berupa perpindahan dhomir, yaitu dari dhomir mutakallim ومالي (mengapa Aku), kepada dhomir mukhotob ترجعون (kamu akan dikembalikan), dan ternyata dhomir baru itu dhomir mukhotob pada ترجعون kembali pada dhomir yang sudah ada dalam materi yang sama yaitu dhomir mutakallim pada ومالي.
Para pakar balaghah bersepakat bahwa iltifat, dhamirterdiri dari 5 macam, yaitu iltifatdari mutakallim (persona I) kepada mukhathab (persona II), iltifât dari mutakallim (persona I) kepada ghaib (persona III), iltifat dari mukhathab (persona II) kepada ghaib (persona III, iltifat dari ghâib (persona III) kepada mukhathab (persona II) dan iltifâtdari ghaib (persona III) kepada mutakallim (persona I).
21. Uslub Hakim
Uslub Hakim adalah melontarkan kepada mukhatab pembicaraan yang tidak diinginkan, baik dengan cara meninggalkan pertanyaannya dan memberi jawaban yang tidak ditanyakan, atau dengan membelokan pembicaraan kepada masalah yang tidak ia maksudkan. Hal ini sebagai pertanda bahwa selayaknya mukhatab itu menanyakan atau membicarakan masalah yang kedua (pembicaraan orang yang melayani) itu.
Contoh : Ibnu Hajjaj berkata :
قُالْتُ ثَقَلْتُ إِذْا أَتَيْتُ مِرَارًا # قَلَ ثَقَلْتَ كَاهِلِى بِالْآيَادِي
قُلْتُ طَوَّلْتُ قَلَ لاَ، بَلْ تَطَوَّلْتُ # وَأَبْرَمْتُ قَلَ حَبْلَ وِدَادِي
“Ia berkata:Aku telah memberatkan kamu karena aku sering berkunjung kepadamu. Aku berkata: kamu memberatkan punggungku dengan tangan-tanganmu. Ia berkata: Aku berlama-lama. Aku menjawab: kamu menyerahkan pemberian. Ia berkata: Aku membosankan. Aku menjawab: Tali kasih sayangku”.
Pada contoh Uslub Al-Hakim ini teman Ibnu Hajjaj berkata bahwa ia telah memberatkannya sering berkunjung kepadanya. Maka Ibnu Hajjaj memalingkannya dari pernyataannya itu dengan cara menjawab ungkapan yang mengandung nilai seni dan lembut. Lalu ia berkata dengan makna lain, “Kamu telah memberatkan punggungku dengan banyak nya kenikmatan yang kamu berikan.”. keindahan bahasa yang demikian disebut Uslub Al-Hakim (gaya bahasa orang yang bijaksana).
BAB III
Analisis sya’ir al-I’tiraf karya Abu Nuwas
A. Sya’ir al-I’tiraf dan terjemahannya
Penulis tidak menemukan teks arab syair al-I’tiraf pada diwan Abu Nawas yang berbahasa arab, namun penulis menemukan teks asli syair al-I’tiraf dalam bahasa Jerman yang ditulis oleh Alfred Van Kremer dalam bukunya Diwan des Abu Nuwas. Syair ini terdiri dari 6 baris dengan rincian sebagai berikut: [78]
1. O Gottesfurchtiger, die seelenruh’geniess’
Es sei durch sie dein Leben songenfrei un stiss,
2. Un Gott sei deines strebens ziel und nicht dein Leib
Dess Jugendkraft im Alter schnelle dich verliess.
3. Er, der dem Fleher stets gewahrt, er ist ein wesen,
Erhaben uber Menschen-Sehwaeh’ und Argerniss,
4. Er, der Nothdurft’ge stets erhort, nicht eingeengt
Ist er in eines Korpers finsteres Verliess
5. O Herz, schau wohl um dich und sei auf deiner Huth,
Den traun Behutsamkeit ist Lebenspflicht gewiss;
6. Und lasse ab vom eitlen Spielzeug dieser Welt,
Den Rettung gibt’s nicht vor des Todes Bitterniss.
Kemudina penulis menemukan syair al-I’tiraf yang berbahsa arab di dalam kumpulan qoshidah yang ditulis oleh M. Misbahul Munir, berikut adalah teks syair “al-I’tiraf ” karya Abu Nuwas, Syair ini terdiri 6 baris dan 3 subide dengan rincian berikut ini:
شعر الإعتراف:[79]
اِلَهِيْ لَسْتُ لِلْفِرْدَوْسِ أَهْلاً ٭ وَلاَ أَقْوَى عَلَى نَارِ الْجَحِيْمِ
فَهَبْ لِي تَوْبَةً وَاغْفِرْ ذُنُوْبِي ٭ فَإِنَّكَ غَافِرُ الذَّنْبِ الْعَظِيْمِ
ذُنُوْبِيْ مِثْلُ اَعْدَادِ الرِّمَالِ ٭ فَهَبْ لِيْ تَوْبَةً يَاذَا الْجَلاَلِ
وَعُمْرِيْ نَاقِصٌ فِي كُلِّ يَوْمٍ ٭ وَذَنْبِي زَائِدٌ كَيْفَ احْتِمَالِي
اِلَهِي عَبْدُكَ الْعَاصِي أَتَاكَ ٭ مُقِرًّابِاالذُّنُوْبِ وَقَدْ دَعَاكَ
فَإِنْ تَغْفِرْ فَأَنْتَ لِذَاكَ أَهْلُ ٭ فَإِنْ تَطْرُدْ فَمَنْ نَرْجُوْ سِوَاكَ
Artinya:
Wahai Tuhanku, aku tidaklah pantas menjadi ahli surga
Tapi aku pun tidak kuat masuk kedalam api neraka
Maka berilah aku taubat (ampunan) dan ampunilah dosaku
Sesungguhnya engkau Maha Pengampun dosa yang besar
Dosaku bagaikan bilangan pasir
Maka berilah aku taubat wahai Tuhanku yang memiliki keagungan
Dan umurku ini berkurang setiap hari
Sedang dosaku selalu bertambah, bagaimana aku menanggungnya
Wahai Tuhanku, Hamba Mu yang berbuat dosa telah datang kepada Mu
Mengakui atas segala dosa dan sebenar-benarnya telah memohon kepada Mu
Maka jika engkau mengampuni, maka Engkaulah Maha pengampun
Jika Engkau menolak, kepada siapakah lagi aku mengharap selain kepada Engkau?
Dalm syair ini penyair menggunakan kata-kata yang cukup mudah dimengerti dan sangat sederhana. Sehingga tidak mengherankan kalau syair ini cukup mudah dihapal dan sangat akrab bagi telinga pembaca, baik orang Arab maupun non-Arab. Aliran puisi atau syair ini beraliran ekspresif. Yang dimaksud dengan ekspresif disini, karena didalamnya mengungkapkan luapan-luapan perasaan disertai dengan hasrat yang sangat kuat. Sedangkan dalam keterangan yang lain dalam Diwan Abi Nuwas terdapat teks yang berbeda namun pesan dan makna yang terkandung didalamnya sama dengan naskah sebagai berikut:
يَا رَبُّ إِنْ عَظَمَتْ ذنُوُبْىِ كَثْرَةً # فَلَقَدْ عَلِمْتُ بِأَنَّ عَفْوَكَ أَعْظَمُ
إِنْ كَانَ لاَ يَرْجُوْكَ إِلاَّ مُحْسِنٌ # فَبِمَنْ يَلُوْذُ , وَ يَسْتَجِيْرُ اْلمُجْرِمُ
أَدْعُوْكَ رَبُّ كَمَا أَمَرْتَ تَضَرُّعًا # فَإِذَا رَدَدْتَ يَدَيَّ فَمَنْ ذَا يَرْحَمُ
مَالِى إِلَيْكَ وَسِيْلَةٌ إِلاَّ الرَّجَا # وَجَمِيْلُ عَفْوِكَ ثُمَّ أَنِّى مُسْلِمٌ.[80]
Artinya:
“ Ya Allah, jika dosaku teramat sangat banyak
Namun, Aku tahu bahwa pintu maaf Mu sangat besar
Aku berdo’a kepada Mu dengan penuh keikhlasan sebagaimana Engkau perintahkan
Lalu jika Engkau menolak tangan permohonanku, lalu siapa yang akan merahmati aku
Jika yang memohon kepada Mu hanya orang yang baik-baik saja
Lalu kepada siapakah orang yang jahat akan memohon
Aku tidak mempunyai washilah kepada Mu kecuali hanya sebuah pengharapan
Juga bagusnya pintu maaf Mu kemudian Aku seorang yang muslim.
Ide pokok yang diemban oleh syair yang kedua “Shalatu Khati” adalah luapan perasaan atas banyaknya dosa dan permohonan ampunan. Luapan perasaan hina dan rendah diri dengan hasrat agar diterima taubatnya. Berharap agar doa yang dipanjatkan didengar oleh Sang Pencipta dengan ungkapan bahwa tiada jalan lain yang dipunyai kecuali harapan dan keyakinan atas ampunan begitu pula atas status keislaman yang disandang sang penyair.
Sedangkan ide pokok syair al-I’ tiraf adalah luapan perasaan atas kenistaan diri dengan ungkapan yang terlihat lucu dan aneh (bukan ahli surga dan juga bukan ahli neraka). Luapan perasaan hawatir akan menumpuknya dosa dan berkurangnya umur (waktu) hidup. Luapan perasaan hina dan rendah diri dengan hasrat agar diterima taubatnya. Dilihat dari unsur rasa atau emosi dalam syair al-I’ tiraf, syair ini mengandung perasaan penyesalan seorang hamba atas semua hal yang telah dilakukan dimasa yang lalu. Yang ditandai dengan ungkapan panggilan yang mendayu-dayu dengan penuh kerendahan diri. Dan luapan hasrat keinginan seorang hamba yang cukup dalam agar apa yang diinginkan (ampunan) dari wujud tobat dirinya diterima oleh Sang Pencipta. Yang ditandai dengan pengakuan dosa dan pengagungan terhadap Sang Pencipta.
B. Unsur al-muhassinat al-ma’nawiyah dalam sya’ir
Tela’ah terhadap syair Abu Nawas "al- I'tiraf " ini menganut teori Joezef Hasyim melalui ‘aqly, khayaly, ‘athify dan fanny yang dipadukan dengan teori struktural Sangidu (2003) melalui tema dan bangunan, daya bayang dan daya imajinasi, diksi atau pilihan kata dengan sentuhan makna dan pilihan kata dengan sentuhan bunyi atau rima dan irama. 1. Unsur ‘Aqly Syair Abu Nuwas " I'tiraf " diatas dibangun dalam 6 bait, dengan mathla’nya yang berbunyi :
اِلَهِيْ لَسْتُ لِلْفِرْدَوْسِ أَهْلاً ٭ وَلاَ أَقْوَى عَلَى نَارِ الْجَحِيْمِ
Kepiawaian penyair dengan merendahkan dirinya dalam menuliskan syair menunjukkan adanya makna istirham yang tersimpan dalam kalam khabar. Dua ungkapan tersebut dihubungkan dengan wawu washol , pada ungkapan kedua terdapat lafadz النار yang memiliki makna berlawanan dengan lafadz فردوس pada ungkapan pertama, dimana dalam ilmu balaghah disebut ath-thibaaq.
فَهَبْ لِي تَوْبَةً وَاغْفِرْ ذُنُوْبِي ٭ فَإِنَّكَ غَافِرُ الذَّنْبِ الْعَظِيْمِ
Ungkapan pertama pada bait ini merupakan bentuk kalam insya' thalabi yaitu bentuk amr, sedangkan pada ungkapan kedua merupakan bentuk kalam khabar, namun pada ungkapan kedua ini diawali dengan fa' fashol karena dlorurotusy syi'r. Ungkapan فهب لي توبة dan واغفر ذنوبي merupakan bentuk ithnab yakni pengulangan makna yang sama dalam konteks yang berbeda.
ذُنُوْبِيْ مِثْلُ اَعْدَادِ الرِّمَالِ ٭ فَهَبْ لِيْ تَوْبَةً يَاذَا الْجَلاَلِ
Dalam bait ketiga ini ungkapan pertama merupakan bentuk kalam khabar dan ungkapan kedua merupakan bentuk kalam insya' thalaby yang berupa amr. Dua ungkapan tersebut dihubungkan dengan fa’ washol.
وَعُمْرِيْ نَاقِصٌ فِي كُلِّ يَوْمٍ ٭ وَذَنْبِي زَائِدٌ كَيْفَ احْتِمَالِي
Dalam bait keempat ini ungkapan pertama merupakan kalam khabar, sedangkan ungkapan kedua merupakan bentuk kalam insya' thalabi bentuk istifham bermakna istirham, dua ungkapan tersebut dihubungkan dengan wawu washol, dalam bait ini terdapat bentuk muqobalah yaitu lafadz وعمرى ناقص dan وذنبى زائد
اِلَهِي عَبْدُكَ الْعَاصِي أَتَاكَ ٭ مُقِرًّابِاالذُّنُوْبِ وَقَدْ دَعَاكَ
Dalam bait kelima ini terdapat dua kalimat yang mempunyai kedudukan yang sama dalam i’rabnya yang dalam ilmu balaghah dinamakan isytirak fi mahalli al-i’rab, kedua ungkapan ini merupakan bentuk kalam khabar.
فَإِنْ تَغْفِرْ فَأَنْتَ لِذَاكَ أَهْلُ ٭ فَإِنْ تَطْرُدْ فَمَنْ نَرْجُوْ سِوَاكَ
Dalam bait keenam ini ungkapan pertama dan kedua merupakan bentuk kalam khabar. Pada ungkapan pertama ungkapan فأنت لذاك أهل merupakan jawab dari فإن تغفر sedangkan pada ungkapan kedua ungkapan فمن نرجو سواك merupakan jawab dari فإن تطرد. Serta kedua kalimat فإن تغفر dan فإن تطرد merupakan bentuk at-thibak dalam bentuk muhassinah ma’nawiyah.
Maka secara rinci penulis menemukan jawaban pada rumusan masalah yang pertama yaitu terdapat 2 bentuk muhassinat ma’nawiyyah didalam syair al-I’tiraf karya Abu Nuwas.
Yaitu pada bait syair pertama pada kata فردوس dan نارyang merupakan bentuk at-Thibaq dari bentuk fa’il dan fa’il. Kemudian pada bait ke-empat terdapat kalimat وعمرى ناقص dan وذنبى زائد merupakan bentuk muqobalah pada muhassinat ma’nawiyyah, dan juga pada bait yang ke-enam terdapat kalimat فان تغفر dan فان تطردmerupakan bentuk at-Thibaq yang berbentuk masdhar.
Sekiranya keindahan ma’na inilah yang menjadi acuan penyair dalam membuat syairnya, terlepas dari itu semua penulis ingin menjelaskan keindahan ma’na pada syair al-I’tiraf karya Abu Nuwas ini dari segi keindahan gaya bahasanya yang mana tentunya masih berkaitan erat dalam mengungkap keindahan ma’na pada syair ini.
Maka unsur fanny (keindahan) pada syair al-I’tiraf merupakan kategori puisi semi modern karena diikat oleh irama atau bahr yang sama dan bunyi akhir atau qafiyah yang beragam, pada bait pertama dan kedua berqafiyah mim, bait ketiga dan keempat berqafiyah lam, dan bait kelima dan keenam berqafiyah kaf. Pada bait ketiga terdapat kata الرمال dan الجلال , pada bait kelima terdapat kata أتاك dan دعاك .
Sedangkan ditinjau dari gaya bahasa (الأسلوب ) adalah sebagai berikut:
Dilihat dari aspek diksi, kata-kata yang dipilih penyair dalam syair ini cukup mudah, dengan gaya populer (kata-kata biasa, kata sehari-hari dan lain sebagainya yang mudah dimengerti oleh masyarakat umum). Misalnya: ناقص، غافر، العاصى، فردوس، النار، الجحيم dan lain sebagainya yang tidak membutuhkan penjelasan lebih. Meskipun demikian, pilihan kata-katanya dilakukan secara hati-hati dan teliti. Sebagai contoh pada pemilihan kata seruan
(nida) إلهي ini menandakan bahwa gaya bahasa yang digunakan adalah apostrof. Selain itu dari segi makna, pemilihan kata إلهي mengandung pesan tersendiri, karena bisa juga diganti dengan يا ربّ، يا إلهي، ربّ dan lain sebagainya, Akan tetapi dengan menggunakan
kata ini, makna kalimat menjadi lebih lembut dan terasa sopan dan kelihatan dekat. Penyebutan kata “فردوس “ yang berarti surga, itu sebenarnya memiliki banyak sinonim dalam bahasa Arab, seper ti جنة النعيم، دار الأبرار، المأوى، عدن، جنة dan lain sebagainya.
Tetapi yang dipakai disini karena dianggap surga yang paling tinggi (al-Zubaidy: 8718) tempat para Nabi dan orang orang soleh. Ini berarti bahwa sang penyair memiliki harapan yang tinggi untuk bisa bersanding bersama para orang-orang soleh namun karena ia merasa
banyak dosa, ia merasa belum pantas. Hal ini dibuktikan dengan kata ذنوب (banyak dosa) yang merupakan bentuk plural atau jamak dari kata ذنوب (dosa). Selanjutnya pemilihan kata عبد(hamba) bukan أمة (budak perempuan), رقيق(budak laki-laki) atau جارية (budak perempuan) ataupun مخلوق (hamba atau ciptaan) itu menunjukkan makna yang sangat dalam karena عبدitu bukan hanya berarti hamba biasa, hamba yang merasa hina dan tunduk.
Kalau ditinjau dari aspek gaya bahasa berdasarkan struktur kalimatnya, puisi ini bergaya klimaks, terbukti pada bait pertama yang makin meninggi tingkat kepentingannya hingga bait kedua. Terlebih kata atau prase pada awal kalimat menggunakan klausa atau kalimat insya’iyah kemudian disusul dengan kalimat khabariyah, yang berimplikasi adanya suatu kepentingan dan memiliki makna bahwa kalimat berikutnya memiliki kedudukan yang lebih tinggi dari kalimat sebelumnya. Begitu seterusnya hingga sampai diakhir bait.
C. Tipologi al-muhassinat al-ma’nawiyah dalam sya’ir al-I’tiraf karya Abu Nuwas.
Puisi الإعتراف diawali dengan bait :
اِلَهِيْ لَسْتُ لِلْفِرْدَوْسِ أَهْلاً ٭ وَلاَ أَقْوَى عَلَى نَارِ الْجَحِيْمِ
bisa dikategorikan sebagai bara’atul istihlal atau pesona awal, dan diakhiri dengan bait:
فَإِنْ تَغْفِرْ فَأَنْتَ لِذَاكَ أَهْلُ ٭ فَإِنْ تَطْرُدْ فَمَنْ نَرْجُوْ سِوَاكَ
Bisa dikategorikan sebagai bara’atul ikhtitam atau pesona akhir, maka dapat penulis jelaskan dengan rinci sebagai berikut:
- Fikroh
Tema atau pokok pikiran pada syair ini adalah sebuah pengakuan abu Nuwas terhadap dosa-dosanya yang amat besar dan pengakuan terhadap samudera ampunan tuhan yang lebih luas dan besar yang akan selalu mengampuni dan memberikan kasih sayang tanpa membeda-bedakan siapapun hamba itu,
- Khayal
Berbicara tentang daya khayal seorang penyair ketika membuat sebuah syair, tentu kita tidak tahu persis. Kita hanya mampu mempersepsikan secara subjektif. Menurut penulis ketika Abu Nuwas membuat syair ini daya khayalnya tertuju kepada pengagungan dan pengapresiasian kepada tuhan karena dia sangat pemurah walaupun sebesar apapun dosa hambanya sehingga dia sempat mengahayal bahwa tidak ada satupun penghubung antara dia dengan tuhannya, dia merasa terpisah dengan tuhannya kecuali satu hal yang menghubungkannya kepada tuhan yaitu pengharapannya,
- ‘Athifah
Penulis yakin perasaan/ rasa yang dialami oleh Abu Nuwas ketika membuat syair ini adalah perasaan sedih, bersalah, dan penyesalan atas yang ia lakukan selama ini, perasaan sedih dan penyesalannya amat bergejolak sehingga ia mampu menciptakan syair ini yang sangat mengharukan.
Maka dengan adanya penggunaan dua bentuk muhassinah ma’nawiyyah berupa at-Tibaq dan Muqobalah serta dengan pemilihan kata yang sederhana namun indah dan mudah diingat oleh pembaca, memiliki daya tarik yang sangat luar biasa ketika dilantunkan dan didengarkan. Inilah kenapa syair al-I’tiraf sangat masyhur terutama di Indonesia khususnya di pesantren-pesantren, majelis ta’lim, masjid bahkan surau selalu dilantunkan dengan rima dan irama yang mendayu-dayu, maka inilah keindahan yang dimiliki oleh sya’ir al-I’tiraf karya Abu Nuwas.
BAB IV
Penutup
A. Simpulan
Berdasarkan analisis pada bab-baba sebelumnya, maka ditariklah kesimpulan sebagai berikut:
1. Syair al-I’tiraf mengandung al-muhassinat ma’nawiyah dalam bentuk Thibaq dan Muqobalah.
2. Tipologi syair dalam syair al-I’tiraf ini tidak jauh berbeda dengan karya sastra lainnya mengutamakan keindahan kata dan keluasan makna yaitu jawami’ul kalim yang juga merupakan ciri-ciri perkataan Nabi Muhammad SAW. Syair ini juga termasuk kedalam karya sastra jenis syair sufistik yakni tentang penyerahan jiwa raga kepada sang pencipta (zuhdiyyah).
B. Saran
76
Dalam penulisan skripsi ini tentunya penulis sadar masih terdapat banyak kekurangan baik secara penulisan ataupun analisis nya , oleh karena itu kami harap koreksinya kepada para dewan guru, cendikiawan dan para akademisi yang berkompeten dibidang ini, agar dapar kami realisasikan pada tulisan ilmiah kami dimasa yang akan datang, dan semoga tulisan ini memberi manfaat bagi kita semua, aamiin ya robbal alamin.
DAFTAR PUSTAKA
إنريفولزون، تاريخ الأدب، بالمبانج: مطبعة الجامعة الإسلامية الحكومية رادن فتاح ، 2007 .
احمد الإسكندارى والمصطفى أذانى، الوسيط فى الأدب العربى، مصر: دار المعروف، 1916 .
البروفسور خطب الأمم، فى علم العروض، جاكرتا: مطبعة شركة حكمة شديد إنداه جامعة شريف
هداية الله، 1992.
الدكتوراندوس إنريفولزون، تاريخ الأدب، فريس : جامعة حكومية الإسلامية رادن فتح بالمبانج، 2007
السيد أحمد الهاشم، جواهر البلاغة، القاهر: مؤسسة المختار، 2005.
حسنى محمد حسن عازيم، اضواع على الأدب العربى فى عصر صدر الإسلام،القاهرة : بدون عام.
خطب الأمم، فى علم العروض، جاكرتا: مطبعة شركة حكمة شديد إنداه جامعة شريف هداية الله، 1992.
دكتور محمود أحمد حسن المراغى، فى البلاغة العربية: علم البديع، بيروت-لبنان: دار العلوم العربية،
1991.
سراج الدين محمد، موسوعة المبدعون : المديح فى شعر العربى، ( بيروت لبنان: دار الراتب الجامعية،
غير عام.
طه حسين، فى الأدب الجاهل، القاهرة: دار المعاريف، 2011
علي حسن بن رشيق القيراني، العمدة فى محاسن الشعر وآدآبه ونقده، القاهرة: المكتبة التوفقية،
غير عام.
لوس مألوف، المنجيد، بيروت: دار المشرق، 1977.
محمد الدمنهرى، المختصر الشافى على متن الكافى، مصر: مطبعة مصطفى الباب الحالب، 1936 .
محمود افندى واصف، دوان أبى نواس، مصرى : اسكندار اماف، 1898.
Alfred von Kremer. Diwan des Abu Nuwas des Grossten Lyrischen Dichters der Araber, Wien: Wilhelm Braumuller, 1885.
Anwar, Moch. H., Ilmu Balaghah, Bandung: PT. Alma’arif, cet-3, 1989.
Ahmad Muzakki, Pengantar Teori Sastra Arab, Malang: UIN-Maliki Press, 2011
Atar Semi, Metode Penelitian Sastra, Bandung: Angkasa, 1993.
Burhan Nurgiantoro, Teori Pengkajian Fiksi, Yogyakarta: University Press, 2002.
Endraswara Suwardi, Metodologi Penelitian Sastra, Yogyakarta : CAPS, 2011.
Faruk, Metode Penelitian Sastra, Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2012.
Fitriya, Surah Al-a’la: Pendekatan Ilmu Badi’, skripsi, Palembang: Fakultas Adab,
IAIN Raden Fatah Palembang, 2006.
Henry Guntur Tarigan, Prisip-Prinsip Dasar Sastra, Bandung: Angkasa, 1984.
Imam Ahdlori, Ilmu balaghah, Terjemah Jauhar Maknun, Bandung: Alma’arif, 1989.
Kamal Dadan, “Al-Muhassinat Al-Ma’nawiyah fi Diwan Al-Imam Ali Ibn Abi
Thalib,” Skripsi,
Kremer von Alfred, Diwan des Abu Nuwas: Des Grossten Lyrischen Dichters der Araber, Wien : Wilhelm Braumuller, 1855.
Misbahul Munir, Pedoman Lagu-lagu Tilawah Qur’an, Tajwid dan Qasidah,
Surabaya: Apollo, 1997.
Muhammad Syamsuddin Araa’ini, Ilmu Nahwu terjemah mutammimah ajurumiyyah,
Bandung: Sinar Baru Algensido, 2004.
Muzakki Ahmad, Pengantar Teori Sastra Arab, Malang: UIN-Maliki Press, 2011.
Nurul Arifah, “al-muhassinat lafdziyah wa al-muhassinat al-ma’nawiyah fi surah al-
mulk”skripsi,Malang: Fakultas Humaniora dan Budaya, UIN Malang, 2009.
Diakses dari lib.uin-malang.ac.id tgl 2 juni 2014.
Syauqi Dhaif, Tarikh al-Adab al-Arabi : al-Ashru al-Jahili, Kairo : Dar al-Ma’arif,
2001.
Siswantoro, Metode Penelitian Sastra: Analisis Struktur Puisi, Yogyakarta: Pustaka
Pelajar, 2010.
Syukron Kamil, Teori Kritik Sastra Arab: Klasik dan Modern, Jakarta: Raja
Grafindo Persada, 2009.
Sutridno Badri, Metode Statistika untuk Penelitian Kuantitatif, Yogya: Ombak, 2012.
Tim Penyusun, Pedoman Penulisan Skripsi: Fakultas Adab dan Humaniora,
Palembang: IAIN Raden Fatah Palembang, 2013.
Umi Rofiah “al-muhasinat lafdziyah wa al-muhasinat al-ma’nawiyah fi surah kahfi
”skripsi,Bandung: Fakultas Adab dan Humaniora, UIN Sunan Gunung Djati, 2007.
Malang: Fakultas Humaniora dan Budaya, UIN Malang, 2007. Diakses dari lib.uin-
malang.ac.id tgl 2 juni 2014.
Wahab Muhsin & dkk, Pokok-Pokok Ilmu Balaghah, Banung: Angkasa,1991.
Walidin M, Desain Penelitian Sastra, Dari Struktural Hingga Intertekstual,
Yogyakarta: Pustaka Felica, 2014.
Wildana Wargadinata & Laily Fitriani, Sastra Arab dan Lintas Budaya, Malang: UIN
Malang Press, 2008.
Yulia Nasrul Latif, Metode Penelitian Sastra 1, Yogyakarta: Pokja Akademik Uin
Sunan Kalijaga, 2006. Diakses pada tgl 1 mei 2014 dari blog
Zaenuddin Mamat dan Yayan Nurbayan, Pengantar Ilmu Balaghah, Bandung :
Refika Aditama, tt.
http://en.wikipedia.org/wiki/abu-nuwas .
http://Abu Nawas - Wikipedia bahasa Indonesia, ensiklopedia bebas.html pada tgl 26
agustus 2014
Http://Senandung Nada-Nada Neziala Pengaruh Pengarang (Abu Nawas) Dalam
Karyanya (Puisi Love In Bloom Dan Puisi Tu’atibu-Ni ’Ala Surbi
Stibahi.Htm diposkan oleh Desti Laela Setiawati dikutip pada tgl 28 agustus
2014
[1] Syauqi Dhaif, Tarikh al-Adab al-Arabi : al-Ashru al-Jahili, ( Kairo : Dar al-Ma’arif, 2001), 7.
[2] Wildana Wargadinata & Laily Fitriani, Sastra Arab dan Lintas Budaya, (Malang: UIN Malang Press, 2008), h. 89.
[3] Siswantoro, Metode Penelitian Sastra: Analisis Struktur Puisi, (Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2011), h. 23.
[4] Muzakki Ahmad, Kesusastraan Arab: Pengantar Teori Dan Terapan, ( Yogyakarta: Ar-Ruzz Media, 2006), h. 21.
[5] Wildana Wargadinata & Laily Fitriani, h. 93-101.
[6] Diakses pada tgl 1 mei 2014 dari blog http://en.wikipedia.org/wiki/abu-nuwas .
[7] السيد أحمد الهاشمى، جواهر البلاغة، (القاهرة: مؤسسة المختار، 2005)، ص. 3.
[8] Wahab Muhsin & T. Fuad Wahab, Pokok-Pokok Ilmu Balaghah, ( Banung: Angkasa, 1991), h. 76.
[9] Imam Ahdlori, Ilmu balaghah: Terjemah Jauhar Maknun, (Bandung: PT. Alma’arif, 1989), h. 120.
[10] السيد أحمد الهاشم، ص. 287
[11] Wahab Muhsin & T. Fuad Wahab, 147.
[12] M. Misbahul Munir, Pedoman Lagu-lagu Tilawah Qur’an, Tajwid dan Qasidah, (Surabaya:
Apollo, 1997), h. 275
[13] Sutrisno Badri, Metode Statistika untuk Penelitian Kuantitatif, (Yogyakarta: Ombak, 2012), h. 3.
[14] Fitriya, “ Surah Al-a’la: Pendekatan Ilmu Badi’,” skripsi, (Palembang: Fakultas Adab, IAIN Raden Fatah Palembang, 2006), h. 8.
[15] Nurul Arifah, “al-muhassinat lafdziyah wa al-muhassinat al-ma’nawiyah fi surah al-mulk”skripsi,Malang: Fakultas Humaniora dan Budaya, UIN Malang, 2009). h.9. Diakses dari lib.uin-malang.ac.id tgl 2 juni 2014.
[16] Umi Rofiah “al-muhassinat lafdziyah wa al-muhassinat al-ma’nawiyah fi surah kahfi” skripsi, Malang: Fakultas Humaniora dan Budaya, UIN Malang, 2007). h. 8. Diakses dari lib.uin-malang.ac.id tgl 2 juni 2014
[17] Kamal Dadan, “Al-Muhassinat Al-Ma’nawiyah fi Diwan Al-Imam Ali Ibn Abi Thalib,” Skripsi, (Bandung: Fakultas Adab dan Humaniora, UIN Sunan Gunung Djati, 2007). h.9
[18] Burhan Nurgiantoro, Teori Pengkajian Fiksi, (Yogyakarta: University Press, 2002), h. 295.
[19] Wahab Muhsin & dkk, h. 25.
[20] Anwar, Moch. H., Ilmu Balaghah, (Bandung: PT. Alma’arif, cet-3, 1989), h. 18.
[21] Zaenuddin Mamat dan Yayan Nurbayan, Pengantar Ilmu Balaghah, (Bandung : PT. Refika Aditama, tt), h. 149
[22] Walidin M, Desain Penelitian Sastra, Dari Struktural Hingga Intertekstual, ( Yogyakarta: Pustaka Felica, 2014), h. 3.
[23] Siswantoro, Metode Penelitian Sastra: Analisis Struktur Puisi, (Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2010), h. 55-56.
[24] Endraswara Suwardi, Metodologi Penelitian Sastra, (Yogyakarta : CAPS, 2011), h.47-48.
[25] Atar Semi, Metode Penelitian Sastra, (Bandung: Angkasa, 1993), h. 23.
[26] Faruk, Metode Penelitian Sastra, (Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2012), h. 56.
[27] Faruk, h. 56
[28] Atar Semi, MetodePenelitian Sastra, h. 25.
[29] لوس مألوف، المنجيد، (بيروت: دار المشرق، 1977)، ص. 391
[30] الدكتوراندوس إنريفولزون، تاريخ الأدب، ( فريس : جامعة حكومية الإسلامية رادن فتح بالمبانج، 2007 )، ص، 4-5
[31] خطب الأمم، فى علم العروض، ( جاكرتا: مطبعة شركة حكمة شديد إنداه جامعة شريف هداية الله، 1992)، ص. 8.
[32] احمد الإسكندارى والمصطفى أذانى، الوسيط فى الأدب العربى، ( مصر: دار المعروف، 1916 )، ص. 43.
[33] البروفسور خطب الأمم، فى علم العروض، ( جاكرتا: مطبعة شركة حكمة شديد إنداه جامعة شريف هداية الله، 1992)، ص. 8.
[34] Misbachul Munir,Pedoman Lagu Lagu Tilawatil Qur’an:Tajwid Qosidah, (Surabaya: Apollo, 1997),hlm. 207
[35] طه حسين، فى الأدب الجاهل، (القاهرة: دار المعاريف، 2011)، ص. 309
[36] خطب الأمام، نفس المراجع، ص. 18
[37] Ahmad Muzakki, hlm. 54-55
[38] Syukron Kamil, Teori Kritik Sastra Arab: Klasik dan Modern, (Jakarta: Raja Grafindo Persada, 2009), hlm. 95.
[39] البروفسور خطب الأمم، فى علم العروض، ( جاكرتا: مطبعة شركة حكمة شديد إنداه جامعة شريف هداية الله، 1992)، ص. 10.
[40] Syukron Kamil, Teori Kritik Sastra Arab: Klasik dan Modern, hlm. 95.
[41] Ibid, hlm. 17.
[42] Ahmad Muzakki, Pengantar Teori Sastra Arab, (Malang: UIN-Maliki Press, 2011), hlm. 42
[43] Muhammad Syamsuddin Araa’ini, Ilmu Nahwu terjemah mutammimah ajurumiyyah, (Bandung: Sinar Baru Algensido, 2004), hlm. 3
[44] محمد الدمنهرى، المختصر الشافى على متن الكافى، (مصر: مطبعة مصطفى الباب الحالب، 1936)، ص. 10
[45] خطيب أمام، فى علم العروض، (جاكرتا: شريكة الحكمة الشهيد، 1992 )، ص. 18
[46] Muzakki Ahmad, Pengantar Teori Sastra Arab, (Malang: UIN-Maliki Press, 2011), hlm. 75.
[47] حسنى محمد حسن عازيم، اضواع على الأدب العربى فى عصر صدر الإسلام، (القاهرة : بدون عام)، ص. 158.
[48] علي حسن بن رشيق القيراني، العمدة فى محاسن الشعر وآدآبه ونقده، (القاهرة: المكتبة التوفقية)، 53-106
[49] إنريفولزون، تاريخ الأدب، (بالمبانج: مطبعة الجامعة الإسلامية الحكومية رادن فتاح ، 2007 )، ص32-33.
[50] سراج الدين محمد، موسوعة المبدعون : المديح فى شعر العربى، ( بيروت لبنان: دار الراتب الجامعية، غير عام)، ص. 12
[51] Ahmad Muzakki, Kesusastraan Arab: Pengantar Teori dan Terapan, hlm. 88.
[52] Ibid, hlm. 112.
[53] Wildan Wargadinata & Laily Fitriani, Sastra Arab Lintas Budaya, hlm. 94.
[54] Wildan Wargadinata & Laily Fitriani, Sastra Arab Lintas Budaya, hlm. 93
[55] Ahmad Muzakki, Kesusastraan Arab: Pengantar Teori dan Terapan, hlm. 44.
[56] سراج الدين محمد، موسوعة المبدعون : الرثاء فى شعر العربى، ( بيروت لبنان: دار الراتب الجامعية، غير عام)، ص. 10
[57] Wildan Wargadinata & Laily Fitriani, Sastra Arab Lintas Budaya, hlm.. 101
[58] http://Abu Nawas - Wikipedia bahasa Indonesia, ensiklopedia bebas.html pada tgl 26 agustus 2014.
[59] Http://Senandung Nada-Nada Neziala Pengaruh Pengarang (Abu Nawas) Dalam Karyanya (Puisi Love In Bloom Dan Puisi Tu’atibu-Ni ’Ala Surbi Stibahi.Htm diposkan oleh Desti Laela Setiawati dikutip pada tgl 28 agustus 2014
[60] Wahab Muhsin dkk, Pokok-pokok Ilmu Balaghah, hlm. 147.
[61] Imam Akhdhori, terjemah jauharul maknun, ilmu balaghah, (Surabaya: Al-Hidayah, tt), h, 195-218
[62] دكتور محمود أحمد حسن المراغى، فى البلاغة العربية: علم البديع، (بيروت-لبنان: دار العلوم العربية، 1991)، ص. 67-108.
[63] Al-Kahfi, ayat. 18.
[64] Al-Baqarah, ayat. 286.
[65] Al-An’am, sebagaian ayat 122.
[66] An-Nisa, ayat. 108
[67] Wahab Muhsin dkk, hlm. 165.
[68] At-Taubah, sebagian ayat. 82.
[69] Wahab Muhsin dkk, hlm. 151.
[70] Ar-rohman, ayat. 5.
[71] [71] فى صدق إسماعيل أنظر سورة مريم: 54-55، وفى توفيق شعيب، سورة هود: 88، وفى عفو يوسف سورة يوسف: 92، وفى سمى خلق محمد عليه الصلاة والسلام سورة القلم: 4.
[72] Surah Thaha, ayat. 5
[73] Ad-dzariyat, ayat. 47.
[74] Al-fatir, ayat. 12.
[75] Hud, ayat. 105-108
[76] Al-anbiya, ayat. 22
[77] Yasin, ayat. 36.
[78] Kremer van Alfred, Diwan des Abu Nuwas: Des Grossten Lyrischen Dichters der Araber, (Wien : Wilhelm Braumuller, 1855), hal. 139
[79] M. Misbahul Munir, Pedoman Lagu-lagu Tilawah Qur’an, Tajwid dan Qasidah, (Surabaya:
Apollo, 1997), h. 275
[80] . محمود افندى واصف، دوان أبى نواس، (مصرى : اسكندار اماف، 1898)، ص. 199-200
Langganan:
Posting Komentar (Atom)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar